Tampilkan postingan dengan label Kalimantan. Tampilkan semua postingan

Ilustrasi Burung Enggang Gading

Kisah Penciptaan Menurut Suku Iban


Pada awal mulanya yang ada hanya ada air (laut) asali. Di atas laut asali ini melayang-layang Ara dan Iri, dua keilahian yang mengambil rupa dua ekor burung, laki-laki dan perempuan, jantan dan betina. Secara bersama Ara dan Iri menciptakan dua substansi berbentuk telur raksasa. Dari kedua telur raksasa ini tercipta langit dan bumi [1]. Nama Ara di sini dapat berarti: mengembara, berkelana, keluyuran; pohon ara (sejenis Ficus indicus), menabur atau menyebarkan.


Dalam hubungan antara pohon dengan burung, ada sebuah mitos yang menuturkan tentang Sengalang Burong [2]. Dituturkan tentang seorang bernama Siu yang pergi berburu sepanjang hari tanpa mendapat seekor burungpun. Ketika hari sudah mulai malam ia menemukan sebatang pohon ara liar. Di situ hinggap banyak sekali burung yang belum pernah ia kenal selama ini. Segera ia mengumpulkan burung-burung itu sebanyak mungkin, hampir-hampir tak bisa dipikulnya, dan ia bermaksud datang kembali setelah burung yang dikumpulkannya itu dibawanya pulang. Namun, dalam perjalanan pulang ia tersesat dan akhirnya sampai ke sebuah rumah panjang yang hanya dihuni oleh seorang wanitam puteri Sengalang Burong. Siu diterima dan diwajibkan berjanji untuk tidak menceritakan kepada siapa pun tentang rumah panjang itu, yang adalah miliki Sengalang Burong. Atas perjanjian itu, mereka menjadi suami istri. Putera mereka bernama Seragunting, juga disebut Surong Gunting. Kepada Seragunting inilah kemudian diturunkan oleh Sengalang Burung semua pengetahuan dan cara yang baik berladang, berburu, melaksanakan berbagai upacara pesta adat, mengayau, memahami tanda-tanda dan lain sebagainya. Aturan-aturan inilah yang kemudian diturunkan dan dilaksanakan dengan setia oleh Suku Iban.


Mitos ini memperlihatkan bahwa Sengala Burong itu pemimpin dari semua burung pertanda (pemberi tanda) yang menuntun langkah Siu sampai menemukan ara, kemudian membuat Siu kehilangan orientasinya sampai ia menemukan rumah panjang kediaman Sengalang Burong, lalu menikah dengannya. Dalam hal ini maka pohon ara dilihat sebagai sandi mitologi, yang menandai batas antara dunia hunian manusia dengan dunia para ilahi.


Di dalam banyak mitos suku-suku Dayak, kita menemukan bahwa jalan masuk ke dan jalan keluar dari dunia dilambangkan sebagai sungai atau air dan pohon atau tonggak. Dari mitos tadi, jalan tersebut adalah pohon ara. Pohon ara ini merupakan garis batas. Dari sinilah Siu melangkah, meninggalkan lingkungan manusiawi dan memasuki ilahi, yang dilambangkan pernikahannya dengan puteri Sengalang Burong. Melalui kelahiran Seragunting, dimulailah genealogi makhluk mitis dengan kodrat ilahi, yang dalam garis keturunan selanjutnya melahirkan makhluk mitis dengan kodrat manusiawi sebagai nenek moyang suku Iban. Titik batas antara dunia ilahi dengan dunia roh di dalam mitos ini dilambangkan secara teritorial oleh pohon ara dan secara genealogis oleh tokoh Siu.


Kisah Penciptaan Menurut Suku Dayak Kanayatn


Di dalam salah satu mitos kejadian alam semesta di kalangan suku Kanayatn [3], dikisahkan bahwa pusat alam semesta ini ada sebuah “pusaran air pohon kelapa” (pusat ai’ pauh janggi). Inilah pohon kehidupan, daripadanyalah segala sesuatu tercipta dan kepadanyalah semua akan kembali. Di kalangan suku Kanayatn tampaknya yang memegang peranan penting dalam proses kejadian semesta adalah perkawinan kosmis. Dalam awal turunan sebuah mitos (Vierling, ibid) dikatakan demikian:


Kubah langit dan bulan bumi (kulikng langit dua putar tanah) memperanakkan; Sino Nyandong dan Sino Nyoba, memperanakkan; Si Nyati puteri bulari dan terpaiwar putera matahari (Si Nyati anak Balo Bulant, Tapancar anak Matahari), memperanakkan; Kacau Balau dan Badai (iro iro dan Angin angin)


Dari penuturan awal ini kelihatan dari perkawinan kosmis pertama, yaitu antara langit dan bumi muncullah pasangan selanjutnya, yaitu bulan dan matahari, yang kemudian melalui suatu polarisasi kekerasan melanjutkan proses penciptaan. Dari salah satu rumus doa persembahan dapat ditemukan suatu fragmen yang melukiskan keadaan awal yang serasi antara langit dan bumi. “Padamula pertama bumi itu indah seperti tikar di langit, seperti payung terbuka. Saedo adalah nama bumi dan Saeda nama langit. Bumi pun berguncang dan langit gemetar.” [4]:


Kacau Balau dan Badai, memperanakkan; udara mengawang dan embun menggantung (uang-uang dan Gantong Tali) memperanakkan; Pandai Besi dan Sang Dewi (tukang Nange dua Malaekat) memperanakkan; Segala air dan segala sungai (Sumarakng ai, sumarakng sunge) memperanakkan; Bambu dan Pepohonan (Tunggur batukng dua mara puhutn) memperanakkan; Tumbuhan merambat dan umbi-umbian (Antayut dua Barujut) memperanakkan; Kesejukan Lumpur dan Tulang Iga (popo’ dan rusuk)


Kemudian dalam penuturan sejarah yang lain dijelaskan hawa kesejukkan lumpur itu adalah isteri sedangkan Tulang Iga adalah sang suami. Mereka ini mempunyai anak: Anterber dan Galeber, yang dianggap sebagai nenek moyang suku Kanayatn [5].


Kisah Penciptaan Menurut Suku Dayak Kenyah (Laubscher, 227)


Di kalangan suku Kenyah ada mitos yang menceritakan bahwa ilahi perempuan yang bernama Bungan Malan menciptakan manusia dari Kayu Aran (pohon ara). Kayu Aran tadi baru tercipta menjadi manusia setelah ia dibenihi (dibuntingi) oleh angin yang masuk ke tanaman merambat melalui sebuah torehan pada kayu aran tadi. Dari cerita tradisi ini, kayu aran menjadi lambang kehidupan bagi manusia dan memiliki nama “kayu udiep” (=pohon kehidupan). Dari mitos ini tampak bahwa angin sebagai daya penggerak yang membawa kehamilan pada kayu aran sebagai unsur laki-laki, sedangkan kayu aran sebagai unsur perempuan.


