Tampilkan postingan dengan label Gubernur. Tampilkan semua postingan
Johannes Chrisostomus Oevaang Oeray atau yang lebih dikenal dengan J.C. Oevaang Oeray ialah salah seorang tokoh pejuang di Kalimantan Barat sekaligus menjabat sebagai gubernur Kalimantan Barat pada periode 1960-1966. J.C Oevaang Oeray lahir pada tanggal 18 Agustus tahun 1922 di Tanjung Kuda, desa Melapi I, Kabupaten Kapuas Hulu. Dan meninggal di Pontianak, 17 Juli1986 pada umur 63 tahun).
J.C Oevaang Oeray menempuh pendidikan dasar selama enam tahun di Sekolah Rakyat (SR) didesanya. Ia kemudian melanjutkan ke Sekolah Guru dan Sekolah Seminari Nyarumkop selama 6 tahun. Setelah tamat dari Sekolah Seminari, ia sempat melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Pastor. Namun karena adanya perbedaan pendapat antara dirinya dengan salah seorang Pastor Belanda, sehingga ia mendapatkan sanksi dan tidak diperbolehkan meneruskan sekolah seminari tingginya.
Awal Karir J.C Oevaang Oeray
Kepedulian dan keprihatinan J.C Oevaang Oeray terhadap kondisi sosial masyarakat Dayak telah tampak sejak dibangku Seminari Nyarumkop. Pemikirannya semakin berkembang sejak ingin menjadi seorang guru, tepatnya pada tahun 1941 ia menulis surat kepada para guru sekolah Katholik se-Kalimantan Barat yang sedang mengadakan retret (rekoleksi) tahunan di Sanggau untuk turut peduli kepada kondisi sosial masyarakat Dayak pada saat itu yang masih terbelakang. Gagasan J.C Oevaang Oeray tersebut mendapat sambutan baik oleh peserta retret yang pada waktu itu dipimpin oleh tokoh-tokoh guru Khatolik seperti A.F. Korak, J. R. Gilling dan M. Th. Djaman. Berangkat dari kesamaan pemikiran maka mereka sepakat untuk memperjuangkan perubahan kondisi sosial masyarakat dayak melalui sebuah perjuangan politik. Pada tanggal 30 Oktober 1945 lahirnya Dayak In Action (DIA) atau Gerakan Kebangkitan Dayak di Putussibau dibawah kepemimpinan F.C Palaunsuka, salah seorang guru sekolah rakyat. Selanjutnya Dayak In Action (DIA) merupakan cikal bakal Partai Persatuan Dayak (PD).
Seiring berjalannya waktu, Partai Persatuan Dayak (PD) mengalami perkembangan yang pesat dimana mulai dibentuk Dewan Pimpinan Cabang (DPC) disetiap desa. Akibat perkembangan politik yang meningkat, maka pada akhir Desember 1946, Partai PD mengadakan rapat paripurna yang menghasilkan keputusan untuk memindahkan kedudukan partai dari Putussibau ke Pontianak yang kemudian melalui keputusan musyawarah bersama pada tanggal 1 Januari 1947, Oevaang Oeray diangkat sebagai Ketua Umum Partai PD.
Sewaktu Sultan Hamid II membuat DIKB (Daerah Istimewa Kalimantan Barat), pejuang Kalbar yang sifatnya unitarianisme menganggap bahwasanya PPD dibuat untuk keuntungan NICA agar dapat menguasai Kalbar lagi. Kebetulan Oevaang Oeray dalam DIKB mendapat bagian dalam Dewan Pemerintahan Harian bersama keempat orang lainnya, yakni A.P. Korak (Dayak), Mohammad Saleh (Melayu), Lim Bak Meng (Tionghoa), dan Nieuwhusjsen. Kemudian pada 22 Juni 1959, Oevaang Oeray dilantik menjadi Kepala Daerah Swatantra Tk. 1 oleh Sekretaris Jenderal Dalam Negeri dan Otonomi Daerah R.M. Soeparto menggantikan Mendagri.
