Archive for 05/27/16
Tradisi mengayau (Ngayau) adalah tradisi adat yang identik dengan pembunuhan sadis berupa pemengalan kepala manusia untuk mendapatkan daya hidupnya sehingga bermanfaat bagi desa, pribadi maupun sebagai sebab-akibat hukum. Walaupun tradisi ini berkesan sadis, namun masyarakat Dayak, seperti Dayak Iban, memandang Ngayau adalah hal yang positif karena berhubungan dengan keberanian, simbol laki-laki juga martabat sosial.
Ngayau berasal dari kata kayau yang berarti “musuh”. J.U. Lontaan, op.cit. hal. 532. Selanjutnya, untuk mendukung pendapatnya, Lontaan mengutip Alfred Russel Wallage dalam The Malay Archhipelago, 1896: 68, “… headhunting is a custom originating in the petty wars of village with village and tribe with tribe….”
Terdapat berbagai versi etimologi ngayau. Sebagai contoh, Fridolin Ukur dalam buku Tantang Jawab Suku Daya menyebut bahwa ngayau mencari kepala musuh. Sedangkan bagi Dayak Lamandau dan Delang di Kalimantan Tengah, mengayau berasal dari kata “kayau” atau “kayo’; yang artinya mencari. Mengayau berarti men¬cari kepala musuh. Jadi, mengayau ialah suatu perbuatan dan tindak-budaya mencari kepala musuh.
Dalam versi Dayak Jangkang, ngayau juga disebut ngayo. Berasal dari kata “yao” yang berarti: bayang-bayang, menghantui, meniadakan, atau memburu kepala musuh sebagai prasyarat atau pesta gawai. Ada gawai khusus untuk merayakan kepala musuh dengan tarian perang, yakni gawai naja bak (pesta kepala).
Ngayau tidak terlepas dari keyakinan komunitas Dayak sebagai sebuah entitas. Hal ini dapat ditelusuri dari cerita lisan dan tradisi yang diturunkan dari mulut ke mulut. Menurut keyakinan yang dipegang teguh, orang Dayak yakin mereka adalah keturunan makhluk langit. Ketika turun ke dunia ini, menjadi makhluk yang paling mulia dan, karena itu, menjadi penguasa bumi.
Keyakinan ini, pada gilirannya, membawa konsekuensi orang Dayak lalu memandang rendah entis lain. Jika menganggu dan mengancam keberadaan dan kelangsungan hidup mereka, etnis lain dapat disingkirkan. Namun, harus ada alasan yang kuat untuk itu. Darah hewan, apalagi manusia, tabu untuk ditumpahkan. Jika sampai terjadi, mereka akan menuntut balas.
Keputusan Ngayau haruslah disertai alasan-alasan yang kuat dan masuk akal. Sebelum melancarkan pengayauan, malam harinya diadakan musyawarah bersama yang dalam bahasa Dayak Jangkang disebut boraump. Semua peserta wajib memberikan pendapat dan penilaian. Keputusan diambil dengan berpangkal tolak pada suara dan pendapat mayoritas.
Dalam tata pelaksanaannya Ngayau juga tidaklah sembarangan, bahkan beberapa suku Dayak masih memperlakukan sang kurban dengan “cukup” manusiawi. Menurut adat Dayak Kanayatn misalnya, sebelum mengayau mereka melakukan upacara adat nyaru’ tariu (memanggil tariu) di panyugu atau pandagi (empat keramat untuk memanggil roh, mempersembahkan sesajen dan lain-lain). Tariu sendiri tidak bisa definisikan. Tetapi dengan bertariu seseorang dipercaya menjadi berani, kebal dan sakti. Teriakan tariu dapat menimbulkan efek psikologis menjatuhkan moral musuh.Upacara ini dilakukan untuk memohon kekuatan dan bantuan kepada Kamang (makhluk seperti manusia tetapi tidak kelihatan). Selesai mengayau mereka melakukan adat nyimah tanah (mencuci tanah). Hal ini dilakukan agar rasi (pertanda) yang jahat menghindari mereka.
Selain itu, mereka juga mengadakan upacara notokng (upacara menghormati kepala dan membuang dosa) sebanyak 7 turunan. Upacara ini biasa dilakukan berdasarkan permintaan orang yang dikayau. Dengan upacara notokng ini orang yang telah dikayau dihormati, seperti dimandikan, diberi makan dan ditidurkan dan pada saatnya dimakamkan dengan upacar notokng yang ketujuh (terakhir) yaitu notokng mubut.
Seorang penulis di masa Hindia Belanda, Bakker (1884) mengatakan bahwa salah satu suku Dayak yang paling ditakuti dalam dunia pengayauan adalah Dayak Jangkang.
Menurut sumber dari J.U. Lontaan (1975: 533-537) dalam Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat serta informasi yang penulis dapat dari berbagai sumber, dapat disimpulkan bahawa Ngayau dilakukan dengan tujuan :
1. Untuk kesuburan tanah. Orang Dayak sangat yakin dalam mempersembahkan kepala manusia maka hasil panen akan melimpah. Biasanya mengayau dilakukan ketika masa mendekati panen. Hasil kayauan akan dipestakan dalam gawai, pesta panen padi suku Dayak.
2. Untuk menambah kekuatan supranatural. Orang Dayak sangat mempercayai adanya kekuatan supranatural . Kekuatan tersebut adalah dalam jiwa manusia. Pusat kekuatan tersebut terdapat pada tengkorak manusia. Pemilikan atau penguasaan atas tengkorak manusia berarti penambahan jiwa bagi yang bersangkutan. Ini juga berarti menambah kesaktian. Dengan kekuatan tersebut seseorang dapat melindungi diri, keluarga dan sukunya. Miller, menulis dalam Black Borneo-nya (1946 : 121), menyatakan bahwa praktik memburu kepala bisa dijelaskan dalam kerangka kekuatan supernatural yang oleh orang-orang Dayak diyakini ada di kepala manusia. Bagi orang Dayak, tengkorak kepala manusia yang sudah dikeringkan adalah sihir yang paling kuat di dunia. Sebuah kepala yang baru dipenggal cukup kuat untuk menyelamatkan seantero kampung dari wabah penyakit. Sebuah kepala yang sudah dibubuhi ramu-ramuan bila dimanipulasi dengan tepat cukup kuat untuk menghasilkan hujan, meningkatkan hasil panen padi, dan mengusir roh-roh jahat. Kalau ternyata tak cukup kuat, itu karena kekuatannya sudah mulai pudar dan diperlukan sebuah tengkorak yang baru.
3. Untuk balas dendam. Jika ada orang Dayak dibunuh oleh orang lain, maka semua orang dalam suku pelaku tersebut harus bertanggung jawab. Ini dikenal dengan “hutang darah”
4. Untuk mas kawin seperti dalam cerita legenda Ne’ Dara Itam dan Ria Sinir. Dengan mas kawin kepala musuh dianggap menunjukan sang lelaki bisa bertanggung jawab melindungi istrinya. Banyak pihak berpendapat bahawa, “lelaki Dayak yang berhasil memperoleh kepala dalam ekspedisi ngayau akan menjadi rebutan atau kegilaan para wanita” ini kerana ia melambangkan keberanian dan satu jaminan dan kepercayaan bahawa lelaki tersebut mampu Orang Dayak dengan kepalah hasil kayauan di tangannyamenjaga keselamatan wanita yang dikawininya. Sebenarnya kenyataan itu tidak 100% tepat, malah masih dipersoalkan. Dikatakan demikian kerana menurut cerita lisan masyarakat Dayak (Iban) di Rumah-Rumah panjang, selain orang Bujang ada juga individu yang telah berkeluarga menyertai ekspedisi memburu kepala.
5. Sebagai tumbal berdirinya bangunan. Orang Dayak yakin bahwa rumah yang dibuat akan kokoh dan berarti jika diberi tumbal kepala manusia.
6. Pertahanan dari serangan suku lain. Penyerangan sebenarnya dapat diartikan sebagai bentuk pertahanan diri yang aktif dan agresif, seperti pepatah Latin si vis pacem, para bellum (jika Anda menginginkan damai, siap sedialah untuk berperang) . Dengan melakukan penyerangan terlebih dahulu maka potensi ancaman dari musuh akan berkurang sehingga sebuah suku dapat mempertahankan dan melindungi desanya.
7. Lambang kekuasaan dan status kedududan orang Dayak. Semakin banyak kepala musuh yang diperoleh semakin kuat/perkasa orang yang bersangkutan.
Jadi, dari berbagai alasan tujuan Ngayau di atas, kita bisa melihat beberapa filosofi dari Ngayau yang terkesan sadis.
Ada beberapa hal yang menyebabkan tradisi mengayau perlahan-lahan menghilang :
1. Pertemuan Tumbang Anoi.
Pertemuan ini diadakan pada 22 Mei – 24 Juli 1894 di Desa Huron Anoi Kahayan Ulu, Kalimantan Tengah, atas inisiatif pemerintahan Hindia Belanda. Mereka mengumpulkan semua kepala suku dan pemuka masyarakat dari seluruh Kalimantan, termasuk dari British Borneo (Malaysia). Salah satu butir kesepakatan pada waktu adalah mengakhiri kegiatan “kayau-mengayau” diantara suku Dayak.
Bagi pemerintahan Hindia-Belanda, hal ini perlu dilakukan karena pegawai mereka sering menjadi sasaran pengayauan saat melaksanakan tugas ke pedalaman Kalimantan. Pertemuan ini sendiri berhasil mengurangi “kayau-mengayau” secara drastis, walaupun tidak bisa menghentikannya sama sekali. Menurut penuturan beberapa orang kegiatan pengayauan masih terjadi hingga tahuan 1960an.
2. Masuknya agama Katolik dan Kristen. Agama dibawa oleh para misionaris ini mempunyai andil yang sangat besar bagi terhentinya adat pengayauan. Ajaran cinta kasih Kristen secara jelas bertentangan dengan pengayauan. Injil melarang membunuh orang dengan alasan apapun.
3. Kesadaran orang Dayak. Masyarakat Dayak akhirnya menyadari bahwa mengayau semakin lama dirasakan merugikan karena mereka merasakan sendiri bagaimana misalnya jika anak tunggalnya dikayau suku lain, seperti yang ia lakukan.
Inilah sedikit banyak tentang Ngayau, tradisi berburu kepala manusia untuk dikurbankan dan tujuan lain, yang nyata terjadi di Kalimantan.
Sumber: Edi Petebang
Tradisi Mengayau (Ngayau) Dayak
Dayak Kanayatn adalah salah satu dari sekian ratus sub suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan, tepatnya di daerah kabupaten Landak, Kabupaten Mempawah, Kabupaten Kubu Raya, Serta Kabupaten Bengkayang.
Dayak Kanayatn dikelompokan ke dalam golongan rumpun Land Dayak-Klemantan oleh H.J. Mallinckrodt (1928). Namun Menurut C.H. Duman (1929), Dayak Kanayatn adalah bagian dari Rumpun Ot Danum-Maanyan-Ngaju. Akan tetapi penelitian oleh W.Stohr (1959) menyatakan bahwa pendapat C.H. Duman adalah salah karena jika dilihat dari wilayah, bahasa, serta hukum adat, suku Dayak Kanayatn tidak menunjukan adanya hubungan dengan kelompok Rumpun Ot Danum-Maanyan-Ngaju, akan tetapi lebih mengarah pada kelompok Land Dayak- Klemantan. Bahkan pemberian nama nama Kabupaten Landak didasarkan pada masyarakat mayoritasnya yaitu Dayak Kanayatn yang merupakan bagian dari rumpun Dayak Darat (Land Dayak atau Land Djak dalam ejaan Belanda).
Pakaian Tradisional suku Dayak Kanayatn terbuat dari kulit Tarab atau Kapuak/Kapoa’. Bajunya berbentuk Rompi yang disebut Baju Marote atau baju uncit. Cawatnya terbuat dari Kain tenun atau kulit Kayu yang disebut Kapoa’. Serta mahkota atau ikat kepala yang dalam bahasa ahe disebut Tangkulas. Tangkulas ini biasanya dihiasi dengan bulu Ruai/Kuau Raja, serta bulu Enggang. Terkadang, jika bulu burung Ruai tidak ada, bisa diganti dengan Anjuang Merah (Hanjuang). Selain itu senjata tradisional Tangkitn/Parang Pandat serta Perisai (Jabakng/Gunapm) merupakan kelengkapan pakaian adat pria.
Upacara adat yang biasa diadakan oleh suku ini antara lain Naik Dango, Muakng Rate, Notokng, Gawai Dayak, dan lain-lain.
Kebudayaan Dan Pakaian Tradisional Dayak Kanayatn
Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata” Lantang suara dari seseorang yang berpidato itu dibalas dengan gemuruh, ”Arus… Arus… Arus" Salam itu selalu mengawali sambutan tokoh masyarakat atau tokoh pemerintah maupun masyarakat dalam acara adat Dayak maupun acara-acara lainnya. Salam itu sekaligus menjadi filosofi masyarakat adat Dayak untuk mewujudkan hidup yang tenteram bersama masyarakat lainnya. "TALINO" dalam bahasa Dayak Kanayatn atau biasa disebut dengan bahasa "AHE" atau "ORANG AHE/URAKNG AHE" artinya "MANUSIA". "BACURAMIN" memiliki arti "BERCERMIN", "SARUGA" adalah "SURGA", "BASENGAT" artinya "BERNAFAS" dan "JUBATA" artinya "TUHAN YANG MAHA KUASA". Secara harfiah "Adil Ka' Talino, Bacuramin Ka' Saruga, Basengat Ka' Jubata" dalam bahasa indonesia berarti "sebagai manusia kita wajib bersikap adil dan toleran terhadap sesama, dalam menjalani kehidupan kita harus bercermin dari surga dan setiap nafas kehidupan yang kita miliki berasal dari TUHAN YANG MAHA KUASA". Jawaban dari salam tersebut adalah Arus...Arus...Arus yang berarti mengiyakan ucapan tersebut (AMIN ).
Sejarah Munculnya Kata Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata Sebelum Tahun 1985. Sejak tahun 1975, kata, “ Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata”, sudah menjadi salam atau falsafah bagi lembaga adat Dayak Kanayatn, khususnya Dewan Adat Dayak Kanayatn di Tingkat Kecamatan, seperti Dewan Adat Dayak Kanayatn Kecamatan Sengah Temila, Dewan Adat Dayak Kanayatn Kecamatan Mempawah Hilir dan lainnya di Kabupaten Pontianak (sebelum pemekaran). Sesudah Tahun 1985. Namun secara Formal semboyan atau falsafah Kata Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata ditetapkan pada tanggal 26 Mei 1985, pada saat Upacara Adat Naik Dango yang pertama di Anjungan, Kabupaten Pontianak. Dimana pada saat itu dirumuskan oleh beberapa orang tokoh adat dayak seperti, Bapak F. Bahudin Kay, Bapak Drs. M. Ikot Rinding, Bapak Salimun, BA, Bapak R.A. Rachmad Syahuddin, B.Sc , dan lain-lain. Kata Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata, sejak saat itu resmi digunakan secara formal dalam berbagai kegiatan upacara adat dan kegiatan Masyarakat Adat Dayak di Kabupaten Pontianak. Dimana setiap kata Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata yang di ucapkan dibalas dengan kata Auk (diucapkan Auuuuuk) yang artinya ya atau amin. Perkembangan
Penggunaan Semboyan atau Falsafah Adil Ka’ Talino Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Majelis Adat Dayak (MAD) Provinsi Kalimantan Barat yang dideklarasikan oleh sembilan orang penandatangan sebagai deklarator berdirinya Majelis Adat Dayak Provinsi Kalimantan Barat, yaitu: Bapak Yakobus Frans Layang, SH., Bapak Drs. M. Ikot Rinding, Bapak Drs. Paulus Djudah, Bapak Drs. F. M. Adjun Lock, Bapak Drs. V. E. Ritih Kenyeh, Piet Andjioe Nyangun, SE., Bapak Pius Alfret Simin., Bapak Drs. Yakobus Kumis dan Bapak Drs. J. Numsuan Madsun,. pada tanggal 21 Agustus 1994 , maka semboyan atau falsafah Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata di masukan di dalam Anggaran Dasar Majelis Adat Dayak Provinsi Kalimantan Barat sebagai semboyan atau salam masyarakat Dayak Kalimantan Barat. Ke Sembilan orang deklarator berdirinya MAD Kalimantan Barat juga merangkap sebagai formatur pembentukan pengurus pertama dengan Ketua Umum; S. Jacobus E. Frans L., BA., SH, Sekretaris Umum; Thadeus Yus, SH., MPA dan Bendahara Umum; Alex Akoran, B.Sc. Kemudian salam atau falsafah tersebut di Kukuhkan dalam Musyawarah Dewan Adat Dayak (Musdad) yang pertama pada tahun 1996 yang menetapkan Kepengurus MAD Hasil Musdad Pertama, Ketua Umum; S. Jacobus E. Frans L., BA., SH, Sekretaris Umum; DR. Piet Herman Abik, dan Bendahara Umum; Bapak BL. Atan Palil. Kemudian terjadi perubahan jawaban setiap mengakhiri kata Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata, yang dulunya di jawab Auk, kemudian disepakati dalam Musyawarah Dewan Adat Dayak II tanggal 18 – 21 September 2001 Dimana pada saat itu terpilih Ketua Umumnya Bp. RA. Rachmad Syahudin, B.SC, Sekretaris Umumnya, Drs. Agustinus Clarus, M.Si dan Bendahara Umumnya, Yohanes Nenens, SH. Dalam salah satu keputusannya, setiap setelah diucapkannya kata, Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata, semua yang hadir membalas dengan kata, Arus….arus….arus (harus, harus, harus,/ terus, terus terus mengalir seperti air/permisi/meng-amini) Pada Tanggal 12 Nopember 2001, sebanyak 29 orang atas nama masyarakat Dayak se-Kalimantan (sesuai dokumen asli daftar hadir yang saya miliki) Kaltim, Kalteng, Kalbar dan Kalsel, di Balik Papan, Kalimantan Timur, mendeklarasikan berdirinya Dewan Adat Dayak Nasional. Kepengurusan pertamanya adalah; Ketua Umum Pdt. Barnabas Sebilang, Sekretaris Jendral, DR. Eliyanto S. Lasam, SE., M.Si, dan Bendahara Umum, Pangeran Agustinus Acang. Pada saat kepengurusan ini belum di rumuskan salam atau semboyan organisasi. Kemudian pada tahun 2003 dilaksanakan Musyawarah Nasional Pertama Dewan Adat Dayak se-Kalimantan, yang memilih pengurus, Ketua Umum, Michael Andjioe, S.Ip., MBA, Sekretaris Jendral, Drs. Yakobus Kumis, dan Bendahara Umum, Ir. Albertus Euseg. Pada Tahun 2006, Setelah melalui musyawarah yang cukup melelahkan, Dewan Adat Dayak se-Kalimantan, dalam Musyawarah Nasionalnya yang kedua pada tanggal 2-4 September 2006 telah menetapkan kata Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata sebagai semboyan atau falsafah masyarakat Dayak secara Nasional (se-Indonesia).
Tidak hanya itu dalam Munas DAD se-Kalimantan ke II, yang dimotori Atan Palil sebagai Ketua Umum Panitia dan Makarius Sentong, SH., MH, sebagai Sekretaris Umum Panitia, telah berhasil menetapkan hal-hal sebagai berikut: Menetapkan perubahan nama Dewan Adat Dayak se-Kalimantan, menjadi Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) sebagai lembaga adat dayak tertinggi tingkat Nasional. Menetapkan Dewan Adat Dayak (DAD) sebagai nama lembaga adat dayak ditingkat Provinsi hingga Kecamatan seluruh Indonesia. Menetapkan Lagu Mars Dayak, sebagai lagu mars MADN, Ciptaan DR. Aloysius Mering, M.Pd Menetapkan Hymne Dayak, sebagai lagu Hymne MADN, Ciptaan DR. Aloysius Mering, M.Pd Menetapkan Bapak Agustin Teras Narang, SH sebagai Ketua Umum MADN (sekarang ini berubah menjadi Presiden MADN) Penggunaan Semboyan Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata dalam Pembentukan Borneo Dayak Forum . Dalam Soft Lounching, Borneo Dayak Forum tanggal 9 Agustus 2010 di Kuching, Sarawak, maka semboyan Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata ditetapkan sebagai Salam atau Falsafah masyarakat Dayak seluruh Dunia. Maka wajib di sampaikan “Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata” dalam setiap pertemuan masyarakat Dayak di Seluruh Dunia. Pengertian Kata Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata Adil Ka’ Talino : Adil artinya Bersikap Adil, Ka’ Talino artinya kepada sesama manusia. Jadi Adil Ka’ Talino berarti kita harus bersikap Adil terhadap sesama manusia. Bacuramin Ka’ Saruga : Bacuramin artinya bercermin Ka’ Saruga artinya ke Surga. Jadi, Bacuramin Ka’ Saruga berarti kita harus bersikap dan berbuat seperti kehidupan di Surga (perbuatan-perbuatan yang baik) Basengat Ka’ Jubata : Basengat artinya bernapas atau hidup Ka’ Jubatan artinya kepada Tuhan. Jadi Basengat Ka’ Jubatan berarti bernapas/ hidup kita tergantung dari Tuhan, atau Tuhan sebagai kehidupan atau yang memberi hidup. Pengertian Keseluruhan Pengertian Secara Keseluruhan dari “ Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata adalah bahwa dalam hidup ini kita harus bersikap adil, jujur tidak diskriminatif, terhadap sesama manusia, dengan mengedepankan perbuatan-perbuatan baik seperti di surga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Penjabaran makna dari kata, “ Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata” Adil Ka’ Talino, memiliki makna: Bersikap Adil terhadap sesama manusia Tidak semena-mena terhadap orang lain Menghormati dan menghargai hak-hak orang lain Bersikap jujur Berani membela kebenaran dan keadilan Mampu menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban Memiliki sikap tenggang rasa terhadap sesama Bacuramin Ka’ Saruga, memiliki makna: Berperilaku dan berbuat sesuai dengan keadaan di surga Melakukan kehendak Jubata (Tuhan) dan Menjauhi larangannya Cintai terhadap sesama manusia Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan Suka membantu dan menolong orang lain Suka melakukan kegiatan kemanusiaan Selalu mengembangkan dan melakukan perbuatan yang luhur dan mulia Mampu menjaga kelestarian alam Basengat Ka’ Jubata, memiliki makna: Percaya bahwa hidup dan mati kita ada di tangan Jubata (Tuhan) Pasrah kepada kehendak Tuhan Mengakui bahwa Tuhanlah yang memberi napas dan kehidupan kepada kita Tuhan sebagai tempat memohon dan meminta Tuhan sebagai tempat sandaran hidup Percaya bahwa rezeki yang kita terima berasal dari Tuhan Yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah kehendak Tuhan. Penutup Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata, sungguh suatu salam atau falsafah yang mengandung arti dan makna yang sungguh agung dan mulia, yang dapat menggambarkan sikap dan kepribadian masyarakat Dayak yang sesungguhnya yang telah hidup ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu di tanah leluhurnya yaitu Borneo tercinta. Salam atau falsafah atau semboyan Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata, kita yakini akan mampu memberikan semangat, dorongan dan motivasi kepada masyarakat Dayak se Borneo untuk hidup lebih maju dan sejahtera sehingga mampu mewujudkan cita-cita satu Borneo, satu suku, satu suara.
Semboyan Dan Falsafah Dayak
Untuk mengungkapkan apa yang disebut “JUBATA” oleh Masyarakat adat Dayak Kanayatn, agar dapat dimengerti dan dipahami secara jelas bukanlah merpakan yang sederhana dan perlu waktu yang cukup banyak, karena tidak dapat dipisahkan dan sangat erat sekali kaitannya dengan adat, mithe-mithe tentang kejadian alam semesta dan manusia dan mithe-mithe lainya yang memperlihatkan keterkaitan-keterkaitan antara manusia dengan makhluk-makhluk lain serta alam lingkungan sekitarnya. Masyarakat adat Dayak Kanayat yakin bahwa ada dua ruang lingkup alam kehidupan, yaitu kehidupan alam nyata dan kehidupan alam maya. Yang berada di alam kehidupan nyata ialah makhluk tak hidup, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Sedangkan yang berada di alam kehidupan maya antara lain: balis, bunyi-bunyi’an, antu, sumangat urakng mati,
dan JUBATA. Kedua alam khidupan ini dapat saling pengaruh-mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Kekuatan supranatural yang dimiliki oleh seseorang adalah salah satu contoh dari akibat tersebut di atas. Untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan alam nyatan dan kehidupan alam maya, serta untuk menata seluruh aspek kehidupan warganya, hubungan timbal-balik sesama warganya, hubungan warganya dengan alam lingkungannya, serta penciptanya/Jubata agar tetap serasi dan harmonis, nenek moyang para leluhur mereka (Dayak Kanayatn) telah menyusun secara arif dan bijaksana ketentuan-ketentuan, aturan-aturan yang harus ditaati dan dijadikan pengangan hidup bagi seluruh warganya dan warga keturunannya dari generasi ke generasi sampai kini, yang terangkum dalam apa yang disebut ADAT.
Sekedar untuk diketahui seperlunya bahwa yang tergolong ADAT di kalangan Masyarakat Adat Dayak Kanayatn antara lain:
- Peraga-peraga adat, lambang, dan simbol-simbol
- Bahasa, seni, dan budaya adat
- Hak-hak kepemilikan adat
- Kearifan-kearifan dan keyakinan adat
- Adat-istiadat dan hukum adat
- Upacara-upacara adat.: Upacara-upacara adat adalah kegiatan ritual bagi masyarakat adat dayak Kanayatn untuk berhubungan dengan Jubata.
Masyarakat Adat Dayak Kanayatn sangat yakin bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini berasal dari Jubata. Jubata sebagai Pencipta, dan Pemelihara segala sesuatu yang ada di alam nyata maupun di alam maya dan karena itu dikalangan masyarakat adat Dayak Kanayatn Jubata sangat dihormatai, dimuliakan dan diagungkan. Jubata diyakini pulas sebgai yang sangat baik, sangat murah hati, sangat adil, tetapi tidak segan untuk menghukum perbuatan-perbuatan yyang jahat. Mari kita simak beberapa kalimat dan penggalan kalimat yang mengungkapkan hal-hal di atas:
- Jubata nang baramu’ ai’ tanah, Adil ka Talino, Bacaramin ka Saruga, Basengat ka Jubata, Samuanya baranse’ ka Jubata.
- Jubata ina’ munuh, Jubata ina tidur, Jubata ina Bengkok.
- Labih adat Jubata bera, kurang adat antu nuntut. Adat manusia sakanyang parut, adat Jubata sapatok insaut, dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan yang menyatakan hal tersebut. Jubata sebagai pencipta dan pemelihara segala sesuatu itu oleh Masyarakat Adat Dayak Kanayatn disebut pula Jubata Tuha, yang dijabarkan dengan bahasa sederhana sebagai berikut: Ne’ Panitah, Ne’ Pangira, Ne’ Patampa, Ne’ Pangadu’, Ne’ Pangedokng, Ne’ Pajaji, Ne’ Pangingu. Hitungannya ada 7 (Tujuh), dan senantiasa diperingati pada setiap upacara ritual adat oleh Panyangahatn (Imam Adat) dalam Bamangnya sebagai berikut: Asa...dua...talu...ampat...lima...anam...tujuh, agi’nya koa....dst. Untuk menghadirkan atau (lebih tepat mengundang) Jubata untuk hadir pada setiap upacara ritual adat yang dilaksanakan, panyangahatn melakukan beberapa hal misalnya:
- MemanggilNya dengan suara jelas dan lantang Ooooooooooo Kita’ JUBATA.....dst..dst.
- MemanggilNya dengan perantaraan Bujakng Pabaras, yang dilambangkan dengan menghamburkan biji beras yang utuh sebanyak tujuh biji dengan bamang sbb: Aaaa....ian Kita’ Bujakng Pabaras, Kita’ nang ba tongkakng lanso, nang ba seap libar, ampa jolo basamptn, linsode batinyo saluakng jannyikng......dst.
- MemanggilNya dengan bunyian Potekng Baliukng sebanyak 7 kali
Konsep "Jubata" Menurut Adat Suku Dayak Kanayatn
NAIK DANGO:
Upacara Naik Dango Suku Dayak Kalbar merupakan kegiatan ritual Suku Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat, upacara ritual Naik Danggo ini merupakan kegiatan panen padi atau pesta padi sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat Dayak Kanayatn kepada Nek Jubata (Sang Pencipta) terhadap segala hasil yang telah diperoleh. Melalui upacara Naik Danggo suku Dayak Kalbar (Dayak Kanayatn) ini mereka merefleksikan kegiatan yang sudah lalu dihubungkan dengan kebesaran Nek Jubata, serta untuk memohon kepada Sang Pencipta (JUBATA) agar hasil panen tahun depan bisa lebih baik, serta masyarakat dihindarkan dari bencana dan malapetaka.
Upacara ritual pesta padi ini kerap dilaksanakan rutin setiap tahun dan dilaksanakan secara bergiliran di Kabupaten dan Kota di Kalbar, sebagai contoh Upacara Naik Danggo ke VII pernah dilaksanakan di Kabupaten Pontianak Kalimantan Barat tepatnya di Desa Lingga, Kecamatan Sei. Ambawang pada tanggal 27 April 1992 dan 1993 upacara Naik Dango suku Dayak Kalbar diadakan di Kecamatan Menjalin, sedangkan pada tahun 2009 Naik Danggo diadakan di Singkawang.
Melalui kegiatan ini pula diharapkan dapat melestarikan berbagai seni kebudayaan Dayak yang memang memiliki beranekaragam pesona dalam bingkai kekayaan budaya Nusantara.
MAKNA NAIK DANGO:
Tahap pelaksanaan upacara Naik Dango yaitu sebagai berikut :
1. Sebelum hari pelaksanaan
Sebelum hari pelaksanaan, terlebih dahulu dilakukan pelantunan mantra (nyangahathn) yang disebut Matik. Hal ini bertujuan untuk memberitahukan dan memohon restu pada Jubata.
2. Saat hari pelaksanaan
Pada hari pelaksanaan dilakukan 3 kali nyangahathn :
• pertama di Sami, bertujuan untuk memanggil jiwa atau semangat padi yang belum datang agar datang kembali ke rumah adat.
• kedua di Baluh/Langko, bertujuan untuk mengumpulkan semangat padi di tempatnya yaitu di lumbung padi.
• ketiga di Pandarengan, tujuannya yaitu berdoa untuk memberkati beras agar dapat bertahan dan tidak cepat habis.
Naik Dango merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak Kendayan yang dilaksanakan secara rutin setiap tahun. Dalam Upacara Adat Naik Dango, selain acara inti yakni “nyangahathn”.
Upacara Adat Naik Dango intinya hanya berlangsung satu hari saja tetapi karena juga menampilkan berbagai bentuk budaya tradisional di antaranya berbagai upacara adat, permainan tradisional dan berbagai bentuk kerajinan tangan yang juga bernuansa tradisional, sehingga acara ini berlangsung selama tujuh hari. Penyajian berbagai unsur tradisional, selama Upacara Adat Naik Dango ini, menjadikannya sebagai even yang eksotis ditengah-tengah kesibukan masyarakat Dayak.
Upacara Adat Naik Dango merupakan perkembangan lebih lanjut dari acara pergelaran kesenian Dayak yang diselenggarakan oleh Sekretariat Bersama Kesenian Dayak (SEKBERKESDA) pada tahun 1986.3 perkembangan tersebut kuat dipengaruhi oleh semangat ucapan syukur kepada Jubata yang dilaksanakan Masyarakat Dayak Kendayan di Menyuke setiap tahun setelah masa panen padi usai.
Dalam bentuknya yang tradisional, pelaksanaan Upacara Adat pasca panen ini dibatasi di wilayah kampung atau ketemanggungan. Inti dari upacara ini adalah nyangahathn yaitu pelantunan doa atau mantra kepada Jubata, lalu mereka saling mengunjungi rumah tetangga dan kerabatnya dengan suguhan utamanya seperti: poe atau salikat (lemang atau pulut dari beras ketan yang dimasak di dalam bambu), tumpi cucur), bontonkng (nasi yang dibungkus dengan daun hutan seukuran kue), jenis makanan tradisional yang terbuat dari bahan hasil panen tahunan dan bahan makanan tambahan lainnya.
ASAL MULA NAIK DANGO
Naik Dango didasari mitos asal mula padi menjadi popular di kalangan orang Dayak Kalimantan Barat, yakni cerita “Ne Baruankng Kulup” yaitu Kakek Baruangkng Yang Kulup karena tidak sunat. Cerita itu dimulai dari cerita asal mula padi berasal dari setangkai padi milik Jubata di Gunung Bawang yang dicuri seekor burung pipit dan padi itu jatuh ke tangan Ne Jaek (Nenek Jaek) yang sedang mengayau. Kepulangannya yang hanya membawa setangkai buah rumput (padi) milik Jubata, dan bukan kepala yang dia bawa menyebabkan ia diejek. Dan keinginannya untuk membudidayakan padi yang setangkai itu menyebabkan pertentangan di antara mereka sehingga ia diusir. Dalam pengembaraannya ia bertemu dengan Jubata. Hasil perkawinannya dengan Jubata adalah Ne Baruankng Kulup. Ne Baruankng Kulup inilah yang akhirnya membawa padi kepada “talino” (manusia), lantaran dia senang turun ke dunia manusia untuk bermain “Gasing”. Perbuatannya ini juga menyebabkan ia diusir dari Gunung Bawang dan akhirnya kawin dengan manusia. Ne Baruankng Kulup lah yang memperkenalkan padi atau beras untuk menjadi makanan sumber kehidupan manusia, sebagai penganti “kulat” (jamur, makanan manusia sebelum mengenal padi), bagi manusia. Namun untuk memperoleh padi terjadi tragedi pengusiran di lingkungan
manusia dan jubata yang menunjukan kebaikan hati Jubata bagimanusia.
Makna Upacara Adat Naik Dango bagi masyarakat Suku Dayak Kendayan antara lain , yaitu pertama: sebagai rasa ungkapan syukur atas karunia Jubata kepada manusia karena telah memberikan padi sebagai makanan manusia, kedua: sebagai permohonan doa restu kepada Jubata untuk menggunakan padi yang telah disimpan di dango padi, agar padi yang digunakan benar-benar menjadi berkat bagi manusia dan tidak cepat habis, ketiga: sebagai pertanda penutupan tahun berladang, dan keempat: sebagai sarana untuk bersilahturahmi untuk mempererat hubungan persaudaraan atau solidaritas.
Dalam kemasan modern, upacara Adat naik Dango ini dimeriahi oleh berbagai bentuk acara adat, kesenian tradisional, dan pameran berbagai bentuk kerajinan tradisional. Hal ini menyebabkan Naik Dango lebih menonjol sebagai pesta dari pada upacara ritual. Namun dilihat dari tradisi akarnya, ia tetap sebuah upacara adat.
Budaya Naik Dango Suku Dayak Kanayatn
1. Sampore’Sampore dilakukan dalam kehidupan sesorang yang berhubungan dengan rehablitasi hubungan yang pernah cacat. Sampore dilakukan dalam acara lenggang, liatn, dendo, bapipis, batampukng tawar, dan babuis (karena badi atau jukat)/ dan bisanya sampore dilakukan oleh para dukun
2. Lala’Lala’ adalah pantangan bagi masyarakat Dayak Kanayatn dalam melakukan sesuatu baik itu pantang makan, melakukan sesuatu, dan mengucapkan kata - kata. Masa pantang bisa tiga hari, tujuh hari, 44 hari, dan seumur hidup diatur dalam tradisi masyarakat setempat. Tujuan lala’ adalah agar setiap anggota masyarakat terhindar dari bahaya, kekuatan meningkat, atau terkabulnya niat dalam pekerjaan.
3. Tanung.
Tanung merupakan tradisi masyarakat dalam menentukan jenis kegiatan misalnya membangun rumah, menetapkan mototn, mancari jalan terbaik dalam situasi gawat/perang. Upacara batanung akan memberikam suatu keyakinan tentang jenis kegiatan yang dapat dilakukan kemudian. Jenis tanung adalah tang ai’, tanung tali, tanung karake’, tanung sarakng pinang, dan tanung dapa’ layakng.
4. Baremah
Baremah adalah permohonan penutup atau ucapan syukur atas hasil pekerjaan, seperti pada baroah, babalak, muang rasi, bapipis, basingangi (niat). Kegiatan ini lebih bersifat pribadi atau bagian upacara keluarga.
5. Renyah
Renyah adalah bahasa dayak kanayatn dalam menyebutkan lagu atau nyanyian. Isi nyanyian berupa pantun yang sangat digemari oleh seluruh lapisan masyarakat dalam berkasih sayang, saling sindir, atau oleh orang tua menyampaikan pesan kepada anaknya. Renyah biasanya dilakukan pada saat ke mototn atau ke hutan.
6. Bacece’Bacece adalah berunding di antara para tokoh, sanak keluarga, dan kerabat sekampung mengenai budi, hutang, atau hal lainnya dari orang tua/kepala keluarga/tokoh adat/tokoh masyarakat yang sudah meninggal dunia. Perundingan yang dipimpin oleh pemuka adat biasanya menghasilkan kesepakatan mengenai kejelasan dan tindakan yang dapat diambil bilamana perlu. Tujuannya agar arwah orang yang meninggal dapat lebih baik dan aman di surga, dan keluarga yang ditinggalkan dapat lebih tenang dan rukun.
7. Pangka’
Upacara adat pangka adalah upacara adat untuk memperingati Ne’ Baruakng Kulup merunkan padi ke dunia.Upacara ini biasanya dilakukan sebelum patahunan (masa ba mototn). Sebelum Upacara adat yang dipimpin oleh temenggung ini dilaksanakan , terlebih dahulu melakukan sembahyang bersama di panyugu setelah itu pangka’ gasing dimulai.
8. Mura’atn
Muraa’atn adalah berdoa agar sesorang tidak ditimpa mala petaka. Tradisi ini sifatnya pribadi perorangan.
Tradisi Dalam Adat Suku Dayak Kanayatn (2)
Dalam kebudayaan suku dayak terdapat banyak tradisi yang dilakukan seperti halnya suku-suku lain, salah satu tradisi khas suku dayak misalnya 'Ngayo'/Ngayau (tradisi mencari kepala manusia, dengan membunuh orangnya dan mengambil kepalanya sebagai kebanggaan bagi orang yang mendapatkannya, dan ini biasanya terjadi antar kelompok suku dayak), 'Naik dango' (upacara sukuran panen dari orang dayak) dll. salah satu tradisi yang jarang di ekspose orang adalah tradisi mengenai cerita, nyanyian dll, yang dikenal dengan tradisi lisan, tradisi yang berupa ucapan-ucapan lisan saja tidak ada arsip tertulis dalam suku dayak, namun di ajarkan dari generasi ke generasi segara lisan. berikut berbagai bentuk tradisi lisan:
Kelompok cerita:
1. Singara
Singara adalah cerita rakyat biasa yang berhubungan dengan situasi kehidupan di masyarakat. Cerita itu berupa cerita jenaka, cerita pelipulara, cerita binatang, dan cerita kasih sayang. Cerita jenaka misalnya cerita tentang Pak Ali-ali yang sangat kocak membuat tawa bagi yang mendengarkannya.Berikut ini contoh cerita Pa Ali-ali sedang mencari ikan sungai dengan bubu.
"Dimusim hujan ketika air sedang pasang, Pak ali-ali yang pemalas disuruh istrinya mencari ikan dengan menggunakan bubu. Awalnya Dia merasa enggan, tapi karena istrinya sering merengek-rengek akhirnya pak Ali-ali mengikuti keinginan istrinya. Malam ia mulai memasang bubu. Pagi harinya ketika diangkat, tak satupun ikan yang ia peroleh. Ia pun membawa bubunya kerumah dan melaporkannya ke pada istrinya. Istrinya marah-marah dan berkata : " Dasar bodoooh kao Pak ali-ali, seko’ saluakng buta’ pun kao na’ namu. Dah…..kao gago’ agi ikatn ka’ sunge" Sambil menghukum Pak Ali-ali tidak diberi makan. Terpukul oleh kata-kata istrinya "sekok saluakng buta’ pun na’ namu" akhirnya ia pun pasang bubu lagi. Kali ini ia dapat ikan penuh satu bubu. Tapi begitu dicek satu persatu tidak satu seluangpun yang buta. Akhirnya semua ikan seluang dan ikan yang lain dilepaskannya lagi ke sungai. Iapun pulang dan melaporkan bahwa ikan yang didapatnya sudah dibuang ke’ sungai semua, karena tidak ada yang buta".
2. Gesah/Curita
Gesah adalah cerita yang berhubungan dengan kepercayaan atau agama lama suku Dayak, sosok kepahlawanan, asal usul benda/ kehidupan manusia. Contoh gesah misalnya tentang Ne’ Baruakng Kulup dengan asal usul padi turun ke dunia. Gesah Ria Sinir yang terkenal dengan keberanian dan kesaktiannya. Gesah Pak Kasih yang berjuang merebut kemerdekaan.
3. Osolatn.
Osolath adalah kisah asal usul keturunan suatu suku, atau keluarga. Contoh Osolatn dapat dilihat pada asal usul kehidupan manusia di bumi menurut kepercayaan Dayak Kanayatn.
"Pada mulanya, pada perkawinan kosmis di Pusat Ai’ Pauh Janggi kemudian tercipta Kulikng Langit dua Putar Tanah (Kubah langit dan Kubah bumi), yaitu Sino Nyandong dan Sino Nyoba memperanakan Si Nyati Anak Balo Bulatn Tapancar Anak Mataari (Nyati Putri Bulan dan Putra Matahari). Memperanakan Iro-iro man Angin-angin ( Kacau Balau dan Badai), memperanakan Uang-uang man Gantong Tali (udara mengawang dan Embun menggantung), memperanakan Tukang Nange man Malaekat (Pandai Besi dan Bidadari), memperanakan Sumarakng Ai’ man Sumarakng Sunge (segala air dan segala sungai), memperanakan Tunggur Batukng man Mara Puhutn (Bambu dan Pepohonan) memperanakan Antuyut man Marujut (Akar-akaran dan Umbi-umbian) memperanakan Popo’ man Rusuk (Kesejukan Lumpur dan Tulang Iga).
Kesejukan Lumpur adalah perempuan dan tulang iga adalah laki-laki. Selanjutnya Popo’ man Rusuk Memperanakan Anteber dan Guleber. Anteber dan Guleber inilah yang dipercaya sebagai nenek moyang Dayak Kanayatn. Setelah menjadi manusia, selanjutnya, Anterber dan Guleber melahirkan anak-anaknya dan kemudian dalam waktu cukup lama melahirkan anak cucu, sehingga dengan demikian, semakin banyaklah anak manusia di bumi".
4. Batimang
Batimang adalah kegiatan yang bersifat hiburan atau pelipur hati atau bujukan oleh para orang tua untuk anak-anak. Batimang dilakukan pada saat senggang atau saat mau tidur. Batimang dapat dilakukan pada ungkapan pepatah, pantun atau lagu. Berikut ini contoh pepatah:
1)Abeh gi ka’ bahu, lajak udah bajalatn. Maksudnya Ia masih merencanakan sesuatu tapi rencananya sudah disebarluaskan.
2) Jantek siku siku tulakng takar. Maksudnya Perbuatan yang serba salah.
5. Pantutn
Pantutn atau pantun merupakan cerita yang berisi nasihat, peringatan, dan kasih sayang. Pantun terdiri dari empat baris bersajak ab-ab, dua baris sampiran dan dua baris isi. Sampirannya menarik karena kata-katanya berasal dari lingkungan kehidupan. Pantun banyak dipraktekkan dalam kesenian jonggan, berkomunikasi di mototn dan menoreh getah. Tokoh pantun yang terkenal media elektronik yang berasal dari Desa Rees adalah Pak Namben dijuluki si raja Pantun.
6. Sungkaatn
Sungkaatn adalah Cerita dalam bentuk perumpamaan/pepatah disebut dengan sungkaatn. Perumpamaan atau pepatah yang dikaitkan dengan lingkungan sekitar tentang peringatan,penjelasan atau nasehat. Biasanya kata - kata yang digunakan adalah bahasa formal adat. Berikut ini adalah contoh sungkaatn.1. Saenek-enek udas, paling ina’ tupe jejek ka’ dalapmnya. Maksudnya pada sebuah komunitas paling tidak satu orang menjadi pemimpinnya.2. Suka mani’ ka’ Daya maksudnya sesorang yang selalu mengaku dirinya lebih hebat dari yang lain. Kebalikan dari pepatah ini adalah Suka mani ka’ ilir yang maknanya seseorang selalu merendahkan dirinya meskipun ia sesorang pemimpin.
7. Salong
Salong adalah cerita dalam bentuk sindiran atau ejekan terhadap suatu kebiasaan, atau perilaku yang kurang baik di masyarakat. Salong berusaha memperbaiki Sifat,perilaku, dan perbuatan yang tidak sesuai dengan adat atau kebiasaan yang berlaku umum. Contoh salong adalah sebagai berikut :1). Sayang istri, dipukulSayang ke anak di tinggalkan ; maksudnya bekerja keraslah mencari nafkah untuk anak istri.2). Ujatna’ abut koa ; maksudnya salong untuk anak yang menangis.3). Angus padakng dinunu ; maksudnya kebohongan yang disampaikan dipercaya pendengar.4). Katungo ka’ jauh katele’atn, Babotn ka’ samaknya nana’ ia tele’’ : Maksudnya kesalahan orang orang dibesar-besarkan, kesalahan sendiri ditutupi.
Tradisi Dalam Adat Suku Dayak Kanayant (1)
Suku Dayak merupakan penduduk asli Kalimantan dan merupakan suku yang pertama kalinya mendiami pulau ini. Menurut penelitian para ahli arkeologi dan antropologi, nenek moyang suku dayak berasal dari dataran Yunan ( Daerah di Cina bagian selatan ) yang bermigrasi menuju kepulauan Nusantara dengan menggunakan perahu bercadik. Migrasi ini terjadi dalam 2 gelombang. Bangsa bangsa yang bermigrasi dalam gelombang pertama disebut Proto Melayu, sedangkan yang bermigrasi pada gelombang ke 2 disebut Deutero Melayu.
Nenek Moyang suku Dayak sendiri tergolong dalam jajaran bangsa Proto Melayu yang telah menginjakkan kaki di Nusantara sekitar ± 1500 SM. Dalam budayanya Nenek Moyang suku Dayak membawa kebudayaan Neolitik ( batu Baru ). Selain suku Dayak , suku lain di Nusantara yang juga tergolong proto melayu adalah Toraja, Batak Karo, dan Sasak (Lombok).
Dalam kepercayaan Dayak Kanayatn, orang orang tua pada umumnya mengenal gesah ( legenda / mitos, cerita lisan tentang asal usul ). Salah satu gesah dalam masyarakat Dayak Kanayatn adalah cerita mengenai asal usul dayak Kanayatn. Berikut adalah kutipan gesah asal usul Dayak Kanayatn yang dituturkan di daerah Binua Kaca’, Menjalin ( terjemahan ) :
“Konon asal usul orang dayak itu bersal dari binua aya’. Mereka datang ke Kalimantan dengan sejenis rakit yang terbuat dari buluh Munti’. Sebelum berangkat, Ne’ Galeber berdoa pada Jubata ( Tuhan ) Supaya rakit mereka dapat bergerak sendiri dan sampai di tempat yang patut dihuni. Maka bertiuplah angin kencang, membawa rombongan melintasi ribuan pulau dan akhirnya tiba di Kalimantan, tepatnya di pesisir ketapan. Daerah tersebut mereka namai ‘sikulanting’ ( lanting = rakit ).
Selanjutnya Ne’ Galeber dan rombongannya bergerak menuju pedalaman. Rombongan berhenti sejenak di sebuah tempat. Malam harinya Ne’ Anteber ( Istri Ne’ Galeber ) terbangun duluan. Lalu dia bangunkan suaminya memakai sikutnya. Ketika di sikut, Ne’ Galeber berkata ‘Dono’…’. Maka tempat itu dinamai sikudana ( siku’ dan dono’). Tiga hari rombongan berada di tempat itu. Setelah itu mereka beranjak menuju gunung Bawakng setelah diberi mimpi oleh Jubata. Tetapi ada beberapa anggota rombongan yang memilih menetap. Dua keluarga ini pun akhirnya menjadi nenek moyang suku dayak di derah Krio, Sandai, Semandang, Laur, dan Ulu’ Air.
Singkat Cerita, akhirnya rombongan tiba di daerah gunung bawakng. Setelah beberapa generasi, Jubata kembali mewahyukan adat istiadat dan tradisi sebagai penyempurnya tradisi yang telah ada sebelumnya. Dalam keturunan Ne’ Galeber, ada seseorang bernama Ne’ Unte’. Saat Ia sedang berburu di hutan, Jubata memberinya tujuh butir beras. Ne’ Unte’ tidak paham maksud dari tujuh butir beras itu. Beberapa hari kemudian, Jubata menyuruhnya menyepi dengan tujuh orang kerabatnya. Di tempat mereka menyepi, Jubata memberitahukan makna ketujuh butir beras tadi dan mewahyukan adat : Bauma batahutn ( berladang ), Balaki Babini ( Pernikahan ), Baranak ( melahirkan ), Nu’ diri’ man Parene’atn ( Hak Pribadi dan bersama ), Babalak ( Bersunat ), Karusakatn ( kematian ), dll yang terus dipakai sampai saat ini……..”
Dalam gesah tadi orang orang tua mengatakan kalau Nenek Moyang Dayak Kanayatn berasal dari binua aya’. Mungkin Binua Aya’ tadi adalah dataran Yunan menurut para ahli.
Oleh Rio Van Ontjed