Antara Iban dan Kenyan ada persamaan dalam suatu mitos yang menyangkut Raja Petara [6]. Dalam mitos ini dikisahkan bagaimana Raja Petara (Raja Entala) bersama istrinya menciptakan langit dan bumi dari daki yang melekat di tubuh mereka. Namun rupanya bumi lebih besar daripada langit, sehingga dijadikannya sungai, gunung, bukit, lembat, dataran, lalu ditumbuhkan sayur-sayuran, rumput dan pepohohan. Dikatakan pula bahwa Raja Petara bersama istrinya memiliki pohon pisang yang disebut Pisang Rura. Burong Iri (k) melayang-layang di atas air. Kemudian mereka ini bersatu (kawin)l dari sinilah asal mula segala jenis ikan. Kemudian Raja Petara bersama istrinya membentuk pohon pisang jenis lain dari tongkat akar yang disebut Pisang Bangkit, sepasang manusia menurut gambar mereka. Untuk darah diambilnya getah pohon Kumpang yang memang berwarna merah. Istri Raja Petara berseru kepada ciptaannya ini maka hiduplah mereka. Kedua insan ini, yang laki-laki bernama Telikhu’ dan yang perempuan bernama Telikhai’.


Kalau kita bandingkan Pohon Aran di kalangan Suku Kenyah yang mewakili kodrat perempuan, yang melalui suatu perlakukan seksual dengan angin melahirkan kehidupan, maka Pisang Rura pada suku Iban ini mewakili prinsip laki-laki yang melalui perlakuan seksual dengan Burong Iri melahirkan kehidupan.

Pohon Ara dilihat sebagai asal muasal segala jenis flora, sedangkan Pisang Rura adalah sumber jenis fauna. Memang secara khusus disebut sebagai keturunan Pisang Rura adalah jenis ikan dan tidak disebut-sebut jenis binatang lainnya. Dalam kebudayaan Dayak pada umumnya air atau sungai memegang peranan penting. Hampir di semua suku ada mitos yang menempatkan air atau sungai sebagai unsur penentu dalam suatu peristiwa penciptaan. Sebab itu, penghuni sungai mengambil kedudukan cukup penting.


Raja Petara di dalam mitos lainnya [7] dilihat sebagai yang tertinggi dari dunia ikan, yang memputra putri Pulang Gana dan Rajah Jewata. Di mereka berdua masih terdapat lima bersaudara. Berarti mereka semua ada tujuh bersaudara. Dalam nomor urut, biasanya pertama yang laki-laki ke perempuan, demikian seterusnya secara bergiliran. Yang menarik dalam versi ini ialah yang disebut dengan asal-usul bukanlah yang laki-laki, tetapi perempuan. Hal ini dapat kita lihat:


a)      Putri pertama (anak kedua), Rajah Jewata, asal makhluk air (fauna di bawah)

b)      Putri kedua (anak keempat), Siti Permain, asal dari tumbuh-tumbuhan (flora darat)

c)      Putri ketiga (anak keenam), tanpa nama, asal dari binatang di darat dan udara (fauna di darat dan udara)


Kisah Penciptaan Menurut Suku Dayak Ngaju (Kalimantan Tengah)


Menurut mitos penciptaan Batang Garing [8] dituturkan bahwa pada suatu waktu penguasa alam atas bernama Ranying Mahatara Langit bersama istrinya Jatawang Bulau, penguasa alam bawah, sepakat untuk menciptakan dunia, dengan diawali penciptaan Batanging (pohon kehidupan). Batang, dahan, tangkai, daun, buah-buahan Batang Garing ini semuanya terdiri dari berbagai jenis logam dan batu mulia. Jata kemudian melepaskan burung Tingang betina (Enggang betina) dari sangkar emasnya. Burung itu kemudian terbang, lalu hinggap dan menikmati buah-buahan Batang Garing. Bersama dengan itu, Mahatara melemparkan keris emasnya, lalu menjelma menjadi enggang jantan yang disebut Tembarirang. Tembarirang ini pun hinggap dan menikmati buah-buahan Batang Garing. Kedua burung Tingang lain jenis ini saling iri dan cemburu. Akhirnya terjadi perang suci. Pertempuran maha dasyat ini menghacurkan Batang Garing dan kedua burung itu sendiri. Dari keping-keping kehancuran inilah tercipta kehidupan baru, alam semesta dan segala jenisnya.


Dari kehancuran tadi tercipta pula sepasang insan. Sang wanita bernama “Putri Kahukum Bungking Garing” (Putri dari Kepinagan Garing) dan sang pria bernama “Menyamei Limut Garing Balua Unggon Tingang” (Sari Pohon Kehidupan yang dipatahkan oleh Tingang). Masing-masing insan ini memperoleh perahu: untuk sang wanita perahu brenama Bahtera Emas (Banama Bulau), dan untuk sang pria perahu bernama Bahtera Intan (Banama Hintan). Kedua insan ini kemudian menikah dan mendapatkan keturunan pertama berupa babi, ayam, kucing dan anjing. Keturunan kedua berwujud manusia, yaitu Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen dan Maharaja Buno. Melewati beberapa peristiwa, akhirnya ditetapkan bahwa putra pertama, Maharaja Sangiang menempati alam atas, tinggal berama Ranying Mahatara Langit, dan merupakan asal usul segala Sangiang (Para Dewa). Putra kedua, Maharaja Sangen mendiami suatu daerah bernama Batu Nindan Tarung, yang menjadi sumber segala kepahlawanan. Sedangkan Putra ketiga, Maharaja Buno menempati bumi, dan menjadi moyang pertama manusia.


Sejumlah mitos yang telah dipaparkan secara ringkas memperlihatkan satu raut persamaan yang sangat mencolok, bahwa seluruh proses penciptaan terjadi menurut Perkawinan Kosmis. Prinsip-prinsip maskulin selalu didampingi oleh yang feminin, apakah itu dilambangkan dalam wujud burung, pohon ataupun bulan, matahari dan sebagainya. Di pihak lain, kita menemukan pula suatu sisi yang memperlihatkan proses penciptaan itu terjadi melalui polarisasi, pertentangan ataupun perbenturan: kehidupan – kehancuran kehidupan. Tetapi mitos penciptaan tidak hanya melalui suatu perkawinan kosmik tetapi ada pula yang memperlihatkan tradisi lain. Sebagai contoh kita lihat mitos di kalangan suku Kanayatn [9] yang mengisahkan bahwa suatu ketika Moyang Maha Penguasa bersin maka terciptalah danau/air amutn (embun) dan danau/air duniang. Amutn adalah perempuan dan Duniang adalah laki-laki. Kemudian ia bersin lagi, lalu terjadilah kabut embun (perempuan) dan kerangka daun (laki-laki). Ia bersin-bersin maka terjadilah lautan yang paling indah. Maka terjadilah bahwa kabut embun mengendap di suatu pulau datar dan mengembang menjadi suatu tubuh, sedangkan kerangka daun melekat di sebuah gunung dan mengereas menjadi tulang. Lagi-lagi ia bersin dan terjadilah kesejukan lumpur dan tulang daun, anak-anak perempuan dan anak-anak laki-laki. Di dalam tradisi ini, tidak ditemukan perlakuan seksual antara pasangan. Si Pencipta menjadikan manusia melalui bersin yang maha dahsyat. Dalam mitos ini, penciptaan terbebas dari konsep perkawinan kosmis. Namun yang tercipta itu tetap berada dalam pasangan perempuan dan lelaki.