Melalui sidang tanggal 14 November 1959 DPRD Tingkat I Kalimantan Barat menetapkan nama calon Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Barat. Pada saat itu terdapat dua kandidat calon Gubernur, yaitu Oevaang Oeray (PD) dan R. P. N. L. Tobing (PNI). Dari dua calon tersebut ternyata sesuai dengan Surat Keputusan Presiden RI No. 464/M tanggal 24 Desember 1959, ditetapkan. Oevaang Oeray sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Barat terhitung sejak tanggal 1 Januari 1960 s/d 1966.
J.C Oevaang Oeray pernah mengalami gejolak politik pada masa pemerintahannya. Sebagai contoh saat kesuksesan Partai Persatuan Dayak dalam mengikuti pemilu 1955 dengan suara sebanyak 146.054 sehingga mengundang banyak reaksi. Orang-orang Melayu menuduh Oevaang Oeray melakukan nepotisme dalam pengangkatan pegawai. Ini dikarenakan pada zaman penjajahan, Suku Dayak dianggap rendah dan dikucilkan oleh Kesultanan-Kesultanan Melayu. Sehingga, tindakannya ini dilatarbelakangi dengan niatannya untuk mengangkat derajat Suku Dayak.
Selain itu, Partai Persatuan Dayak mengalami kemunduran yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah pusat untuk mengurangi partai politik daerah dan akibat adanya konflik ditubuh internal partai. Pada tahun 1960-an, PD mengalami perpecahan dan menjadi dua fraksi. Fraksi pertama dikomandoi oleh Gubernur Oevaang Oeray yang didukung oleh Partindo (partai nasionalis sayap kiri). Fraksi kedua dipimpin oleh Palaoensoeka dan didukung mayoritas guru Katolik dan bergabung dengan Partai Katolik. Ditambah lagi dengan konstelasi politik pada tahun 1965 J.C Oevaang Oeray dikarenakan ia adalah orang yang dekat dengan Soekarno/Soekarnois. Setelah insiden pembunuhan 6 jenderal di Jakarta, ia dituding sebagai tokoh politik yang terlibat PKI. Padahal menurut evaluasi Kementerian Luar Negeri, Oevaang Oeray bukanlah simpatisan PKI, melainkan anggota Partindo yang sering diidentikkan sebagai kelompok sayap kiri.
Hal ini membuatnya dituntut mundur pada awal 1965, Ia dituntut turun dari jabatan gubernurnya karena dituduh telah menciptakan perpecahan etnis dan sebagai simpatisan PKI. Dasar hukum pemberhentian Oevaang Oeray ini ialah keputusan No.UP.12/2/43-912 tanggal 12 Juli 1966 memberhentikan dengan hormat J.C Oevang Oeray selaku Gubernur Kepala Daerah Kalbar dan menunjuk Letkol Soemadi BcHK sebagai gubernur baru. Guna mencari gubernur baru secara definitif, maka DPRD GR Kalbar dalam sidangnya pada tanggal 18 Juli 1966 menetapkan dua orang calon gubernur, masing- masing Kol.CHK Soemadi BCHK serta F.C Palaunsoeka. Akhirnya Presiden RI mengangkat Kol CHK Soemadi BCHK sebagai Gubernur Kalbar Tingkat I melalui SK Presiden No 88 tanggal 1 Juli 1967. Pemberhentian Gubernur Oevang Oeray berdasarkan SK Presiden RI No 207 tanggal 22 September.
Untuk mengenang jasa dan sumbangsih J.C Oevaang Oeray dalam pembangunan khususnya di Kalimantan Barat, ia telah diusulkan untuk menjadi salah satu pahlawan nasional namun belum mendapat persetujuan dari pemerintah sampai saat ini.