Franciscus Conradus Palaunsoeka merupakan seorang guru di salah satu sekolah Katolik di Kalimantan Barat. Atas desakan berulang kali dari Pastor Adikarjana SJ, seorang biarawan pribumi yang lolos dari sekapan tentara Jepang, Palaunsoeka pada saat itu mendirikan Dayak In Action (DIA) pada tanggal 30 Nopember 1945.

DIA kemudian berubah menjadi Partai Persatuan Dayak (PPD) tahun 1946. Lewat PPD, Palaunsoeka kemudian menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selama 37 tahun, sejak periode 22 Desember1948 hingga 26 Maret 1988.

Pada tahun 1963, PPD resmi dibubarkan karena tidak mencapai ketentuan minimal pada saat itu yaitu berada pada 5 provinsi. Kemudian Palaunsoeka bergabung dengan Partai Katolik, sehingga menghantarkannya mengenal banyak tokoh nasional.

Saat menjadi anggota DPR, Palaunsoeka bersama Frans Seda, Jacob Oetama, PK Ojong, dan lain-lain mendirikan Harian Pagi Kompas, atas anjuran Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani dan disetujui Presiden Soekarno pada 28 Juni 1965.

Saat itu, cikal bakal mendirikan Harian Pagi Kompas bertujuan mengimbangi agitasi Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui Harian Rakjat.

Saat pertama kali terbit, jabatan Palaunsoeka di Harian Kompas adalah Penulis I, sedangkan Jacob Oetama sebagai Penulis II yang sekarang setara dengan Pemimpin Redaksi.

Pada masa itu, persyaratan untuk mendirikan sebuah surat kabar bukan hal yang gampang. Pemberian izin penerbitan Harian Kompas harus memenuhi persyaratan 3.000 pelanggan terlebih dahulu.

Pemimpin redaksi atau ketika itu disebut Ketua Tim Penulis diketuai oleh Palaunsoeka. Awalnya, Harian Kompas yang diusulkan dengan nama Bentara Rakyat diganti Presiden Soekarno dengan nama Kompas.

Dalam perjalanannya Harian Kompas pernah dilarang terbit (dibredel) karena memberitakan peristiwa G30S PKI dan aksi-aksi demonstrasi mahasiswa.

Lantaran sibuk di bidang politik bersama Frans Seda, Palaunsoeka kemudian meninggalkan Harian Kompastahun 1970. Lima tahun kemudian, terhitung pada tahun 1975 hingga 1982, Palaunsoeka menjadi staf ahli Badan Intelijen Negara (BIN) yang secara khusus sebagai tenaga analis pergerakan komunis di Eropa Timur.

Palaunsoeka juga disebutkan sebagai salah satu politisi yang dipercaya Presiden Soeharto membantu proses integrasi Timor Timur menjadi provinsi Indonesia ke-27 pada tahun 1975. Kiprah Palaunsoeka di bidang politik, dapat dijadikan panutan bagi generasi penerus, karena dinilai tidak tamak akan kekuasaan.

Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat, DR Clarry Sada, mengatakan, dari buku biografi Palaunsoeka, banyak hal-hal yang selama ini belum diketahui masyarakat luas.

Sejarah yang belum terungkap di antaranya, pada tanggal 18 Nopember 1959, Palaunsoeka pernah mengirim surat kepada Gubernur Kalimantan Tengah Tjilik Riwut agar mendukung Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray untuk diangkat kembali menjadi Gubernur Kalimantan Barat. JC Oevaang Oeray pun akhirnya menjadi Gubernur Kalimantan Barat pertama selama enam tahun (1960 – 1966).

Tahun 1976, ketika masih menjadi anggota DPR dan merangkap menjadi staf ahli BIN, Palaunsoeka pernah menolak tawaran Presiden Soeharto menjadi Duta Besar Indonesia di Meksiko, sehingga pilihan kemudian jatuh kepada Benedictus Mang Reng Say.

Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto pasca-peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) berdampak pada pemberhentian JC Ovaang Oeray sebagai Gubernur Kalimantan Barat. Pemberhentian tersebut karena dianggap sebagai pendukung setia Presiden Soekarno atau Soekarnois.

Kriminalisasi terhadap Bapak J Ovaang Oeray dapat dieliminir oleh Palaunsoeka karena hubungan baiknya dengan petinggi TNI dan Polri pada saat itu. Ovaang Oeray kemudian dibebaskan dan tidak diproses secara hukum 

Palaunsoeka wafat pada 12 Agustus 1993 di Pontianak. Peluncuran buku tersebut bertepatan dengan hari lahirnya, sebagai ungkapan terima kasih pihak keluarga sekaligus mengenang jasa almarhum.

F.C. Palaunsoeka: Pendiri Partai Persatuan Dayak

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 0 Comments

Mendengar kalimat ''kerusuhan sampit'' tentu sudah tidak asing lagi ditelinga kalian. Apalagi jika kalian sudah dewasa ketika konflik sampit itu terjadi. Ketika kerusuhan sampit saya masih duduk dibangku kelas 2 SD, jadi saat itu saya tidak tau secara detail tentang apa yang sebenarnya terjadi. Yang saya tau dari pembicaraan orang2 tua adalah perang antara Dayak dan Madura. Selain masih kecil, saya juga tidak bertempat tinggal di sampit, kampung saya berjarak 4 jam perjalanan air dari sampit. Sehingga kampung saya tidak termasuk daerah konflik tersebut, walaupun ada pembakaran beberapa rumah orang madura dikampung saya.

Seiring bergulirnya waktu berita kerusuhan sampit tidak serta merta hilang dari ingatan orang. Hal ini terbukti ketika saya kuliah di Jogja, walaupun sudah 2014, yg artinya kejadian itu sudah 13 tahun yang lalu, namun setiap kali saya berkenalan dengan orang baru dan saya menyebutkan asal saya ''Sampit'', mereka selalu bilang ''...Oh yang kerusuhan itu ya'', ''... Oh yang perang itu ya''. Ini membuktikan bahwa tragedi sampit masih diingat banyak orang bahkan yang diluar kalimantan. Selain itu, hingga saat ini jika saya menelusuri Google dengan kata kunci ''Sampit'', maka informasi yang muncul kebanyak tentang konflik sampit, tragedi sampit, perang sampit, dll.

Kenapa sih tragedi ini susah tergerus oleh waktu? jawabannya tidak lain adalah karena tragedi ini merupakan tragedi terparah sepanjang pertikaian antar etnis di Indonesia. Tidak hanya banyak menelan korban jiwa, namun kesadisan, kengerian kerusuhan ini juga menjadi faktor susahnya untuk dilupakan. Sekali lagi, informasi yang saya share ini tidak bertujuan untuk menyinggung/mendiskriminasikan pihak manapun. Karena saya cinta dayak dan saya respect terhadap madura. Asal kita dapat hidup berdampingan yang saling menghormati, saya yakin kejadian ini tidak akan terulang lagi.

A. Sejarah Asal Usul Penyebab Terjadinya

Asal Usul Penyebab Terjadinya Tragedi Sampit hingga saat ini masih simpang siur. Saya bertanya dari berbagai narasumber dan searching di Google, hasilnya berbeda-beda pendapat. Ada yang mengatakan tragedi ini berawal dari kasus pencurian ayam, kasus perkelahian remaja antar etnis, kasus kesenjangan sosial, dll. Namun dari berbagai pendapat itu, saya bisa menyimpulkan bahwa tragedi kerusuhan sampit ini sebenarnya berawal dari masalah sepele/kecil yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan atau jalur hukum yang ada tanpa harus mengorbankan ratusan bahkan ribuan nyawa. Akan tetapi masalah2 sepele itu terjadi berulang-ulang dan tanpa penyelesaian yang maksimal, sehingga menimbulkan suasana yang rentan akan konflik yang lebih besar.

Dari beberapa sumber ada beberapa kasus yang telah terjadi berlarut-larut hingga memuncak pada kerusuhan sampit.

1972, Palangka Raya, seorang gadis Dayak digodai dan diperkosa, terhadap kejadian itu diadakan penyelesaian dengan mengadakan perdamaian menurut hukum adat.

1982, terjadi pembunuhan oleh orang Madura atas seorang suku Dayak, pelakunya tidak tertangkap, pengusutan / penyelesaian secara hukum tidak ada.

1983, Kasongan, seorang warga Kasongan etnis Dayak di bunuh (perkelahian 1 (satu) orang Dayak dikeroyok oleh 30 (tigapuluh) orang madura). Terhadap pembunuhan atas

1996, Palangka Raya, seorang gadis Dayak diperkosa di gedung bioskop Panala dan di bunuh dengan kejam (sadis) oleh orang Madura, ternyata hukumannya sangat ringan.