Foot note:


[1] (Mattias Leubscher. 1977,222)

[2] (Mattias Leubscher. 1977,224-225)

[3] (Herman Vierling. 1990,117)

[4] (Herman Vierling. 1990,208)

[5] (Herman Vierling. 1990,209)

[6] (Mattias Leubscher. 1977,227-229)

[7] (Mattias Leubscher. 1977,Ibid)

[8] (Fridolin Ukur. 1871. 35-37)

[9] (Herman Vierling. 1990,213-214)


Daftar Rujukan:


[1]] Leubscher, Mattias. 1977. Iban und Ngaiu: Kog nitive Studie Zu Konvergenzen in Weltbild und Mythos. Tom Harrison zur Gedaechtenis.

[2] Ukur, Fridolin. 1871. Tantang Jawab Suku Dayak. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 

[3] Vierling, Herman. 1990. Hermeneutik Stammeresreligion, Interkulturelle Komunikation bei den Kendayan, Goetersloher Verlaghaus, Gerd Mohn.


Kisah Penciptaan Alam Semesta Menurut Suku Dayak

Posted by : Fr. Fransesco Agnes Ranubaya, Pr 0 Comments

View Kuburan Dayak Engkadin
ADAT MATI

Kalau urang lawang merintah huluan menyioh

Yang pertame adelah urang di jalanan lanjat locang susol alam, sumpetan kate di buhu tembilaan di punggong bahwe mengatean, urang mati hilang rusak patah, darah pulang ke kumpang napas pulang ke angen.

Setelah diadean lanjat locang susol alam ke wak adi dulor sanak yang berkoetan di kampung laen laman bukan, barok diadean turok himpor bujor pojam, baroklah dirancang lancang rarong lapek alas sarong berangke, setelah jadi lapek alas sarong berangke kerene nye’e Domong, diulahlah ukom katenye besohet mati katenye bepampai, jadi di dalam ukom besohet mati bepampai, kerene nye’e lawang kate merintah kehuluon nye’e menyioh, ke pucok nye’e meulor kebabah nye’e membuat, diulahlah gantang katenye tinggi sifat katenye raye, tajau hondak besopoh koyen hondak beragi.

            Biasenye kalau domong hukom sohet mati pampainye, adelah yang disobot huropannye:

v  3 koti atau tajau sembilan

Uan sengkolan pepalet:

v  Manok burong, tuak tambol, pinggan mangkok, cukop segale sampon semue.

Kerene nye’e lawang merintah huluan menyioh, dengan ketentuan adat hukom sohet mati pampai adelah:

v  3 koti ata tajau sembilan

Ditontuan pade hari malamnye, ditontuan kepade waktunye itulah urang lawang merintah huluan menyioh, udah sampai mayat kate tekubor bangkai kate tepondam, itu jugak maseh diadean uyong unsi 3 hari 3 malam, maseh keluar makan pakai, undang suap, lowok lulu, rompah gangannye, tidak kurang kate sepatah, tidak cupat kate sebigek, itu adelah adat urang mati hilang rusak patah, sobabnye yang lawang merintah hulum menyioh, tetapi kalau urang hanye ke hulu mudik ke hilik undor lawang perintah haluan siohon adatnye adelah Sekuti 5 Lese atau paleng tinggi 2 kuti, itu pon diliat dari ulah gawi tempe jawatan lapek alas sarong perangke ade peringkatnye.

Di dalam sengkolan pepalet manok burong, tuak tambolnye, andai kate lampek alas sarong perangkenye terbuat dari kayu lompong itu hanyelah Manok 5 (lime). Tetapi kalo dari belian sengolan pepaletnye Manok 7 (tujoh), itulah sengkolan pepalet urang mati rusak patah, yang sifatnye urang hanya lawang perintah huluan siohon hulu mudik ke hilik undor.

Akan tetapi walaupon nye’e hanye lawang perintah huluan siohan, hanye galah kate menajak ke pengayoh katenye mengibaran, kalau minum tuhe kayas, mati kene sudah belantek, tidak mati lantaran nye’e saket, sarak lantaran beconggel, itu juga peringkatnye cukop bosar yaitu 9 koti atau 12 buah tajau.

Tetapi sebaleknye kalau nye’e mati kerene dibunoh pangkal, itu ke pisang kate menobang, ke tobu katenye memancap, diulahlah gantang kate tinggi sifat katenye raye, itulah mati dibunoh di pangkal atau yang disobot mati menanggol.

Daftar Rujukan:

[1] Petinggi Adat Dayak Dusun Engkadin, 2019. Adat dan Hukum Adat Dayak Tayap Sekayok Sub Suku Dayak Dusun Engkadin. DAD Tayap: Nanga Tayap

Adat Mati Suku Dayak Engkadin (Bahasa Engkadin)

Posted by : Fr. Fransesco Agnes Ranubaya, Pr 0 Comments

 

Adat Nikah Suku Dayak Engkadin

Adat Menobas Tanah Menube Aek

Yang pertame kita adean adat sapat tohon, tohon betokok musim belipat atau adat sapat tohon, berarti lakau hondak menobas, rumah hondak menajak, yang diadean di bulan 3 (tige/tiga). Setelah diadean ritual ke Duate, kite menalau ke sengiang kite menyorok tanah hondak bepadi lontan hondak bepulot, itu dilaksanean oleh urang yang disobot Belian Duate.

Setelah diadean adat Sapat Tohon yang disobot juga’ labeh seperupak pincong oleh Belian Duate, kemudian diadean memanggor mburongan tanah akai tanah bepadi lontan bepulot, hundang besayang, robong bepucok, aek be’ikan, setelah selosai melaksanean adat Sapat Tohon, baroklah ke kayu kite buleh menobas, ke akar kite buleh memincap, ke kayu buleh menobang, bearti kite menobang menobas, meulah laku hume.

Setolah kemarau panjang solatan beupupot, baroklah kite mencucol meanggor, meadean lakau di ladang, hutan disokat golak api menorak ke rimbe ke ruyon, golak api menorak ke hutan, hutan be sitan, tanah begane, lubang langkang, aek bulan, batu bosar, kruaye tinggi golak jadi barau bahop, barau binase, tanah cade bepadi lontan cade be pulot.

Mencucol kite minte kompos, tugal minte terinsap, baroklah menugal menujak, menugal mematar tanah, memboneh mbilang lubang, kurang pemboneh tulong penugal, kurang penugal tulong pemboneh, setolah cukup umur padi, kurang lobeh sebulan barok kite meadean tobos menyangsang, golak padi kite kene pangau bongas, lomeng kepuyu, hulat karau, kene barau bahop, barau binase, tugal kate dibasok habu dibalek, setolah onan kite menungguan tohon kate tesantang, musim kate temakan, barok kite meadean Adat Makan Tohon.

Di situ kite mematek porang beliong, meonjok hutang membayar duse, tohop kate tesantang, musim kate kite temakan, belakau kite dapat padi, berumah kite buleh rogak, setelah kite melaksanakan adat makan tohon, buat kate kerogak, padi kate kite jurong artinye itu disobot meunjang semangat padi, yaitu akai diburi dolat berokat, akai dimakan tidak tuhu habes, diutek tidak tuhu luak.

Itulah jonjangan adat Belakau Behume Betohon Betongah, ke Lakau kite menobas ke rumah kite menajak.

2.      Adat Menajak Rumah

Ke tihang Menajak, Ke tungkat Merancong.

Saat kite hondak menujak rumah, diulah tampung tawar mate kunyet. Dalam pelaksanean menajak rumah, kite tanam temiang tubuh salah, sengkubak tohek bosi, golak tekene ke hutan besitan, tanah begane, lubang langkang aek bulan, batu bosar kruaye tinggi, golak idok tidak dapat ninde, makan tidak dapat konyang.

Setolah rumah ditajak tihang dirancong, kite adean Adat Menoyeki Rumah, diadean sengkolan pepaleet artinye diadean adat jalan gondar ke titian tajau kete besopoh koyet beragi, kemudian kite adean begondang betaboh memangkong ke tetawak, berareh ke gamalan, memukol ke gondang. Kemudian diadean begolar belangke dan sengkolan pepalet.

Kalau rumah semerge belian songkalannye manok 2 x 7 : 14,  setolah manok dibunoh tampong tawar di ator, barok kite measal belian, asal belian adelah belian tulang tanah lambe langkang ari anggai sidi belian jage belian, urang betinjang bangkai bongkak, urang bediri bangkai mati. Kemudian diadean lagek sengkolan pepalet yaitu rumah dibunoh golaknye menyakit memboji, golakye melaye melepe, baroklah diadean begolar belangke, diulah tomang kiyamber barok besuroh adat jalan gondar ketitian, kepade dukon yang menoyeki rumah/membunoh rumah.

Dengan ukoran Tajau sebuah (1), koyen selambar (1), Beliong seputengan (1), Manok seikok (1), itulah adat menoyeki rumah.

3.      Adat Nikah Kawen Konsal Jadi

Hondak Dipejadi Olay Diperasak, Kayu Bepenyundong Akar Bepelompat, Hondak Urang Due Olay Urang Seurang.

Yang pertame adelah pinte pinang tawar unos, royeh pangkot utek ambek dari sebolah lelaki, jadi diadeanlah sireh behemboyang pinang pinang penggatop, dengan barang pakai anggauan artinye golang, cincin, pupor bincu. Dikumpolanlah kampong sebuah domong manter, sirah dedalah, wali pemili, anak apang, bahwe urang tersebut adelah urang kaye kate bepenyundong akar bepelompai, punye kombang karong bunge mate.

Setolah onan dari pihak kampong, dari pihak domong, bulak dapat membonaran, tabar dapat membisean, kerena nampak sudah besandu, torang sudah besuloh kemudian dipetunangan dan diadeanlah sebuah perjanjian, kalau batal:


v  Dari pihak betine hukumnye                     : Tajau 4 (ompat) buah

v  Dari pihak lelaki hukumnye                      : Tajau 4 (ompat) buah

 

Kalau seandai kate buntak balang kepalang, lancang balek di api.


Yang kedue diadean lagek janji semaye bahwe, nikah kawen onsal jadi, manok kate dimatian, tuak kate ditumpahan, dengan sekian bulan atau sekian ari, sohet gantong paku lantak. Udah pade saatnye urang hondak udah bise dipejadi, urang olay sudah diperasak, diadean manok kate mati tuak kate tumpah, jalan ke rumah, aek ke buket, ke pucok udah bekesamboran, kebabah udah bekelombahan di situ juga diburi sanksi:


v  Kalau membuang dari betine hukumnye Tajau 4 (ompat) buah

v  Kalau membuang dari lelaki hukumnye Tajau 4 (ompat) buah.

 

Kerene ape sebab kate hondak urang 2 (due); olay urang seurang, buloh due kayok mengke bekisel, golang 2 (due) bontok mangke besontek, itulah di urang totak tongah bagi due. Tetapi kalau andai kate nasek licak gangan tabai itu prosesnye adelah lain lagek hukumnye pade yang ditontuan di nikah kawen konsal jadi, itu ade pertimbangan-pertimbangan kusos sesuai uan ape kesalahan dalam rumah tangge.


Begitu jugak di dalam nikah kawen konsal jadi, andai kate urang lontan di kalang powoh dibolah hanyelah sohet seci pakau genggalang, tetapi kalau urang sumbang salah bingkok kilas, yang pertame sumbang hondak diupas, hantuan hontak ditetambei itu meningkat.


Kalau meupas sumbang itu laboh 3 (tige) tohon (laboh seperompak pincong atau laboh 30) uleh belian duate, ke duate menalau ke sengiang menyorok, golak disobabpan kampong sorak tanah botu, tanah cade bepadi lontan cade bepulot sobabpan sumbang salah bingkok kilas, tikang kembali longgak merireng, itu juga sebagai ketontuan adat di dalam melaksanean urang nikah kawen konsal jadi.

Daftar Rujukan:

[1] Petinggi Adat Dayak Dusun Engkadin, 2019. Adat dan Hukum Adat Dayak Tayap Sekayok Sub Suku Dayak Dusun Engkadin. DAD Tayap: Nanga Tayap

Adat Hidup Suku Dayak Engkadin (Bahasa Engkadin)

Posted by : Fr. Fransesco Agnes Ranubaya, Pr 0 Comments

 

Asal usul orang Kengkodian yaitu berasal dari laman Sorot, kemudian pindah ke sungai Tayap. Ada seorang yang disebut Panglime yaitu Rangge Cucoh. Saat akan pergi berperang, Rangge Cucoh yang disebut sebagai urang porang Sanggau yang merupakan nenek moyang orang Kengkodian.

Pada saat itu, ada semacam sayembara atau pemberitaan mengenai peperangan kecil. Orang yang disebut sebagai Panglima Rangge Cucoh tersebut memenangkan sayembara yang diadakan di Sanggau. Selanjutnya, orang Kengkodian kemudian pindah ke Belian Lokoh.

Di sana lahir pula seorang yang disebut sebagai Pang Campoy. Selanjutnya, dua orang tersebut yakni Panglima Cucoh dan Pang Campoy bergabung menjadi satu komunitas. Disebutkan bahwa Cucoh memiliki gelar Rangge Cucoh sementara Campoy bergelar Pang Campoy.

Pang Campoy juga merupakan seorang panglima karena berhasil menumpas pengayau (pencari kepala). Di zaman itu, orang Kengkodian sering diserang pengayau atau orang yang membunuh untuk mencari kepala. Oleh karena Pang Campoy, tidak ada satupun orang Kengkodian yang gugur dalam pertempuran. Malahan, para pengayau tersebut yang habis ditumpas. Maka dari itu, setiap kali Pang Campoy menumpas pengayau, ditaruhnyalah kepala para pengayau itu dan digantung di Belian Kikipan. Hingga saat ini, Belian Kikipan tersebut masih ada dan dapat ditemukan bukti batang beliannya di bagian kiri hulu Sungai Kasai.

Setelah Rangge Cucoh dan Pang Campoy bersatu, orang Kengkodian berpindah kampung halaman ke Tembawang Longkay. Saat itu, orang Kengkodian memiliki pantangan. Sungai Batang Kengkodian tidak bisa atau tidak boleh dituba’ (diracun untuk mencari ikan). Akan tetapi, karena ada kesepakatan dari beberapa orang Kengkodian yang tidak percaya akan pantangan tersebut, dituba’lah Sungai Batang Kengkodian tersebut. Pada saat menuba’, tidak ada satupun ikan yang mati. Yang cukup mengherankan adalah munculnya ular sawa’ yang muncul dari sungai karena keracunan. Maka dari itu, ular sawa’ itu kemudian dijadikan lauk dan disantap oleh semua orang Kengkodian yang saat itu sedang menuba’. Jadi ular sawa’ itu dipukul kepalanya dan dibawa ke Jelapang Jurong. Naasnya, sebanyak orang Kengkodian yang makan ular sawa’ itu, tidak ada satupun yang hidup setelah memakannya.

Syukurnya, masih ada satu keluarga penduduk kampung yang di Lakau. Mereka inilah yang memberi tahu kepada orang kampung bahwa orang-orang Kengkodian tewas setelah memakan ular sawa’ yang telah dituba’ dari Sungai Batang Kengkodian. Sejak saat itu hingga saat ini, Sungai Batang Kengkodian tidak boleh atau dilarang untuk dituba’.

Setelah itu, orang Kengkodian yang tersisa, pindah lagi dari Tembawang Longkay ke Senibung Tanah Tarah Silengan Titi Ganjek (atau sekarang disebut Laman Tuhe). Orang ramai berduyun-duyun menggunakan sampan hingga tiga buah. Semuanya penuh berisikan laki-laki dan perempuan masing-masing tiga puluh orang laki-laki dan tiga puluh orang perempuan.

Selanjutnya, orang Kengkodian pindah kampung lagi ke sebuah tempat yang disebut kampung Tanjung Pandan (Laman Lambat). Sampai sekarang orang Kengkodian hidup bersama, bertempat tinggal di sisi sungai Batang Kengkodian atau Dimare Kasay yang saat ini disebut sebagai Engkadin. Itulah asal usul kampung atau perdukuhan orang Kengkodian sejak dahulu hingga saat ini dari kampung halamannya hingga orang-orangnya.

Daftar Rujukan:

[1] Petinggi Adat Dayak Dusun Engkadin, 2019. Adat dan Hukum Adat Dayak Tayap Sekayok Sub Suku Dayak Dusun Engkadin. DAD Tayap: Nanga Tayap

Asal Usul Orang Engkadin (Kengkodian), Nanga Tayap, Ketapang, Kalbar

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 0 Comments
Dalam proses perjalanannya, masyarakat adat Dayak menghadapi tantangan yang berat untuk tetap bertahan dalam tradisinya. Kini mereka dipaksa untuk ”modern” dari kacamata masyarakat umum dengan keharusan meninggalkan tradisi leluhur yang memiliki nilai-nilai budaya luhur. Demi kepentingan pembangunan yang hanya dimaknai mengejar pertumbuhan ekonomi, keberadaan komunitas adat atau suku terasing dimana pun berada sering kali diabaikan seperti halnya yang dialami oleh orang Dayak. Padahal, cara dan nilai hidup komunitas adat itu penting untuk menjaga bertahannya keanekaragaman budaya. Komunitas adat semestinya harus didorong untuk menjadi bagian komunitas internasional dengan pendekatan pembangunan yang berperspektif budaya dan identitas. Pembangunan mesti didasarkan pada keragaman budaya. Pembangunan, jangan hanya dipahami secara sempit, yakni soal pertumbuhan ekonomi saja. Pembangunan juga berarti untuk mencapai kepuasan intelektual, emosi, moral, dan eksistensi spiritual.

Menurut J.U. Lontaan, kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Pada masa lalu, orang Dayak hidup mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka. Namun, kuatnya arus urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar, seperti kedatangan Melayu menyebabkan mereka harus menyingkir ke daerah-daerah pedalaman di seluruh daerah Kalimantan.

Orang Dayak mengidentifikasikan kelompok-kelompoknya berdasarkan asal usul daerahnya, seperti nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Dayak Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa kayaan berarti pengembara), demikian juga menurut sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Dayak Jalai, karena berasal dari sungai Jalai, suku Dayak Mualang, diambil dari nama seorang tokoh lokal yang disegani (Manok Sabung) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang. Dayak Bukit (Kanayatn) berasal dari Bukit atau gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak Simpakng, Kendawangan, Krio, Kayaan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju dan lain sebagainya, semua mempunyai latar belakang sejarahnya sendiri-sendiri.

Bicara tentang suku bangsa Dayak memang tidak pernah habisnya. Dayak merupakan sumber ilmu yang ibarat air selalu memberikan dahaga bagi setiap insan, menjadi sumber inspirasi yang begitu melimpah, yang tidak hanya bisa ditakar dalam sebuah buku, penelitian, studi-studi ilmiah, artikel-artikel, atau pun diskusi-debat dari forum ke forum saja.

Setiap kajian dan bahasan tentang Dayak, tidak akan berarti apa-apa jika tidak mengacu pada identitas Dayak yang sesungguhnya. Hanya dengan identitas-lah, maka pembahasan tentang Dayak akan lebih terasa bermakna dan konstruktif. Jika tidak, maka setiap bahasan itu akan terasa sangat dangkal dan tidak ada artinya. Menyelam Dayak tidak bisa hanya terpaku pada satu perspektif saja atau hanya mengacu pada teori ilmu pengetahuan modern. Dayak tidak bisa dikaji dalam perspektif ilmu pengetahuan modern, seperti melalui bidang ekonomi, sosial-politik, kesehatan saja, melainkan harus mengedepankan cara berpikir yang benar, argumentative dan saling berkaitan dengan meletakkan dasar pikiran pada eksistensi Dayak itu sendiri.

Bahasan kali ini bukan berarti penulis ingin mengajak sidang pembaca untuk kembali bernostalgia pada situasi masa lalu, melainkan untuk melihat kembali realitas yang menimpa kehidupan orang Dayak pada masa lalu, dan saat ini. Pada prinsipnya, perkembangan zaman tidak bisa kita tolak, dan tidak bisa terbantahkan, namun bagaimana ditengah arus deras pembangunan dan globalisasi yang begitu masif itu, orang Dayak tetap bisa mempertahankan identitas, terus mewarisi pengetahuan dan kearifan yang mereka miliki dari generasi ke generasi, tanpa putus dan melepas baju identitasnya. Masifnya perkembangan dunia dengan konsep menguasai panggung kehidupan manusia telah menciptakan pelbagai produk-produk yang menindas, tak luput aspek kebudayaan lokal turut terjerembab oleh hegemoni budaya-budaya luar yang sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai asli kebudayaan Dayak. Pelan tapi pasti, kebudayaan luar yang lebih menyuguhkan gemerlap kemewahan, penyamaan selera, instan, dan sebagainya menjadi ancaman serius yang akan menerpa eksistensi Dayak, baik hari ini maupun yang akan datang.

Karena jika tidak, suatu saat nanti maka identitas orang Dayak hanya akan menjadi sebuah balada yang memilukan, yang tergerus oleh arus budaya yang menindas. Tentu saja kita tidak menghendaki kondisi ini terjadi dan membiarkan Dayak kehilangan identitasnya.

Kita bisa melihat generasi muda Dayak saat ini yang sebagian besar sudah tercerabut dari akar budayanya, cenderung lebih membanggakan nilai-nilai budaya luar ketimbang budayanya sendiri, mengagungkan gemerlap modernisasi yang tidak mereka ketahui bahwa itu akan melindas identitas mereka sendiri. Umar Kayam dalam bukunya, Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya, pernah menyaksikan dan juga sekaligus meramal berbagai persoalan dan perubahan sosial yang sudah dan akan terjadi di seluruh wilayah Nusantara yang tempoe doeloe bernama Hindia Belanda ini. Berbagai persoalan dan perubahan sosial yang ia maksud ialah “mencairnya kebudayaan-kebudayaan setempat dari sifatnya yang homogen menjadi lebih heterogen, kemudian yang lebih penting lagi bahwa penerus-penerus nilai-nilai budaya setempat tidak lagi dapat diharapkan perannya, karena orang-orang muda sebagai penerus nilai budaya itu pergi meninggalkan tempat asal atau kampung halamannya untuk memburu ilmu di kota”.

Apa yang disaksikan Umar Kayam adalah sebuah fakta yang terjadi di kampung halaman penulis, sub-suku Dayak Simpakng, di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Karena banyak generasi Simpakng yang pergi ke kota untuk menimba ilmu sehingga nilai-nilai budaya lokal semakin terkikis akibat tidak adanya penerusnya. Banyak tradisi yang musnah, ditinggalkan dan tidak dilestarikan lagi. Memang disatu sisi, jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Kabupaten Ketapang, orang Dayak Simpakng-lah yang paling banyak melahirkan generasi-generasi yang berpendidikan. Namun jika dilihat kehidupan budayanya justru banyak mengalami kemunduran.

Sebagai generasi yang sudah banyak ditinggal tradisi leluhur, penulis merasa berada dalam situasi kebimbangan. Sehingga pertanyaan refleksi yang selalu penulis ajukan untuk diri penulis sendiri adalah, akankah kondisi itu kita biarkan terus berlanjut? Tentu saja tidak. Karena penulis yakin kita bangga sebagai orang Dayak. Sebagai generasi yang ‘gamang’, tentu saja kita harus selalu mencari dan terus mencari identitas kita yang sebagian sudah hilang. Jangan biarkan diri kita hanyut dalam buaian kemajuan yang justru akan menghilangkan jati diri kita sebagai anak bangsa Dayak. Karena bicara tentang identitas diri, kita tidak hanya bicara sebatas menyebut kata Dayak saja, melainkan harus memahami dan melestarikan nilai-nilai terkandung dalam identitasnya itu sendiri.

(*Frans Lakon Dalam Buku: DAYAK MENGGUGAT)

Manusia Dayak Dipaksa Modern

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 1 Comment
Bukit Kelam adalah sebuah bukit batu (monolit) dengan ketinggian 600 meter dan luasnya kira-kira 4000 meter persegi serta memiliki warna hitam kelam dengan ditumbuhi pohon besar di sekitarnya. Bukit kelam juga diklaim sebagai batu terbesar didunia. Bukit Kelam merupakan salah satu dari sejuta keindahan alam yang terdapat diKalimantan sehingga tak ayal Bukit kelam juga merupakan tujuan wisata yang terdapat di Kabupaten Sintang

Bukit kelam terletak di Kecamatan Kelam Permai Kabupaten Sintang dan berjarak sekitar 395 km disebelah timur ibukota Kalimantan Barat Pontianak serta berada diantara dua buah sungai besar, yaitu sungai kapuas dan melawi. Kawasan seluas 520 hektar itu oleh pemerintah pusat melalui surat keputusan menteri kehutanan RI nomor 594/Kpts-II/92 tanggal 06 Juni 1992 ditetapkan sebagai taman Wisata Alam Bukit Kelam.

Bukit Kelam menyimpan sejuta keindahan dan keanekaragaman didalamnya. Di kawasan ini terdapat berbagai flora dan fauna langka antara lain, seperti meranti (shorea sp), bangeris (koompassia sp), tengkawang (dipterocarpus sp), kebas-kebas (podocarpusceae), anggrek (archidaceae), dan kantong semar raksasa. Berbagai fauna langkanya, seperti beruang madu (heralctus mayalanus), trenggiling (manis javanica), kelelawar (hiropteraphilie), dan alap-alap (acciptiter badios) yang menambah daya tarik kawasan ini.

Ketinggian Bukit Kelam berkisar antara 50 meter – 900 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan antara 15°- 40°, sehingga sangat tepat dijadikan tempat untuk melakukan olahraga terbang layang dan panjat tebing bagi penyuka olahraga lintas alam, di kawasan ini pula terdapat jalan setapak yang berliku-liku sampai ke dalam hutan dengan medan yang cukup terjal. Bagi yang ingin ke puncak bukitnya, dapat melewati sebuah tangga batu yang memiliki ketinggian sekitar 90 meter yang terletak di sebelah barat Bukit Kelam. Dipuncak bukit terdapat pula gua-gua alam yang eksotik dan bernuansa magis yang didalamnya banyak terdapat burung walet. Dari puncak Bukit kelam kita juga disajikan dengan keindahan pemandangan dua buah sungai yang mengapit bukit ini.

Bukit Kelam ini berkaitan erat dengan legenda Bujang Beji dan Tumenggung Marubai. Diceritakan bahwa kedua sosok tersebut adalah ketua dari masing-masing kelompok nelayan mereka di Sintang. Bujang Beji menguasai daerah Sungai Kapuas, dan Tumenggung Marubai di Sungai Melawi. Bujang beji iri melihat Tumenggung Marubai yang selalu mendapat ikan lebih banyak sehingga ia berencana hendak menutup aliran sungai Melawi. Lalu, Bujang beji pergi ke Kapuas hulu untuk mengangkat sebuah Batu besar yang ada di puncak bukit Nanga Silat, namun saat dia sampai di persimpangan antara sungai Kapuas dan sungai Melawi, ia mendengar suara cekikikan para dewi-dewi khayangan yang tengah melihatnya mengangkat batu besar tersebut, tanpa sadar langkahnya salah dan dia menginjak sebuah duri dari tanaman beracun dan kemudian batu tersebut terlepas dan terbenam di suatu tempat yang bernama jetak. Batu itulah yang lama kelamaan tumbuh menjadi Taman wisata Bukit Kelam ini.


Taman Wisata Bukit Kelam

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 0 Comments
Dari kebanyakan sejarahnya, Kalimantan jarang ditinggali oleh manusia. Iklim yang tak bersahabat dan lebatnya hutan hujan membuat populasinya kecil dan menyebar. Namun setengah abad ini semua telah berubah. Pengaruh dari masuknya setengah juta transmigran ke Borneo selama 30 tahun ini telah melipatgandakan populasi pulau tersebut dan memunculkan besarnya kebutuhan kerja. Awalnya industri karet dan penebangan kayu menyediakan lapangan pekerjaan, tapi ketika runtuh di pertengahan (Malaysia) hingga akhir (Indonesia) 1990an, kesempatan kerja ikut menghilang bagi kebanyakan penduduk lokal. Walau bagitu, ratusan pendatang baru terus muncul di Kalimantan setiap minggunya.

Meningkatnya pengangguran adalah masalah yang serius di Borneo pada akhir 1990an dan awal 2000an dan konflik etnis mengamuk di bagian-bagian Kalimantan pada saat itu. Munculnya kelapa sawit di akhir 1990an dan awal 2000an dilihat sebagai kesempatan baru bagi penduduk dan pemerintah lokal.

Namun kehadiran kelapa sawit tidak bisa disebut sebagai salah satu jalan mengatasi pengangguran saja, diluar itu kehadiran kelapa sawit membawa beberapa dampak bagi masyarakat Indonesia khususnya masyarakat di Kalimantan, antara lain :

Dampak Lingkungan

Setidaknya, ada beberapa dampak negatif dari perkebunan sawit bagi lingkungan hidup di Indonesia. Dengan luas lahan perkebunan sawit yang sudah mencapai 7,4 juta hektar, dampak negatif perkebunan sawit akan terus meluas seiring bertambahnya areal perkebunan. Kabut asap merupakan masalah pertama. Saat perkebunan sawit akan dibuka, pembakaran lahan dengan api telah menjadi salah satu metode untuk membersihkan lahan sebelum ditanami sawit. Semakin tinggi tingkat ekspansi lahan, makin tebal kabut yang dihasilkan. Alih fungsi kawasan merupakan faktor terbesar yang menyebabkan rusaknya kemampuan hutan sebagai kawasan penyerap air, penyimpan air, dan mendistribusikannya secara alamiah. Ada hubungan erat antara intensitas banjir yang meningkat dengan meningkatnya luas wilayah perkebunan sawit.

Akibat lain adalah semakin sulitnya akses terhadap air bersih karena perusahaan sawit menguasai lahan tempat sumber air. Selain itu, perusahaan sawit sangat intensif menggunakan bahan kimia untuk mendukung sistem perkebunan intensifikasi. Penggunaan pestisida dan herbisida dalam jumlah besar di perkebunan kelapa sawit mengakibatkan kualitas air di sekitar wilayah perkebunan menurun.

Pembukaan perkebunan kelapa sawit juga berkontribusi pada pemanasan global dan perubahan iklim. Pembukaan lahan melalui pembakaran lahan dan konversi kawasan hutan dan rawa gambut telah menjadikan Indonesia sebagai negara penyumbang emisi CO2 terbesar ketiga di dunia. Hingga saat ini, pemerintah masih belum konsisten dalam mengeluarkan kebijakan. Di satu sisi pemerintah mengajukan untuk mendapat kompensasi berupa kredit dari negara maju untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan penghancuran hutan melalui penerapan Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD), tetapi di sisi lain memberikan banyak kawasan yang luas untuk dikonversi.

Dampak terakhir adalah penurunan drastis keanekaragaman hayati. Penurunan ini dikarenakan dikembangkannya model penanaman monukultur dalam skala besar. Jumlah spesies endemik kini semakin menurun, hal ini diperkuat dengan hasil riset terbaru yang menunjukkan tinggal 12 spesies makhluk hidup yang bertahan di sekitar perkebunan sawit. Mengatasi masalah ini, Salah satu solusi melalui restorasi di kawasan perkebunan. “Ini terkait dengan banyaknya perkebunan sawit yang mengkonversi dan beroperasi di sekitar aliran sungai. Berdasarkan undang-undang lingkungan hidup, aliran sungai harus bersih dari perkebunan dengan jarak 60-100 meter dari tepi sungai. Hal ini belum dilakukan pemerintah dan mutlak dilaksanakan.

Dampak Sosial

Dampak sosial dari perkebunan kelapa sawit sudah bisa mulai dipahami. Walau tak diragukan lagi bahwa perkebunan kelapa sawit menyediakan kesempatan kerja yang besar di Kalimantan, ada keraguan mengenai keadilan dari sistem yang ada, yang sepertinya kadang kala menjadikan para pemilik perkebunan kecil dalam kondisi yang mirip dengan perbudakan.

Kelangkaan dari kayu di beberapa bagian Kalimantan, membuat para penduduknya saat ini hanya memiliki beberapa pilihan untuk mengatasi perekonomian. Kelapa sawit sepertinya menjadi alternatif terbaik bagi masyarakat yang mengandalkan hidupnya dari menanam karet, menanam padi, dan menanam buah-buahan. Saat sebuah perusahaan pertanian besar masuk ke suatu daerah, beberapa anggota masyarakat kebanyakan sangat tertarik untuk menjadi bagian dari perkebunan kelapa sawit. Ketertarikan itu sendiri sebenarnya tidak lebih dari keadaan perekonomian mereka yang sedang tidak baik. Meskipun begitu, tidak sedikit masyarakat yang masih tetap bertahan menanam karet, menanam padi, dan menanam buah-buahan sebagai tumpuan perekonomian mereka. Dengan adanya yang beralih ke perkebunan kelapa sawit dan tetap dengan karet, padi, dan buah-buahan, dengan sendirinya akan menimbulkan kesenjangan sosial antar masyarakat. Akan muncul kecemburuan sosial antar masyarakat tersebut.

Bagi sebagaian masyarakat yang “menolak sawit” akan sangat sulit bagi mereka untuk benar-benar menolak pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di daerah mereka. Hal ini karena tidak banyak masyarakat Kalimantan (di pedalaman khususnya) yang mengerti tentang hal-hal seperti aturan pembukaan lahan, pembagian hasil, dll. Yang pada akhirnya akan muncul konflik antar pihak perusahaan sawit dengan masyarakat yang menolak tadi. Konflik ini sendiri sebenarnya adalah dampak psikologis masyarakat yang tidak mampu melawan tindakan perusahaan, terutama bila sebagian besar masyarakat melawan perusahaan tersebut (Dayak sering melawan rencana perusahaan kelapa sawit).

Dampak Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 3 Comments
Rumah betang adalah rumah adat khas kalimantan yang merupakan rumah suku Dayak. Ciri-ciri rumah betang yaitu bentuk panggung memanjang. Panjang rumah betang bisa mencapai 30-150 meter dan lebar 10-30 meter,tinggi tiang nya 3-5 meter. Bahan bangunan yang digunakan berkaulitas tinggi yaitu kayu ulin, selain memiliki kekuatan yang bisa berdiri sampai dengan ratusan tahun, kayu ini juga anti rayap.Dalam bagian rumah betang ini terbagi menjadi beberapa ruangan yang dihuni oleh setiap keluarga. Pada suku dayak tertentu, pembuatan rumah betang bagian hulunya harus searah dengan matahari terbit dan sebelah hilirnya ke matahari terbenam, sebagai simbol kerja keras untuk bertahan hidup mulai dari Matahari tumbuh dan pulang ke rumah di Matahari padam.

Rumah betang bentuknya memanjang serta terdapat sebuah tangga dan pintu masuk ke dalam betang. Tangga sebagai alat penghubung pada betang dinamakan hejot. Rumah betang di bangun tinggi dari permukaan tanah untuk menghindari musuh yang datang dengan tiba-tiba,binatang buas,banjir yang terkadang melanda. Rumah betang dapat di temui di pinggiran sungai besar yang ada di kalimantan.

Pada halaman depan rumah betang biasanya terdapat balai sebagai penerima tamu atau sebagai tempat pertemuan adat. Halaman depan juga terdapat sapundu. Sapundu merupakan sebuah patung atau totem yang pada umumnya berbentuk manusia yang memiliki ukiran-ukiran yang khas. Sapundu memiliki fungsi sebagai tempat untuk mengikatkan binatang-binatang yang akan dikurbankan untuk prosesi upacara adat. Terkadang terdapat juga patahu di halaman betang yang berfungsi sebagai rumah pemujaan.

Pada bagian belakang dari betang dapat ditemukan sebuah balai yang berukuran kecil yang dinamakan tukau yang digunakan sebagai gudang untuk menyimpan alat-alat pertanian, seperti lisung atau halu.Pada betang juga terdapat sebuah tempat yang dijadikan sebagai tempat penyimpanan senjata, tempat itu biasa disebut bawong. Pada bagian depan atau bagian belakang betang biasanya terdapat pula sandung. Sandung adalah sebuah tempat penyimpanan tulang-tulang keluarga yang sudah meninggal setelah melewati upacara tiwah.

Berdasarkan kepercayaan suku Dayak ada ketentuan khusus dalam peletakan ruang pada Rumah Betang yaitu:

Pusat atau poros bangunan dimana tempat orang berkumpul melakukan berbagaimacam kegiatan baik itu kegiatan keagaman,sosial masyarakat dan lain-lain maka ruang los, harus berada ditengah bangunan.
Ruang tidur, harus disusun berjajar sepanjangbangunan Betang. Peletakan ruang tidur anak danorang tua ada ketentuan tertentu dimana ruangtidur orang tua harus berada paling ujung darialiran sungai dan ruang tidur anak bungsu harusberada pada paling ujung hilir aliran sungai, jadiruang tidur orang tua dan anak bungsu tidak bolehdiapit dan apabila itu dilanggar akan mendapatpetaka bagi seisi rumah.
Bagian dapur harus menghadap aliran sungai, menurut mitos supaya mendapat rezeki.
Tangga. Tangga dalam ruangan rumah adat Betang harus begrjumlah ganjil, tetapi umumnya berjumlah 3 yaitu berada di ujung kiri dan kanan, satu lagi di depan sebagai penanda atau ungakapan rasa solidariras menurut mitostergantung ukuran rumah, semakin besar ukuran rumah maka semakin banyak tangga.
Pante adalah lantai tempat menjemur padi, pakaian, untuk mengadakan upacara adat lainya. Posisinya berada didepan bagian luar atap yeng menjorok ke luar. Lantai pante terbuatdari bahan bambu, belahan batang pinang, kayu bulatan sebesar pergelangan tangan atau dari batang papan.
Serambi adalah pintu masuk rumah setelah melewati pante yang jumlahnya sesuai dengan jumlah kepala keluarga. Di depan serambi ini apabila ada upacara adat kampung dipasang tanda khusus seperti sebatang bambu yang kulitnya diarut halus menyerupai jumbai-jumbai ruas  demi ruas.
Sami berfungsi ruang tamu sebagai tempat menyelenggarakan kegiatan warga yang memerlukan.
Jungkar. Tidak seperti raungan yang pada umumnya harus ada. Sementara Jungkar sebagai ruang tambahan dibagian belakang bilik keluarga masing-masing yang atapnya menyambung atap rumah panjang atau ada kalanya bumbung atap berdiri sendiri tapi masih merupakan bagian dari rumah panjang. Jungkar  ditempatkan di tangga masuk atau keluar bagi satu keluarga, agar tidak mengganggu tamu yang sedang bertandang. Jungkar yang atapnya menyambung pada atap rumah panjang dibuatkan tingaatn (ventilasi pada atap yang terbuka dengan ditopang/disanggah kayu) yang sewaktu hujan atau malam hari dapat ditutup kembali.
Rumah betang yang tersisa pada masyarakat Dayak merupakan contoh kehidupan budaya tradisional yang mampu bertahan dan beradaptasi dengan lingkungan. Masyarakat Dayak memiliki naluri untuk selalu hidup bersama secara berdampingan dengan alam dan warga masyarakat lainnya. Mereka gemar hidup damai dalam komunitas yang harmonis sehingga berusaha terus bertahan dengan pola kehidupan rumah betang. Harapan ini didukung oleh kesadaran setiap individu untuk menyelaraskan kepentingannya dengan kepentingan bersama. Kesadaran tersebut dilandasi oleh alam pikiran religio-magis, yang menganggap bahwa setiap warga mempunyai nilai dan kedudukan serta hak hidup yang sama dalam lingkungan masyarakatnya. Pola pemukiman rumah betang erat hubungannya dengan sumber-sumber makanan yang disediakan oleh alam sekitarnya, seperti lahan untuk berladang, sungai yang banyak ikan, dan hutan-hutan yang dihuni binatang buruan. Namun dewasa ini, ketergantungan pada alam secara bertahap sudah mulai berkurang. Masyarakat Dayak telah mulai mengenal perkebunan dan peternakan.Rumah betang menggambarkan keakraban hubungan dalam keluarga dan pada masyarakat.

Rumah betang selain tempat kediaman juga merupakan pusat segala kegiatan tradisional warga masyarakat. Apabila diamati secara lebih seksama, kegiatan di rumah betang menyerupai proses pendidikan tradisional yang bersifat non formal. Dalam masyarakat Dayak terdapat pembagian tugas atau perbedaan dalam mengerjakan seni tradisional. Kaum pria terampil dalam ngamboh (pandai besi ), menganyam, dan mengukir, sedangkan wanita lebih terampil dalam menenun dan menganyam yang halus.

Sejarah Rumah Betang di Kalimantan

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 1 Comment

- Copyright © DAYAK TALINO - MENEMBUS PERADABAN - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -