Pada saat itu, ada semacam sayembara atau pemberitaan mengenai peperangan kecil. Orang yang disebut sebagai Panglima Rangge Cucoh tersebut memenangkan sayembara yang diadakan di Sanggau. Selanjutnya, orang Kengkodian kemudian pindah ke Belian Lokoh.
Di sana lahir pula seorang yang disebut sebagai Pang Campoy. Selanjutnya, dua orang tersebut yakni Panglima Cucoh dan Pang Campoy bergabung menjadi satu komunitas. Disebutkan bahwa Cucoh memiliki gelar Rangge Cucoh sementara Campoy bergelar Pang Campoy.
Pang Campoy juga merupakan seorang panglima karena berhasil menumpas pengayau (pencari kepala). Di zaman itu, orang Kengkodian sering diserang pengayau atau orang yang membunuh untuk mencari kepala. Oleh karena Pang Campoy, tidak ada satupun orang Kengkodian yang gugur dalam pertempuran. Malahan, para pengayau tersebut yang habis ditumpas. Maka dari itu, setiap kali Pang Campoy menumpas pengayau, ditaruhnyalah kepala para pengayau itu dan digantung di Belian Kikipan. Hingga saat ini, Belian Kikipan tersebut masih ada dan dapat ditemukan bukti batang beliannya di bagian kiri hulu Sungai Kasai.
Setelah Rangge Cucoh dan Pang Campoy bersatu, orang Kengkodian berpindah kampung halaman ke Tembawang Longkay. Saat itu, orang Kengkodian memiliki pantangan. Sungai Batang Kengkodian tidak bisa atau tidak boleh dituba’ (diracun untuk mencari ikan). Akan tetapi, karena ada kesepakatan dari beberapa orang Kengkodian yang tidak percaya akan pantangan tersebut, dituba’lah Sungai Batang Kengkodian tersebut. Pada saat menuba’, tidak ada satupun ikan yang mati. Yang cukup mengherankan adalah munculnya ular sawa’ yang muncul dari sungai karena keracunan. Maka dari itu, ular sawa’ itu kemudian dijadikan lauk dan disantap oleh semua orang Kengkodian yang saat itu sedang menuba’. Jadi ular sawa’ itu dipukul kepalanya dan dibawa ke Jelapang Jurong. Naasnya, sebanyak orang Kengkodian yang makan ular sawa’ itu, tidak ada satupun yang hidup setelah memakannya.
Syukurnya, masih ada satu keluarga penduduk kampung yang di Lakau. Mereka inilah yang memberi tahu kepada orang kampung bahwa orang-orang Kengkodian tewas setelah memakan ular sawa’ yang telah dituba’ dari Sungai Batang Kengkodian. Sejak saat itu hingga saat ini, Sungai Batang Kengkodian tidak boleh atau dilarang untuk dituba’.
Setelah itu, orang Kengkodian yang tersisa, pindah lagi dari Tembawang Longkay ke Senibung Tanah Tarah Silengan Titi Ganjek (atau sekarang disebut Laman Tuhe). Orang ramai berduyun-duyun menggunakan sampan hingga tiga buah. Semuanya penuh berisikan laki-laki dan perempuan masing-masing tiga puluh orang laki-laki dan tiga puluh orang perempuan.
Selanjutnya, orang Kengkodian pindah kampung lagi ke sebuah tempat yang disebut kampung Tanjung Pandan (Laman Lambat). Sampai sekarang orang Kengkodian hidup bersama, bertempat tinggal di sisi sungai Batang Kengkodian atau Dimare Kasay yang saat ini disebut sebagai Engkadin. Itulah asal usul kampung atau perdukuhan orang Kengkodian sejak dahulu hingga saat ini dari kampung halamannya hingga orang-orangnya.
Daftar Rujukan:
[1] Petinggi Adat Dayak Dusun Engkadin, 2019. Adat dan Hukum Adat Dayak Tayap Sekayok Sub Suku Dayak Dusun Engkadin. DAD Tayap: Nanga Tayap