1997, Barito Selatan orang Dayak dikeroyok oleh orang Madura dengan perbandingan kekuatan 2:40 orang, dengan skor orang Madura mati semua, tindakan hukum terhadap orang Dayak: dihukum berat. Orang Dayak tersebut diserang dan mempertahankan diri menggunakan ilmu bela diri? dimana penyerang berhasil dikalahkan semuanya.

1997, Tumbang Samba, ibukota Kecamatan Katingan Tengah, seorang anak laki-laki bernama Waldi mati terbunuh oleh seorang suku Madura yang ? tukang jualan sate?. Si belia Dayak mati secara mengenaskan, ditubuhnya terdapat lebih dari 30 (tigapuluh) bekas tusukan. Anak muda itu tidak tahu menahu persoalannya, sedangkan para anak muda yang bertikai dengan si tukang sate telah lari kabur ?.Yang tidak dapat dikejar oleh si tukang sate itu, si korban Waldi hanya kebetulan lewat di tempat kejadian.

1998, Palangka Raya, orang Dayak dikeroyok oleh 4 (empat) orang Madura, pelakunya belum dapat ditangkap karena melarikan diri dan korbannya meninggal, tidak ada penyelesaian secara hukum.

1999, Palangka Raya, seorang petugas Tibum (ketertiban umum) dibacok oleh orang Madura, pelakunya di tahan di Polresta Palangka Raya

1999, Palangka Raya, seorang Dayak dikeroyok oleh beberapa orang suku Madura, masalah sengketa tanah; 2 (dua) orang Dayak dalam perkelahian tidak seimbang itu mati semua, sedangkan pembunuh lolos, malah orang Jawa yang bersaksi dihukum 1,5 tahun karena dianggap membuat kesaksian fitnah terhadap pelaku pembunuhan yang melarikan diri itu.

1999, Pangkut, ibukota Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat, terjadi perkelahian massal dengan suku Madura, gara-gara suku Madura memaksa mengambil emas pada saat suku Dayak menambang emas. Perkelahian itu banyak menimbulkan korban pada ke dua belah pihak, tanpa penyelesaian hukum.

1999, Tumbang Samba, terjadi penikaman terhadap suami-isteri bernama IBA oleh 3 (tiga) orang Madura; pasangan itu luka berat. Dirawat di RSUD Dr. Doris Sylvanus, Palangka Raya, biaya operasi /perawatan ditanggung oleh Pemda Kalteng. Para pembacok / pelaku tidak ditangkap, katanya? sudah pulang ke pulau Madura sana!. (Tiga orang Madura memasuki rumah keluarga IBA dengan dalih minta diberi minuman air putih, karena katanya mereka haus, sewaktu IBA menuangkan air di gelas, mereka

2000, Pangkut, Kotawaringin Barat, 1 (satu) keluarga Dayak mati dibantai oleh orang Madura, pelaku pembantaian lari, tanpa penyelesaian hukum. Tahun 2000, di Palangka Raya, 1 (satu) orang suku Dayak di bunuh / mati oleh pengeroyok suku Madura di depan gedung Gereja Imanuel, Jalan Bangka. Para pelaku lari, tanpa proses hukum.

2000, Kereng Pangi, Kasongan, Kabupaten Kotawaringin Timur, terjadi pembunuhan terhadap SENDUNG (nama kecil). Sendung mati dikeroyok oleh suku Madura, para pelaku kabur / lari, tidak tertangkap, karena lagi-lagi ?katanya? sudah lari ke Pulau Madura, proses hukum tidak ada karena pihak

2001, Sampit (17 s/d 20 Februari 2001) warga Dayak banyak terbunuh / dibantai. Suku Madura terlebih dahulu menyerang warga Dayak.

B. Kejadian-Kejadian Sebelum Puncak Kerusuhan (Perang Terbuka antara Dayak dan Madura) 

Tanggal 18 Februari 2001 

Pkl.01.00 WIB terjadi peristiwa pertikaian antar etnis diawali dengan terjadinya perkelahian antara Suku Madura dengan kelompok Suku Dayak di Jalan Padat Karya, yang mengakibatkan 5 (lima) orang meninggal dunia dan 1 (satu) orang luka berat semuanya dari Suku Madura.

Pkl. 08.00 WIB terjadi pembakaran rumah Suku Dayak sebanyak 2 (dua) buah rumah yang  dilakukan oleh kelompok Suku Madura dan 1 (satu) buah rumah Suku Dayak dirusak dan dijarah oleh kelompok Suku madura. Kejadian ini mengakibatkan 3 (tiga) orang meninggal semuanya dari Suku Dayak.

Pkl. 09.30 WIB pengiriman Pasukan Brimob Polda dari Kalimantan Selatan sebanyak 103 personil dengan kendali BKO Polda Kaliteng untuk pengamanan di Sampit dan tiba Pkl. 12.00 WIB

Pkl. 10.00 WIB sebanyak 38 (tiga puluh delapan) orang tersangka dari kelompok Suku Dayak atas kejadian tersebut di atas diamankan ke MAPOLDA Kalteng di Palangka Raya dan menyita beberapa macam senjatantajam sebanyak 62 buah.

Pkl. 20.30 WIB ditemukan 1 (satu) orang mayat dari kelompok Suku Dayak di Jalan Karya Baru, Sampit.


Tanggal 19 Februari 2001 

Pkl. 02.00 WIB terjadi pembakaran 1 (satu) buah mobil Kijang milik Suku Madura di Jalan Suwikto, Sampit.

Pkl. 16.00 WIB ditemukan mayat sebanyak 4 (empat) orang dan 1 (satu) orang luka bakar semuanya dari Suku Dayak di Jalan Karya Baru, Sampit.

Pkl. 17.00 WIB diadakan sweeping oleh Petugas aparat keamanan terhadap kelompok Suku Madura dan kelompok Suku Dayak di Sampit.

Penangkapan 6 (enam) orang Suku Dayak tersangka berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap tersangka yang telah ditahan sebelumnya, dan diamankan di Polres Kotim.

Pkl. 22.00 WIB Wakil Gubernur Kalimantan Tengah dan DANREM 102/PP bersama  pasukan dari Yonif 631/ATG sebanyak 276 orang menuju Sampit dan tiba Pkl. 03.00 WIB.

Pada tanggal 18 dan 19 Februari 2001 kota Sampit sepenuhnya dikuasai oleh Suku Madura yang menggunakan senjata tajam dan bom molotov.


Tanggal 20 Februari 2001

Pkl. 08.30 WIB diadakan pertemuan antara DANREM 102/PP, KAPOLDA dan Wakil Gubernur dan MUSPIDA Kabupaten Kotawaringin Timur dengan tokoh masyarakat di Sampit ( Tokoh Dayak, Madura dan Tokoh Masyarakat Sampit) untuk mengupayakan penghentian pertikaian dan dilanjutkan dengan pemantauan ke lokasi pertikaian dengan mengadakan dialog dengan warga yang bertikai.

Warga yang ketakutan karena kerusuhan dan sweeping disertai pembakaran rumah yang dilakukan oleh Suku Madura terhadap Suku Dayak mengungsi ke Gedung Balai Budaya Sampit, Gedung DPRD Kotawaringin Timur dan Rumah Jabatan Bupati Kotawaringin Timur sebanyak 702 KK (2.850 orang) bukan Suku Madura dan sebagian warga non Madura mengungsi ke Palangka Raya.


C. Kronologis Perang Terbuka antara Dayak dan Madura

18 Februari warga Madura mula menguasai Sampit. Dengan  mengacung-acungkan senjata, puluhan warga Madura pawai keliling kota. Mereka menggunakan berbagai kendaraan, mulai roda dua sampai roda empat. Mereka tak hanya berpawai. Setiap bertemu warga Dayak, mereka mengejar dan membunuhnya. Sedikitnya, sepuluh rumah dibakar.Tujuh orang tewas saat warga Madura menguasai Sampit. Bahkan, seorang ibu muda hamil tujuh bulan ikut dibunuh dengan dirobek perutnya. “Itu fakta,” kata Bambang Sakti, tokoh muda Dayak asal Sungai Samba. Situasi itu membuat Sampit Minggu malam mencekam. Listrik padam total. Pembakaran di perkampungan warga di Jalan Baamang berlangsung sporadis. Pengungsi mulai membanjiri gedung pertemuan di depan rumah jabatan bupati sampit. Tapi, kemudian dialihkan ke kantor bupati. Yang mengungsi bukan hanya warga Madura. Juga Dayak dan Cina. Mereka berdesak-desakan mengungsi. Ini terjadi karena mereka belum tahu betul siapa yang menguasai jalanan di Sampit malam itu: Madura atau Dayak.  Di pengungsian, Madura dan Dayak malah rukun. “Saya saat itu ikut mengungsi,’ ujar seorang wartawan lokal. Untuk menghadang orang Dayak keluar-masuk Sampit, warga Madura melakukan penjagaan di pertigaan Desa Bajarum yang mengarah kota Kecamatan Kota Besi. Penjagaan juga terjadi di Perenggean, Kecamatan Kuala Kuayan, dan desa-desa pedalaman Hilir Mentayan. Selama berpawai itu, warga Madura terus berteriak-teriak mencari tokoh Dayak. “Mana Panglima Burung? Mana tokoh Dayak?” tantang mereka.

Tak hanya itu, seorang tokoh Madura melakukan orasi lewat pengeras suara, “Sampit akan jadi Sampang kedua, Sampit jadi Sampang Kedua”. Mereka juga memasang spanduk: Selamat datang orang Dayak di kota Sampang, Serambi Mekkah. “Spanduk itu yang kami cari sekarang,” kata Bambang Sakti. Bambang juga bilang telah menemukan sejumlah bom di rumah-rumah warga Madura. “Ini bukan isapan jempol,” tuturnya. Sedikitnya, pasukan Dayak sudah menyerahkan 300 bom yang ditemukan di rumah warga Madura. Begitu juga beberapa pucuk pistol. “Tidak tahu bagaimana tindak lanjutnya,” jelasnya. Kabarnya, bom-bom itu dirakit di Jawa, lalu dikirimkan ke Sampit. Tapi, sumber Jawa Pos menyebutkan, bom rakitan dibuat di Sampit. Lalu, didistribusikan ke berbagai warga Madura di kecamatan. Mereka bilang bom itu untuk mempertahankan diri jika sewaktu-waktu diserang warga Dayak. Tapi, karena bom itu pula, 112 warga Madura di Kecamatann Perenggean dibantai di lapangan kecamatan. Ini setelah warga Dayak menemukan bom di rumah seorang warga Madura

Melihat aksi penguasaan warga pendatang itu, warga Dayak tak tinggal diam. Mereka lantas membawa bala bantuan pasukan dari Dayak pedalaman. Warga Dayak yang tiba lebih dulu melakukan perlawanan sporadis. Selasa malam (20 Februari), peta kekuatan mulai berbalik. Warga Dayak pedalaman dari berbagai lokasi daerah aliran sungai (DAS) Mentaya,seperti Seruyan, Ratua Pulut, Perenggean, Katingan Hilir, bahkan Barito berdatangan ke kota Sampit melalui hilir Sungai Mentaya dekat pelabuhan.  Pasukan Dayak pedalaman yang rata-rata berusia muda tak lebih 25 tahun membekali diri dengan berbagai ilmu kebal. Jumlahnya sekitar sekitar 320 orang. Pasukan itu lalu menyusup ke daerah Baamang dan sekitarnya, pusat permukiman warga Madura.  Meski dalam jumlah kecil, kemampuan bertempur pasukan khusus Dayak sangat teruji. Buktinya, mereka mampu memukul balik warga Madura yang terkosentrasi di berbagai sudut jalan Sampit. Dengan ilmu kebal, mereka melawan ribuan warga Madura. Bahkan, mereka sanggup menghadapi bom yang banyak digunakan warga Madura.

Dalam bentrok terbuka, seorang warga Madura melemparkan bom ke arah pasukan Dayak. Tapi, bom dapat ditangkap dan dilemparkan kembali ke arah kerumunan Madura. Meledak. Puluhan warga Madura tewas seketika. Selain kebal senjata, pasukan Dayak pedalaman tidak mempan ditembak. Mereka justru memunguti peluru untuk dikantongi. Karena itu, polisi juga keder. Sejak itu, mental Madura pun langsung down. Strategi yang diterapkan warga Dayak dalam serangan balik cukup jitu. Selain masuk lewat Baamang, sekitar empat perahu penuh pasukan dayak tidak langsung merapat ke bibir sungai. Mereka berhenti di seberang sungai Mentaya. Baru berenang menuju kota pinggir sungai di tepian kota Sampit. Strategi ini untuk menghindari pengawasan orang Madura. Lantas, secara tiba-tiba, mereka muncul dan menyerang permukiman Madura. Madura pun dibuat kocar-kacir. Pasukan Dayak pedalaman terus bergerak ke kantong-kantong tokoh Madura. Seperti, Jalan Baamang III, Simpong atau dikenal Jalan Gatot Subroto, dan S. Parman. Rumah tokoh Ikatan Keluarga Madura (Ikama) Haji Marlinggi yang cukup megah di Jalan DI Panjaitan tak luput dari sasaran. Banyak pengawal penguasa Pelabuhan Sampit itu yang terbunuh. Sebagian lari. Sejumlah becak bekas dibakar berserakan di halaman rumah yang hancur. Rumah tokoh Madura lain seperti Haji Satiman dan Haji Ismail juga dihancurkan. Tidak terkecuali rumah Mat Nabi yang dikenal sebagai jagonya Sampit. Padahal, rumah tokoh-tokoh Madura yang berada di Sampit, Samuda, maupun Palangkaraya tergolong cukup mewah. Serangan pasukan inti Dayak kemudian diikuti warga Dayak lain. Mereka mencari rumah dan warga di sepanjang kota Sampit. Ratusan warga Madura dibunuh secara mengenaskan, lalu dipenggal kepalanya.

Hari-hari berikutnya gelombang serangan suku Dayak terus berdatangan. Bahkan, sebelum menyerang, seorang tokoh atau panglima Dayak lebih dulu membekali ilmu kebal kepada pasukannya.  Karena itu, saat melakukan serangan, biasanya mereka berada dalam alam bawah sadar. Uniknya, mereka juga dibekali indera penciuman tajam untuk membedakan orang Madura dan non-Madura. “Dari jarak sekitar 200 meter, baunya sudah tercium,” ujar Itu tak berlebihan. Saat ada evakuasi, di tengah jalan seorang warga Madura disusupkan. Dia dikelilingi warga non Madura. Sebelum masuk ke loksi penampungan, mereka kena sweeping Dayak. Meski orang itu ada di tengah pengungsi, masih juga tercium dan disuruh turun. Tanpa ampun, laki-laki tadi dibantai. Agar serangan ke perkampungan Madura terkendali, para komando warga Dayak menggunakan Hotel Rama sebagai pusat komando penyerangan. Bahkan, di hotel itulah pasukan diberi ramuan ilmu kekebalan oleh para panglima.  Saat digerebek, aparat menemukan beberapa kepala manusia. Tapi, para tokohnya sempat meloloskan diri. Kini, di depan hotel bertingkat dua itu dibentangkan police line. Berada di atas angin, pasukan Dayak lalu melebarkan serangan ke berbagai kota Kecamatan Kotawaringin Timur. Sasaran pertama, Samuda, ibu kota Kecamatann Mentaya Hilir Selatan, dan Parebok yang banyak dihuni warga Madura. Samuda dan Parebok jadi sasaran setelah Sampit karena banyak tokoh Madura tinggal di daerah itu. Di Parebok juga ada Ponpes Libasu Taqwa. Ponpes yang diasuh Haji Mat Lurah ini juga dijadikan tempat berlindung banyak warga Madura. Warga Madura di kecamatan lain pun tidak lepas dari buruan. Misalnya, Kuala Kuayan. Ratusan korban jatuh dengan kepala terpenggal. Kini, warga Dayak praktis menguasai hampir seluruh wilayah Kalimantan Tengah. Kecuali Pangkalan Bun. Kota ini aman karena hampir tak ada warga Madura yang tingga di semua kota kecamatan.  Penghuninya, saat itu, banyak yang lari menyelamatkan diri ke hutan, baik Palangkaraya, Sampit, maupun Samuda.

D. Total Jumlah Korban Kerusuhan Sampit

Dalam pelayaran menyusuri Sungai Mentaya (70 km), ABK dan pengungsi bisa Melihat puluhan mayat yang mengapung di sepanjang sungai, dan sejumlah Bangunan rumah warga Madura dan Pasar Sampit/Pasar Ganal yang tinggal temboknya yang hangus. Dikatakan seorang pengungsi yang bekerja di penggergajian kayu, PT Sempagan Raya Sampit, Abdul Sari (30), bahwa yang tampak di sungai saja ada puluhan yang mengapung dan tersangkut di pinggir. Sementara yang hanyut dan tenggelam lebih dari 200 warga etnis Madura. “Ini baru yang di sungai, belum yang terserak di pinggir sepanjang Jl. Masjid Nur Agung saja tidak kurang dari 200 mayat,” katanya. Sementara di Jl. Sampit Pangkalan Bun, saat ini masih banyak mayat yang bergelimpangan di tepi jalan. Mayat-mayat itu hanya ditutupi dengan batu koral yang dibungkus karung sak. Tidak ada yang menolong untuk dimakamkan, kami tidak mungkin untuk melakukan itu. Sedang untuk bisa lolos dari kejaran dan tebasan mandau Dayak saja sudah bersyukur. Abdul Sari juga mengatakan, sekarang pasukan Dayak tidak lagi membedakan siapa yang akan dibunuh. Awalnya yang diserang hanya etnis Madura, tapi kini semua pendatang, termasuk orang Jawa, dan Cina. Mereka bukan hanya ditebas lehernya saja, tapi juga dipenggal jadi beberapa potong. Di mata etnis Madura, polisi setempat sudah kehilangan kepercayaannya lagi. Mereka (warga etnis Madura) mengaku, siangnya di sweeping dan senjatanya disita petugas, dan mereka (petugas) mengatakan, semua sudah aman dan tidak ada apa-apa lagi. Maka warga etnis Madura di Jl. Sampit Pangkalan Bun tenang-tenang saja dan percaya pada petugas. Ternyata malamnya diawali dengan suara kuluk,… kuluk,… kuluk,… sebentar kemudian pasukan Dayak muncul dan membunuhi warga Madura.

Tidak ada yang tersisa, mereka yang menyerah maupun yang lari dibunuh. Umumnya mereka diserang pada malam hari, ratusan Dayak dengan suara kuluk…, kuluk…, sambung-menyambung muncul dari segala penjuru. Esoknya warga etnis Madura mati mengenaskan dengan badan tanpa kepala lagi. Parebuk Menurut warga etnis Madura yang ikut KRI Teluk Ende, Sopian (56), warga yang banyak mati dari daerah Parebuk, Semuda. Karena warga Madura yang ada di sini tidak menghindar tapi melakukan perlawanan sengit. “Saat ini di sana yang tersisa tinggal wanita dan anak-anak,” kata Sopian. Sopian yang datang ke pengungsian dengan jalan menyusuri sungai mengatakan, dia berjalan sambil sembunyi-sembunyi di antara pohon hutan yang cukup lebat. Ternyata setelah 7 hari di pengungsian ia hanya melihat beberapa warga Madura dari Semuda. Berarti ada sedikitnya 500 orang Madura yang tewas melawan Dayak di Semuda. “Kalau masih hidup seharusnya perjalanan mereka tidak lebih dari satu atau dua hari saja,” kata Sopian. Sopian bersama pengungsi lain yang ada di pengungsian pun mengaku masih dibayang-bayangi pasukan suku Dayak. Bahkan ada isu bahwa kamp pengungsian di halaman Pemda Sampit akan diserbu oleh Dayak. Hal ini membuat warga Madura yang ada di pengungsian menjadi resah, di samping mereka sudah ketakutan, juga mereka sudah tidak memiliki senjata lagi. Menurut Kilan, sejumlah orang Dayak membawa mayat orang Madura dengan geledekan keliling kota. Tidak sampai di situ, geledekan yang berisi orang Madura ditinggal begitu saja di depan Polres Sampit, Jl. Sudirman.Kekesalan warga Madura terhadap oknum polisi di Polsek Jl. Ba Amang Tengah semakin menjadi, seperti yang diungkapkan oleh Somad yang mendatangi kantor Polsek. Ia minta perlindungan setelah dikejar-kejar oleh sekitar 50 Dayak, Somad minta diantar ke tempat pengungsian. Kapolsek bukannya menolong tapi justru memanggil Dayak yang ada di sekitar situ. Somad mengaku lari ke belakang, dengan melompat lewat pintu belakang Polsek ia akhirnya lolos lari ke semak-semak. Ia sempat merangkak sejauh 300 m sebelum lepas dari kejaran Dayak dan lari ke hutan. Dari hutan ini ia menyusuri tepian hutan dan akhirnya sampai ke tempat pengungsian. Ia pun bersyukur karena bisa ketemu dengan anak istrinya. Seorang pengungsi, Choiri (40), dari Pasuruan mengatakan, ada peristiwa yang sangat mengenaskan dari daerah Belanti Tanjung Katung, Sampit. Sebanyak 4 truk pengungsi Parengkuan yang dibawa oleh orang yang mengaku petugas dengan mengatakan akan dibawa ke tempat penampungan pengungsi di SMP 2, akhirnya dibantai habis. Ternyata mereka yang mengaku petugas adalah pasukan Dayak, orang Madura disuruh turun dan dibantai. “Jika tiap truk berisi 50 pengungsi berarti ada 200 pengungsi yang tewas dibantai,” kata Choiri. Choiri mengatakan, yang dibantai itu semuanya wanita dan anak anak.

Begitu jemputan yang kedua tiba, yang diangkut adalah orang laki-laki dewasa, justru mereka selamat tidak di tempat pengungsian karena dikawal oleh Brimob dari Jakarta. Liar Pengakuan seorang pengungsi, Titin (19), asli Lumajang, yang tinggal di Jl. Pinang 20 Sampit mengatakan, suaminya yang asli Dayak Kapuas yang kini ikut pasukan Dayak. Ia menceritakan, suaminya pernah bercerita padanya, mengapa orang Dayak menjadi pandai berkelahi dan larinya cepat bagai kijang. Awalnya suaminya enggan menjadi pasukan Dayak untuk membunuhi orang Madura. Tapi karena dihadapkan pada satu di antara dua pilihan, jadi pasukan atau mati, terpaksa suaminya memilih jadi pasukan Dayak. Saat itu ia disuruh minum cairan yang membuatnya ia menjadi berani, kemudian alisnya diolesi dengan minyak yang membuat ia melihat bahwa orang Madura itu berwujud anjing dan akhirnya harus diburu dan dibunuh. Makanya orang Dayak tidak punya takut, tidak punya rasa kasihan, ini menurut Titin karena sudah diberi minuman dan olesan minyak tertentu. Sehingga mereka mirip dengan jaran kepang yang sedang kesurupan, mungkin mereka kerasukan roh nenek moyangnya dan membunuh sesuai dengan perintah panglima perang suku Dayak. (R Dewanto Nusantoro)

E. Akhir Konflik

Kerusuhan sampit yang menjalar hingga kesegala penjuru kalimantan tengah benar-benar berakhir sekitar bulan Maret pertengahan. Untuk memperingati akhir konflik ini dibuatlah perjanjian damai antar suku dayak dan madura. Perjanjian itu tertulis dalam sebuah buku yang berisi beberapa persyaratan dan hal-hal lainnya. Selain itu untuk memperingati perjanjian damai itu, dibangun sebuah tugu perdamaian di Sampit.

Tambahan:

Hingga saat ini di kota Sampit masih terlihat bekas-bekas kerusuhan 13 Tahun silam, bekas pembakaran rumah, gedung, dan rumah2 kosong yang tak jelas penghuninya

Terdapat kuburan masal bagi korban kerusuhan sampit.

Ketika terjadi kerusuhan para pasukan dayak mengidentikan dirinya dengan kain berwarna merah yang diikat di kepala/senjata yg digunakan.

Tidak sampai 1 tahun dari akhir kerusuhan, orang-orang madura mulai berdatangan ke sampit lagi.

Setelah akhir kerusuhan presiden Abdurrahman Wahid melakukan kunjungan ke Sampit.

Sejak akhir kerusuhan hingga sekarang Sampit mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat baik dibidang ekonomi maupun industri.

Sampit kini menjadi kota yang damai, sejahtera, penduduknya rukun, dan jangan takut ketika mendengar kata ''Sampit''. Jangan takut juga untuk berkunjung atau berwisata ke kota Sampit.

Dokumentasi:


Sejarah Tragedi Sampit: Dayak Vs Madura

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 6 Comments


(Sejarahnya menurut tradisi lisan suku Dayak Desa di Kalimantan Barat)

Saya tergelitik menuliskan kisah lokal ini karena kesimpangsiuran sejarah nusantara, khususnya tentang tokoh besar Kerajaan Majapahit ditanah Jawa yang hingga hari ini tak pernah usai diperbincangkanpara ahli sejarah Indonesia. Bahkan, kabar terbaru, sejarah Gajah Mada dikuak dengan versi yang berbeda dari sebelumnya. 

Tahun 2009, saya bekerja di sebuah perusahaan pertambangan dikawasan jalan Trans Kalimantan ini. Modang, nama kampung itu. Berjarak sekitar 6 Km dari Teraju, ibukota Kecamatan Toba Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Modang salah satu dusun di Desa Bagan Asam. Penduduknya etnik Dayak Desa. Di tengah kampung, terdapat 2 situs penting yang dikeramatkan penduduk setempat: Situs Desa Sembilan Domong Sepuluh dan Situs Tiang bendera Majapahit. Kenapa ada situs tiang bendera Mapajahit di Modang? Berikut cerita rakyat Dayak Desa tentang asal muasal situs itu yang saya rangkum pada tahun 2009 silam. (Yohanes S. Laon)
----------

Mada dikenal sebagai anak lelaki pasangan suami istri Babai Apo dan Dara Jampe, ia adik Cinga (kelak menikah dengan Dara Nante, dan mendirikan Kerajaan Sanggau). Babai adalah gelar kepala suku. Babai Apo adalah kepala suku dayak desa, yang wilayah kekuasaanya dikenal sebagai Loui (Lawai). Menurut tradisi lisan Dayak Desa, negeri Loui melingkupi daerah yang begitu luas yang masing-masing dipimpin oleh seorang pemimpin bergelar Domong. Domong adalah pemimpin yang dikenal arif, bijaksana dan berani. Domong dibantu seorang panglima perang yang bergelar Gajah. Sama halnya di daerah Oha' yang pemimpin rakyatnya bergelar Singa, atau didaerah Jangkang yang pemimpinnya bergelar Macan. 

Suatu hari, ada permufakatan 10 Domong dengan raja untuk melakukan tradisi kayau (head hunting) sekaligus mencari Dara Sanjati, gadis dari kampung Mungguk Kalimantan (sekarang Dusun Mungguk Kemantan) yang diculik musuh dari lautan. Dara Sanjati adalah tunangan Mada. Mada belum boleh diberi gelar Gajah, dan belum boleh menikah karena belum pernah mengayau (berburu kepala musuh). Mendapati gadisnya diculik, marahlah Mada. Ia bertekad bila menemukan gadisnya itu, ia akan membalas dendam dengan memperluas wilayah kekuasaan, bukan hanya di pulau Bakulapura (nama pulau Kalimantan era Imperium Singhasari di Jawa) tetapi juga hingga ke Pulau Hanyut/Pulo Anyut (Tumasik/Singapura sekarang ini).

Dihadapan Babai Apo dan para Domong, Mada kemudian mengusulkan dirinya untuk memimpin pasukannya dari berbagai negeri terdekat untuk mencari Dara Sanjati. Usul ini disetujui Babai dan Domong. Mada pergi ke hulu batangan banyuke (sungai Banyuke) menemui sahabatnya yang bernama Tanding, Nambi dan Nala. Keempatnya kemudian menemui sahabatnya Rumaga di hulu batangan sakayu (Sungai Mempawah). Mada juga menemui sahabatnya Sangen dihulu batangan ambalau (Sungai Ambalau). Setelah dirasa lengkap, Mada dan kawan2nya melakukan ritual "menajah antang", di sebuah batu besar (kini situs Desa Sembilan Domong Sepuluh), Mada dan 40 orang pasukannya berangkat dengan sebuah perahu besar kelaut...pasukannya dikenal dengan Satria Bakulapura. Mada dan pasukannya keluar dari Batangan Kapuhas (Sungai Kapuas) menuju muara laut dan berlayar selama 40 hari 40 malam.
---------
Selama pelayaran dilautan luas itu, banyak pasukan Mada menaklukan musuh dilautan, hingga tiba didaerah pantai yang menjadi kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Dipantai yang penuh darah karena pertempuran pasukannya dengan sekelompok prajurit kerajaan itu, oleh Sangen dan kawan2nya, sesuai tradisi leluhurnya, Mada diangkat sebagai panglima dengan gelar Gajah.

Dipantai inipula, Gajah Mada berkenalan dengan seorang pemuda pendiam, bernama Mauli. Pun, Gajah Mada memperhatikan, selama pertempuran itu, sang pemuda ini hanya melihat dikejauhan. Setelah pertempuran, dan semua kepala prajurit kerajaan itu dipenggal kepalanya oleh Gajah Mada dan pasukannya dan dibawa ke kapal, oleh pemuda itu, Mada dibawa kerumahnya. Tak dinyana, ia seorang raja, bergelar Srimat srivhuwanaraja mauli warmadewa, raja Sriwijaya. Di istana, Gajah Mada diperkenalkan dengan anak-anaknya, seorang bernama Dara Petak dan seorang lagi bernama Dara Sanjati (dikenal dengan Dara Jingga). Gajah Mada dan pasukannya diperlakukan dengan sangat baik oleh istana, apalagi ketakutan raja yang mengetahui bahwa seorang anak angkatnya ternyata kekasih Gajah Mada dari negeri Bakulapura itu. Suatu hari, kerajaan mendapat serangan dari tanah Jawa. Kerajaan nyaris dihancurkan, oleh karenanya raja mengirim kedua putrinya untuk dibawa ke tanah jawa sebagai bentuk persahabatan. Raja meminta Gajah Mada dan pasukannya mengawal dua putri raja tersebut bersama dengan rombongan dari tanah jawa. 

Setibanya di tanah jawa, kerajaaan Singasari sudah runtuh, dan raja tewas karena pemberontakan. Namun, telah berdiri kerajaan baru bernama Majapahit yang dipimpin Raden Wijaya. Raden Wijaya kemudian memperistri Dara Petak yang kelak melahirkan Jayanegara, sedangkan kekasih Gajah Mada diperistri Mahapatih Dyah Adwajabhram yang kelak melahirkan Adityawarman, Raja Sriwijaya. Di istana Majapahit, Gajah Mada tetap diangkat sebagai prajurit pengawal raja dan keluarganya. Karena jiwa kepemimpinan dan keberaniannya, Mada pernah diangkat sebagai Patih di Doha dan Kahuripan. Ketika terjadi pemberontakan Rakuti, Rumaga, yang di Majapahit dikenal sebagai Rasidi ikut memberontak. Rumaga ini seorang prajurit Gajah Mada yang dibawanya dari Bakulapura. Gajah Mada kemudian meminta Rasidi kembali saja ke Bakulapura, yang pada masa itu disebutnya sebagai Tanjungnegara. Radisi ikut perintah Gajah Mada dan setibanya di kampungnya yang bernama Pakana, ia melanjutkan kepemimpinan ayahnya sebagai raja dengan gelar Patih. Kerajaan itu bernama Bangkule Rajakng, hulu Batangan Mampawah (Sungai Mempawah). 

Di Bangkule Rajakng, Gumantar, anak Patih Rumaga dikirim ayahnya ke Majapahit menemui Gajah Mada. Gumantar muda ini sangat tangkas dan berani. Karena kehebatannya ini, Gumantar kemudian diangkat Mada sebagai bekel, kepala regu prajurit Bhayangkara, pasukan pengawal raja dan keluarganya. 

Pada masa raja Tribuwana Wijaya Tunggadewi, Mada diangkat menjadi Maha Patih Amangkubhumi Majapahit, menggantikan Arya Tadah. Pada pelantikannya, Gajah Mada mengucapkan sumpah yang dikenal dengan Amukti Palapa atau Sumpah Palapa. Sejak sumpah itu, berturut-turut berbagai negara di nusantara ditaklukan Mada dan pasukannya. Bersama Tanding dan Nala (pasukan Mada dari negeri Banyuke), mereka menaklukan negeri-negeri Siam, Malaya hingga Tumasik. Hanya ada dua negeri yang belum ditaklukan, Madura dan Sunda, karena keduanya memiliki ikatan khusus dengan Raden Wijaya, pendiri Majapahit. Ambisi politik Gajah Mada mengingkari janji pendiri negeri, sebab ia lebih percaya sumpah. Bersamaan dengan lamaran raja Hayam Wuruk kepada Dyah Pitaloka Citraresmi, putri sunda, Gajah Mada dan pasukannya membunuhi semua prajurit kerajaan, termasuk raja. Sang putri, calon mempelai raja Hayam Wuruk juga bunuh diri. Tindakan Gajah Mada yang haus darah ini dianggap aib bagi kerajaan. Ia kemudian dipersalahkan, terutama oleh musuh-musuhnya. 

GAJAH MADA KEMBALI KE KALIMANTAN
Pasca perang yang dikenal dengan Perang Bubat itu, Gajah Mada kemudian lebih banyak menyendiri dirumahnya dilereng gunung Bromo. Ia merasa bersalah kepada raja. Ia memerintahkan semua pasukannya untuk kembali ke negeri asal masing-masing. Gumantar misalnya, ia kembali ke Bangkule Rajakng dan menjadi raja menggantikan ayahnya dengan gelar Patih Gumantar. Oleh Gajah Mada, Gumantar dibekali sebilas keris bernama keris susuhunan. Demikian pula Tanding, dan Nambi, keduanya kembali ke negeri Banyuke dan mendirikan kerajaan baru bernama Jarikng dihulu sungai banyuke. Sepeninggal prajurit utamanya, Mada kemudian kembali keberbagai daerah yang pernah ditaklukannya untuk meminta maaf, setelah semua pewaris kerajaan itu dijumpainya, ia kembali ke tanah leluhurnya, Bagan Asam. Ditempat inilah, Gajah Mada beristirahat. Ia disambut sukacita warga, dan pemimpin rakyat diwilayah Desa Sembilan Domong Sepuluh. Sebagai tanda perjanjiannya bahwa ia telah kembali, Gajah Mada menancapkan sebuah panji majapahit di Modang (berbentuk tiang bendera/kini terletak di Dusun Modang Desa Bagan Asam Kec.Toba kab.Sanggau) Ia kemudian memutuskan bertapa di sebuah bukit batu, yang kini dikenal sebagai Bukit Batu Daya (Kec.Simpang Hulu, Kab.Ketapang).

GAJAH MADA: Orang Dayak Yang Mengayau Ke Tanah Jawa

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 2 Comments
Tag : ,
Johannes Chrisostomus Oevaang Oeray atau yang lebih dikenal dengan J.C. Oevaang Oeray ialah salah seorang tokoh pejuang di Kalimantan Barat sekaligus menjabat sebagai gubernur Kalimantan Barat pada periode 1960-1966. J.C Oevaang Oeray lahir pada tanggal 18 Agustus tahun 1922 di Tanjung Kuda, desa Melapi I, Kabupaten Kapuas Hulu. Dan meninggal di Pontianak, 17 Juli1986 pada umur 63 tahun).

J.C Oevaang Oeray menempuh pendidikan dasar selama enam tahun di Sekolah Rakyat (SR) didesanya. Ia kemudian melanjutkan ke Sekolah Guru dan Sekolah Seminari Nyarumkop selama 6 tahun. Setelah tamat dari Sekolah Seminari, ia sempat melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Pastor. Namun karena adanya perbedaan pendapat antara dirinya dengan salah seorang Pastor Belanda, sehingga ia mendapatkan sanksi dan tidak diperbolehkan meneruskan sekolah seminari tingginya.

Awal Karir J.C Oevaang Oeray

Kepedulian dan keprihatinan J.C Oevaang Oeray terhadap kondisi sosial masyarakat Dayak telah tampak sejak dibangku Seminari Nyarumkop. Pemikirannya semakin berkembang sejak ingin menjadi seorang guru, tepatnya pada tahun 1941 ia menulis surat kepada para guru sekolah Katholik se-Kalimantan Barat yang sedang mengadakan retret (rekoleksi) tahunan di Sanggau untuk turut peduli kepada kondisi sosial masyarakat Dayak pada saat itu yang masih terbelakang. Gagasan J.C Oevaang Oeray tersebut mendapat sambutan baik oleh peserta retret yang pada waktu itu dipimpin oleh tokoh-tokoh guru Khatolik seperti A.F. Korak, J. R. Gilling dan M. Th. Djaman. Berangkat dari kesamaan pemikiran maka mereka sepakat untuk memperjuangkan perubahan kondisi sosial masyarakat dayak melalui sebuah perjuangan politik. Pada tanggal 30 Oktober 1945 lahirnya Dayak In Action (DIA) atau Gerakan Kebangkitan Dayak di Putussibau dibawah kepemimpinan F.C Palaunsuka, salah seorang guru sekolah rakyat. Selanjutnya Dayak In Action (DIA) merupakan cikal bakal Partai Persatuan Dayak (PD).

Seiring berjalannya waktu, Partai Persatuan Dayak (PD) mengalami perkembangan yang pesat dimana mulai dibentuk Dewan Pimpinan Cabang (DPC) disetiap desa. Akibat perkembangan politik yang meningkat, maka pada akhir Desember 1946, Partai PD mengadakan rapat paripurna yang menghasilkan keputusan untuk memindahkan kedudukan partai dari Putussibau ke Pontianak yang kemudian melalui keputusan musyawarah bersama pada tanggal 1 Januari 1947, Oevaang Oeray diangkat sebagai Ketua Umum Partai PD.

Sewaktu Sultan Hamid II membuat DIKB (Daerah Istimewa Kalimantan Barat), pejuang Kalbar yang sifatnya unitarianisme menganggap bahwasanya PPD dibuat untuk keuntungan NICA agar dapat menguasai Kalbar lagi. Kebetulan Oevaang Oeray dalam DIKB mendapat bagian dalam Dewan Pemerintahan Harian bersama keempat orang lainnya, yakni A.P. Korak (Dayak), Mohammad Saleh (Melayu), Lim Bak Meng (Tionghoa), dan Nieuwhusjsen. Kemudian pada 22 Juni 1959, Oevaang Oeray dilantik menjadi Kepala Daerah Swatantra Tk. 1 oleh Sekretaris Jenderal Dalam Negeri dan Otonomi Daerah R.M. Soeparto menggantikan Mendagri.

Melalui sidang tanggal 14 November 1959 DPRD Tingkat I Kalimantan Barat menetapkan nama calon Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Barat. Pada saat itu terdapat dua kandidat calon Gubernur, yaitu Oevaang Oeray (PD) dan R. P. N. L. Tobing (PNI). Dari dua calon tersebut ternyata sesuai dengan Surat Keputusan Presiden RI No. 464/M tanggal 24 Desember 1959, ditetapkan. Oevaang Oeray sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Barat terhitung sejak tanggal 1 Januari 1960 s/d 1966.

J.C Oevaang Oeray pernah mengalami gejolak politik pada masa pemerintahannya. Sebagai contoh saat kesuksesan Partai Persatuan Dayak dalam mengikuti pemilu 1955 dengan suara sebanyak 146.054 sehingga mengundang banyak reaksi. Orang-orang Melayu menuduh Oevaang Oeray melakukan nepotisme dalam pengangkatan pegawai. Ini dikarenakan pada zaman penjajahan, Suku Dayak dianggap rendah dan dikucilkan oleh Kesultanan-Kesultanan Melayu. Sehingga, tindakannya ini dilatarbelakangi dengan niatannya untuk mengangkat derajat Suku Dayak.

Selain itu, Partai Persatuan Dayak mengalami kemunduran yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah pusat untuk mengurangi partai politik daerah dan akibat adanya konflik ditubuh internal partai. Pada tahun 1960-an, PD mengalami perpecahan dan menjadi dua fraksi. Fraksi pertama dikomandoi oleh Gubernur Oevaang Oeray yang didukung oleh Partindo (partai nasionalis sayap kiri). Fraksi kedua dipimpin oleh Palaoensoeka dan didukung mayoritas guru Katolik dan bergabung dengan Partai Katolik. Ditambah lagi dengan konstelasi politik pada tahun 1965 J.C Oevaang Oeray dikarenakan ia adalah orang yang dekat dengan Soekarno/Soekarnois. Setelah insiden pembunuhan 6 jenderal di Jakarta, ia dituding sebagai tokoh politik yang terlibat PKI. Padahal menurut evaluasi Kementerian Luar Negeri, Oevaang Oeray bukanlah simpatisan PKI, melainkan anggota Partindo yang sering diidentikkan sebagai kelompok sayap kiri.

Hal ini membuatnya dituntut mundur pada awal 1965, Ia dituntut turun dari jabatan gubernurnya karena dituduh telah menciptakan perpecahan etnis dan sebagai simpatisan PKI. Dasar hukum pemberhentian Oevaang Oeray ini ialah keputusan No.UP.12/2/43-912 tanggal 12 Juli 1966 memberhentikan dengan hormat J.C Oevang Oeray selaku Gubernur Kepala Daerah Kalbar dan menunjuk Letkol Soemadi BcHK sebagai gubernur baru. Guna mencari gubernur baru secara definitif, maka DPRD GR Kalbar dalam sidangnya pada tanggal 18 Juli 1966 menetapkan dua orang calon gubernur, masing- masing Kol.CHK Soemadi BCHK serta F.C Palaunsoeka. Akhirnya Presiden RI mengangkat Kol CHK Soemadi BCHK sebagai Gubernur Kalbar Tingkat I melalui SK Presiden No 88 tanggal 1 Juli 1967. Pemberhentian Gubernur Oevang Oeray berdasarkan SK Presiden RI No 207 tanggal 22 September.

Untuk mengenang jasa dan sumbangsih J.C Oevaang Oeray dalam pembangunan khususnya di Kalimantan Barat, ia telah diusulkan untuk menjadi salah satu pahlawan nasional namun belum mendapat persetujuan dari pemerintah sampai saat ini.

J.C Oevaang Oeray

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 1 Comment
Tag : , ,
Dalam proses perjalanannya, masyarakat adat Dayak menghadapi tantangan yang berat untuk tetap bertahan dalam tradisinya. Kini mereka dipaksa untuk ”modern” dari kacamata masyarakat umum dengan keharusan meninggalkan tradisi leluhur yang memiliki nilai-nilai budaya luhur. Demi kepentingan pembangunan yang hanya dimaknai mengejar pertumbuhan ekonomi, keberadaan komunitas adat atau suku terasing dimana pun berada sering kali diabaikan seperti halnya yang dialami oleh orang Dayak. Padahal, cara dan nilai hidup komunitas adat itu penting untuk menjaga bertahannya keanekaragaman budaya. Komunitas adat semestinya harus didorong untuk menjadi bagian komunitas internasional dengan pendekatan pembangunan yang berperspektif budaya dan identitas. Pembangunan mesti didasarkan pada keragaman budaya. Pembangunan, jangan hanya dipahami secara sempit, yakni soal pertumbuhan ekonomi saja. Pembangunan juga berarti untuk mencapai kepuasan intelektual, emosi, moral, dan eksistensi spiritual.

Menurut J.U. Lontaan, kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Pada masa lalu, orang Dayak hidup mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka. Namun, kuatnya arus urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar, seperti kedatangan Melayu menyebabkan mereka harus menyingkir ke daerah-daerah pedalaman di seluruh daerah Kalimantan.

Orang Dayak mengidentifikasikan kelompok-kelompoknya berdasarkan asal usul daerahnya, seperti nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Dayak Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa kayaan berarti pengembara), demikian juga menurut sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Dayak Jalai, karena berasal dari sungai Jalai, suku Dayak Mualang, diambil dari nama seorang tokoh lokal yang disegani (Manok Sabung) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang. Dayak Bukit (Kanayatn) berasal dari Bukit atau gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak Simpakng, Kendawangan, Krio, Kayaan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju dan lain sebagainya, semua mempunyai latar belakang sejarahnya sendiri-sendiri.

Bicara tentang suku bangsa Dayak memang tidak pernah habisnya. Dayak merupakan sumber ilmu yang ibarat air selalu memberikan dahaga bagi setiap insan, menjadi sumber inspirasi yang begitu melimpah, yang tidak hanya bisa ditakar dalam sebuah buku, penelitian, studi-studi ilmiah, artikel-artikel, atau pun diskusi-debat dari forum ke forum saja.

Setiap kajian dan bahasan tentang Dayak, tidak akan berarti apa-apa jika tidak mengacu pada identitas Dayak yang sesungguhnya. Hanya dengan identitas-lah, maka pembahasan tentang Dayak akan lebih terasa bermakna dan konstruktif. Jika tidak, maka setiap bahasan itu akan terasa sangat dangkal dan tidak ada artinya. Menyelam Dayak tidak bisa hanya terpaku pada satu perspektif saja atau hanya mengacu pada teori ilmu pengetahuan modern. Dayak tidak bisa dikaji dalam perspektif ilmu pengetahuan modern, seperti melalui bidang ekonomi, sosial-politik, kesehatan saja, melainkan harus mengedepankan cara berpikir yang benar, argumentative dan saling berkaitan dengan meletakkan dasar pikiran pada eksistensi Dayak itu sendiri.

Bahasan kali ini bukan berarti penulis ingin mengajak sidang pembaca untuk kembali bernostalgia pada situasi masa lalu, melainkan untuk melihat kembali realitas yang menimpa kehidupan orang Dayak pada masa lalu, dan saat ini. Pada prinsipnya, perkembangan zaman tidak bisa kita tolak, dan tidak bisa terbantahkan, namun bagaimana ditengah arus deras pembangunan dan globalisasi yang begitu masif itu, orang Dayak tetap bisa mempertahankan identitas, terus mewarisi pengetahuan dan kearifan yang mereka miliki dari generasi ke generasi, tanpa putus dan melepas baju identitasnya. Masifnya perkembangan dunia dengan konsep menguasai panggung kehidupan manusia telah menciptakan pelbagai produk-produk yang menindas, tak luput aspek kebudayaan lokal turut terjerembab oleh hegemoni budaya-budaya luar yang sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai asli kebudayaan Dayak. Pelan tapi pasti, kebudayaan luar yang lebih menyuguhkan gemerlap kemewahan, penyamaan selera, instan, dan sebagainya menjadi ancaman serius yang akan menerpa eksistensi Dayak, baik hari ini maupun yang akan datang.

Karena jika tidak, suatu saat nanti maka identitas orang Dayak hanya akan menjadi sebuah balada yang memilukan, yang tergerus oleh arus budaya yang menindas. Tentu saja kita tidak menghendaki kondisi ini terjadi dan membiarkan Dayak kehilangan identitasnya.

Kita bisa melihat generasi muda Dayak saat ini yang sebagian besar sudah tercerabut dari akar budayanya, cenderung lebih membanggakan nilai-nilai budaya luar ketimbang budayanya sendiri, mengagungkan gemerlap modernisasi yang tidak mereka ketahui bahwa itu akan melindas identitas mereka sendiri. Umar Kayam dalam bukunya, Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya, pernah menyaksikan dan juga sekaligus meramal berbagai persoalan dan perubahan sosial yang sudah dan akan terjadi di seluruh wilayah Nusantara yang tempoe doeloe bernama Hindia Belanda ini. Berbagai persoalan dan perubahan sosial yang ia maksud ialah “mencairnya kebudayaan-kebudayaan setempat dari sifatnya yang homogen menjadi lebih heterogen, kemudian yang lebih penting lagi bahwa penerus-penerus nilai-nilai budaya setempat tidak lagi dapat diharapkan perannya, karena orang-orang muda sebagai penerus nilai budaya itu pergi meninggalkan tempat asal atau kampung halamannya untuk memburu ilmu di kota”.

Apa yang disaksikan Umar Kayam adalah sebuah fakta yang terjadi di kampung halaman penulis, sub-suku Dayak Simpakng, di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Karena banyak generasi Simpakng yang pergi ke kota untuk menimba ilmu sehingga nilai-nilai budaya lokal semakin terkikis akibat tidak adanya penerusnya. Banyak tradisi yang musnah, ditinggalkan dan tidak dilestarikan lagi. Memang disatu sisi, jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Kabupaten Ketapang, orang Dayak Simpakng-lah yang paling banyak melahirkan generasi-generasi yang berpendidikan. Namun jika dilihat kehidupan budayanya justru banyak mengalami kemunduran.

Sebagai generasi yang sudah banyak ditinggal tradisi leluhur, penulis merasa berada dalam situasi kebimbangan. Sehingga pertanyaan refleksi yang selalu penulis ajukan untuk diri penulis sendiri adalah, akankah kondisi itu kita biarkan terus berlanjut? Tentu saja tidak. Karena penulis yakin kita bangga sebagai orang Dayak. Sebagai generasi yang ‘gamang’, tentu saja kita harus selalu mencari dan terus mencari identitas kita yang sebagian sudah hilang. Jangan biarkan diri kita hanyut dalam buaian kemajuan yang justru akan menghilangkan jati diri kita sebagai anak bangsa Dayak. Karena bicara tentang identitas diri, kita tidak hanya bicara sebatas menyebut kata Dayak saja, melainkan harus memahami dan melestarikan nilai-nilai terkandung dalam identitasnya itu sendiri.

(*Frans Lakon Dalam Buku: DAYAK MENGGUGAT)

Manusia Dayak Dipaksa Modern

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 1 Comment
Bukit Kelam adalah sebuah bukit batu (monolit) dengan ketinggian 600 meter dan luasnya kira-kira 4000 meter persegi serta memiliki warna hitam kelam dengan ditumbuhi pohon besar di sekitarnya. Bukit kelam juga diklaim sebagai batu terbesar didunia. Bukit Kelam merupakan salah satu dari sejuta keindahan alam yang terdapat diKalimantan sehingga tak ayal Bukit kelam juga merupakan tujuan wisata yang terdapat di Kabupaten Sintang

Bukit kelam terletak di Kecamatan Kelam Permai Kabupaten Sintang dan berjarak sekitar 395 km disebelah timur ibukota Kalimantan Barat Pontianak serta berada diantara dua buah sungai besar, yaitu sungai kapuas dan melawi. Kawasan seluas 520 hektar itu oleh pemerintah pusat melalui surat keputusan menteri kehutanan RI nomor 594/Kpts-II/92 tanggal 06 Juni 1992 ditetapkan sebagai taman Wisata Alam Bukit Kelam.

Bukit Kelam menyimpan sejuta keindahan dan keanekaragaman didalamnya. Di kawasan ini terdapat berbagai flora dan fauna langka antara lain, seperti meranti (shorea sp), bangeris (koompassia sp), tengkawang (dipterocarpus sp), kebas-kebas (podocarpusceae), anggrek (archidaceae), dan kantong semar raksasa. Berbagai fauna langkanya, seperti beruang madu (heralctus mayalanus), trenggiling (manis javanica), kelelawar (hiropteraphilie), dan alap-alap (acciptiter badios) yang menambah daya tarik kawasan ini.

Ketinggian Bukit Kelam berkisar antara 50 meter – 900 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan antara 15°- 40°, sehingga sangat tepat dijadikan tempat untuk melakukan olahraga terbang layang dan panjat tebing bagi penyuka olahraga lintas alam, di kawasan ini pula terdapat jalan setapak yang berliku-liku sampai ke dalam hutan dengan medan yang cukup terjal. Bagi yang ingin ke puncak bukitnya, dapat melewati sebuah tangga batu yang memiliki ketinggian sekitar 90 meter yang terletak di sebelah barat Bukit Kelam. Dipuncak bukit terdapat pula gua-gua alam yang eksotik dan bernuansa magis yang didalamnya banyak terdapat burung walet. Dari puncak Bukit kelam kita juga disajikan dengan keindahan pemandangan dua buah sungai yang mengapit bukit ini.

Bukit Kelam ini berkaitan erat dengan legenda Bujang Beji dan Tumenggung Marubai. Diceritakan bahwa kedua sosok tersebut adalah ketua dari masing-masing kelompok nelayan mereka di Sintang. Bujang Beji menguasai daerah Sungai Kapuas, dan Tumenggung Marubai di Sungai Melawi. Bujang beji iri melihat Tumenggung Marubai yang selalu mendapat ikan lebih banyak sehingga ia berencana hendak menutup aliran sungai Melawi. Lalu, Bujang beji pergi ke Kapuas hulu untuk mengangkat sebuah Batu besar yang ada di puncak bukit Nanga Silat, namun saat dia sampai di persimpangan antara sungai Kapuas dan sungai Melawi, ia mendengar suara cekikikan para dewi-dewi khayangan yang tengah melihatnya mengangkat batu besar tersebut, tanpa sadar langkahnya salah dan dia menginjak sebuah duri dari tanaman beracun dan kemudian batu tersebut terlepas dan terbenam di suatu tempat yang bernama jetak. Batu itulah yang lama kelamaan tumbuh menjadi Taman wisata Bukit Kelam ini.


Taman Wisata Bukit Kelam

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 0 Comments
Dari kebanyakan sejarahnya, Kalimantan jarang ditinggali oleh manusia. Iklim yang tak bersahabat dan lebatnya hutan hujan membuat populasinya kecil dan menyebar. Namun setengah abad ini semua telah berubah. Pengaruh dari masuknya setengah juta transmigran ke Borneo selama 30 tahun ini telah melipatgandakan populasi pulau tersebut dan memunculkan besarnya kebutuhan kerja. Awalnya industri karet dan penebangan kayu menyediakan lapangan pekerjaan, tapi ketika runtuh di pertengahan (Malaysia) hingga akhir (Indonesia) 1990an, kesempatan kerja ikut menghilang bagi kebanyakan penduduk lokal. Walau bagitu, ratusan pendatang baru terus muncul di Kalimantan setiap minggunya.

Meningkatnya pengangguran adalah masalah yang serius di Borneo pada akhir 1990an dan awal 2000an dan konflik etnis mengamuk di bagian-bagian Kalimantan pada saat itu. Munculnya kelapa sawit di akhir 1990an dan awal 2000an dilihat sebagai kesempatan baru bagi penduduk dan pemerintah lokal.

Namun kehadiran kelapa sawit tidak bisa disebut sebagai salah satu jalan mengatasi pengangguran saja, diluar itu kehadiran kelapa sawit membawa beberapa dampak bagi masyarakat Indonesia khususnya masyarakat di Kalimantan, antara lain :

Dampak Lingkungan

Setidaknya, ada beberapa dampak negatif dari perkebunan sawit bagi lingkungan hidup di Indonesia. Dengan luas lahan perkebunan sawit yang sudah mencapai 7,4 juta hektar, dampak negatif perkebunan sawit akan terus meluas seiring bertambahnya areal perkebunan. Kabut asap merupakan masalah pertama. Saat perkebunan sawit akan dibuka, pembakaran lahan dengan api telah menjadi salah satu metode untuk membersihkan lahan sebelum ditanami sawit. Semakin tinggi tingkat ekspansi lahan, makin tebal kabut yang dihasilkan. Alih fungsi kawasan merupakan faktor terbesar yang menyebabkan rusaknya kemampuan hutan sebagai kawasan penyerap air, penyimpan air, dan mendistribusikannya secara alamiah. Ada hubungan erat antara intensitas banjir yang meningkat dengan meningkatnya luas wilayah perkebunan sawit.

Akibat lain adalah semakin sulitnya akses terhadap air bersih karena perusahaan sawit menguasai lahan tempat sumber air. Selain itu, perusahaan sawit sangat intensif menggunakan bahan kimia untuk mendukung sistem perkebunan intensifikasi. Penggunaan pestisida dan herbisida dalam jumlah besar di perkebunan kelapa sawit mengakibatkan kualitas air di sekitar wilayah perkebunan menurun.

Pembukaan perkebunan kelapa sawit juga berkontribusi pada pemanasan global dan perubahan iklim. Pembukaan lahan melalui pembakaran lahan dan konversi kawasan hutan dan rawa gambut telah menjadikan Indonesia sebagai negara penyumbang emisi CO2 terbesar ketiga di dunia. Hingga saat ini, pemerintah masih belum konsisten dalam mengeluarkan kebijakan. Di satu sisi pemerintah mengajukan untuk mendapat kompensasi berupa kredit dari negara maju untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan penghancuran hutan melalui penerapan Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD), tetapi di sisi lain memberikan banyak kawasan yang luas untuk dikonversi.

Dampak terakhir adalah penurunan drastis keanekaragaman hayati. Penurunan ini dikarenakan dikembangkannya model penanaman monukultur dalam skala besar. Jumlah spesies endemik kini semakin menurun, hal ini diperkuat dengan hasil riset terbaru yang menunjukkan tinggal 12 spesies makhluk hidup yang bertahan di sekitar perkebunan sawit. Mengatasi masalah ini, Salah satu solusi melalui restorasi di kawasan perkebunan. “Ini terkait dengan banyaknya perkebunan sawit yang mengkonversi dan beroperasi di sekitar aliran sungai. Berdasarkan undang-undang lingkungan hidup, aliran sungai harus bersih dari perkebunan dengan jarak 60-100 meter dari tepi sungai. Hal ini belum dilakukan pemerintah dan mutlak dilaksanakan.

Dampak Sosial

Dampak sosial dari perkebunan kelapa sawit sudah bisa mulai dipahami. Walau tak diragukan lagi bahwa perkebunan kelapa sawit menyediakan kesempatan kerja yang besar di Kalimantan, ada keraguan mengenai keadilan dari sistem yang ada, yang sepertinya kadang kala menjadikan para pemilik perkebunan kecil dalam kondisi yang mirip dengan perbudakan.

Kelangkaan dari kayu di beberapa bagian Kalimantan, membuat para penduduknya saat ini hanya memiliki beberapa pilihan untuk mengatasi perekonomian. Kelapa sawit sepertinya menjadi alternatif terbaik bagi masyarakat yang mengandalkan hidupnya dari menanam karet, menanam padi, dan menanam buah-buahan. Saat sebuah perusahaan pertanian besar masuk ke suatu daerah, beberapa anggota masyarakat kebanyakan sangat tertarik untuk menjadi bagian dari perkebunan kelapa sawit. Ketertarikan itu sendiri sebenarnya tidak lebih dari keadaan perekonomian mereka yang sedang tidak baik. Meskipun begitu, tidak sedikit masyarakat yang masih tetap bertahan menanam karet, menanam padi, dan menanam buah-buahan sebagai tumpuan perekonomian mereka. Dengan adanya yang beralih ke perkebunan kelapa sawit dan tetap dengan karet, padi, dan buah-buahan, dengan sendirinya akan menimbulkan kesenjangan sosial antar masyarakat. Akan muncul kecemburuan sosial antar masyarakat tersebut.

Bagi sebagaian masyarakat yang “menolak sawit” akan sangat sulit bagi mereka untuk benar-benar menolak pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di daerah mereka. Hal ini karena tidak banyak masyarakat Kalimantan (di pedalaman khususnya) yang mengerti tentang hal-hal seperti aturan pembukaan lahan, pembagian hasil, dll. Yang pada akhirnya akan muncul konflik antar pihak perusahaan sawit dengan masyarakat yang menolak tadi. Konflik ini sendiri sebenarnya adalah dampak psikologis masyarakat yang tidak mampu melawan tindakan perusahaan, terutama bila sebagian besar masyarakat melawan perusahaan tersebut (Dayak sering melawan rencana perusahaan kelapa sawit).

Dampak Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 3 Comments

- Copyright © DAYAK TALINO - MENEMBUS PERADABAN - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -