Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya
Mei 27, 2016
Tradisi mengayau (Ngayau) adalah tradisi adat yang identik dengan pembunuhan sadis berupa pemengalan kepala manusia untuk mendapatkan daya hidupnya sehingga bermanfaat bagi desa, pribadi maupun sebagai sebab-akibat hukum. Walaupun tradisi ini berkesan sadis, namun masyarakat Dayak, seperti Dayak Iban, memandang Ngayau adalah hal yang positif karena berhubungan dengan keberanian, simbol laki-laki juga martabat sosial.
Ngayau berasal dari kata kayau yang berarti “musuh”. J.U. Lontaan, op.cit. hal. 532. Selanjutnya, untuk mendukung pendapatnya, Lontaan mengutip Alfred Russel Wallage dalam The Malay Archhipelago, 1896: 68, “… headhunting is a custom originating in the petty wars of village with village and tribe with tribe….”
Terdapat berbagai versi etimologi ngayau. Sebagai contoh, Fridolin Ukur dalam buku Tantang Jawab Suku Daya menyebut bahwa ngayau mencari kepala musuh. Sedangkan bagi Dayak Lamandau dan Delang di Kalimantan Tengah, mengayau berasal dari kata “kayau” atau “kayo’; yang artinya mencari. Mengayau berarti men¬cari kepala musuh. Jadi, mengayau ialah suatu perbuatan dan tindak-budaya mencari kepala musuh.
Dalam versi Dayak Jangkang, ngayau juga disebut ngayo. Berasal dari kata “yao” yang berarti: bayang-bayang, menghantui, meniadakan, atau memburu kepala musuh sebagai prasyarat atau pesta gawai. Ada gawai khusus untuk merayakan kepala musuh dengan tarian perang, yakni gawai naja bak (pesta kepala).
Ngayau tidak terlepas dari keyakinan komunitas Dayak sebagai sebuah entitas. Hal ini dapat ditelusuri dari cerita lisan dan tradisi yang diturunkan dari mulut ke mulut. Menurut keyakinan yang dipegang teguh, orang Dayak yakin mereka adalah keturunan makhluk langit. Ketika turun ke dunia ini, menjadi makhluk yang paling mulia dan, karena itu, menjadi penguasa bumi.
Keyakinan ini, pada gilirannya, membawa konsekuensi orang Dayak lalu memandang rendah entis lain. Jika menganggu dan mengancam keberadaan dan kelangsungan hidup mereka, etnis lain dapat disingkirkan. Namun, harus ada alasan yang kuat untuk itu. Darah hewan, apalagi manusia, tabu untuk ditumpahkan. Jika sampai terjadi, mereka akan menuntut balas.
Keputusan Ngayau haruslah disertai alasan-alasan yang kuat dan masuk akal. Sebelum melancarkan pengayauan, malam harinya diadakan musyawarah bersama yang dalam bahasa Dayak Jangkang disebut boraump. Semua peserta wajib memberikan pendapat dan penilaian. Keputusan diambil dengan berpangkal tolak pada suara dan pendapat mayoritas.
Dalam tata pelaksanaannya Ngayau juga tidaklah sembarangan, bahkan beberapa suku Dayak masih memperlakukan sang kurban dengan “cukup” manusiawi. Menurut adat Dayak Kanayatn misalnya, sebelum mengayau mereka melakukan upacara adat nyaru’ tariu (memanggil tariu) di panyugu atau pandagi (empat keramat untuk memanggil roh, mempersembahkan sesajen dan lain-lain). Tariu sendiri tidak bisa definisikan. Tetapi dengan bertariu seseorang dipercaya menjadi berani, kebal dan sakti. Teriakan tariu dapat menimbulkan efek psikologis menjatuhkan moral musuh.Upacara ini dilakukan untuk memohon kekuatan dan bantuan kepada Kamang (makhluk seperti manusia tetapi tidak kelihatan). Selesai mengayau mereka melakukan adat nyimah tanah (mencuci tanah). Hal ini dilakukan agar rasi (pertanda) yang jahat menghindari mereka.
Selain itu, mereka juga mengadakan upacara notokng (upacara menghormati kepala dan membuang dosa) sebanyak 7 turunan. Upacara ini biasa dilakukan berdasarkan permintaan orang yang dikayau. Dengan upacara notokng ini orang yang telah dikayau dihormati, seperti dimandikan, diberi makan dan ditidurkan dan pada saatnya dimakamkan dengan upacar notokng yang ketujuh (terakhir) yaitu notokng mubut.
Seorang penulis di masa Hindia Belanda, Bakker (1884) mengatakan bahwa salah satu suku Dayak yang paling ditakuti dalam dunia pengayauan adalah Dayak Jangkang.
Menurut sumber dari J.U. Lontaan (1975: 533-537) dalam Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat serta informasi yang penulis dapat dari berbagai sumber, dapat disimpulkan bahawa Ngayau dilakukan dengan tujuan :
1. Untuk kesuburan tanah. Orang Dayak sangat yakin dalam mempersembahkan kepala manusia maka hasil panen akan melimpah. Biasanya mengayau dilakukan ketika masa mendekati panen. Hasil kayauan akan dipestakan dalam gawai, pesta panen padi suku Dayak.
2. Untuk menambah kekuatan supranatural. Orang Dayak sangat mempercayai adanya kekuatan supranatural . Kekuatan tersebut adalah dalam jiwa manusia. Pusat kekuatan tersebut terdapat pada tengkorak manusia. Pemilikan atau penguasaan atas tengkorak manusia berarti penambahan jiwa bagi yang bersangkutan. Ini juga berarti menambah kesaktian. Dengan kekuatan tersebut seseorang dapat melindungi diri, keluarga dan sukunya. Miller, menulis dalam Black Borneo-nya (1946 : 121), menyatakan bahwa praktik memburu kepala bisa dijelaskan dalam kerangka kekuatan supernatural yang oleh orang-orang Dayak diyakini ada di kepala manusia. Bagi orang Dayak, tengkorak kepala manusia yang sudah dikeringkan adalah sihir yang paling kuat di dunia. Sebuah kepala yang baru dipenggal cukup kuat untuk menyelamatkan seantero kampung dari wabah penyakit. Sebuah kepala yang sudah dibubuhi ramu-ramuan bila dimanipulasi dengan tepat cukup kuat untuk menghasilkan hujan, meningkatkan hasil panen padi, dan mengusir roh-roh jahat. Kalau ternyata tak cukup kuat, itu karena kekuatannya sudah mulai pudar dan diperlukan sebuah tengkorak yang baru.
3. Untuk balas dendam. Jika ada orang Dayak dibunuh oleh orang lain, maka semua orang dalam suku pelaku tersebut harus bertanggung jawab. Ini dikenal dengan “hutang darah”
4. Untuk mas kawin seperti dalam cerita legenda Ne’ Dara Itam dan Ria Sinir. Dengan mas kawin kepala musuh dianggap menunjukan sang lelaki bisa bertanggung jawab melindungi istrinya. Banyak pihak berpendapat bahawa, “lelaki Dayak yang berhasil memperoleh kepala dalam ekspedisi ngayau akan menjadi rebutan atau kegilaan para wanita” ini kerana ia melambangkan keberanian dan satu jaminan dan kepercayaan bahawa lelaki tersebut mampu Orang Dayak dengan kepalah hasil kayauan di tangannyamenjaga keselamatan wanita yang dikawininya. Sebenarnya kenyataan itu tidak 100% tepat, malah masih dipersoalkan. Dikatakan demikian kerana menurut cerita lisan masyarakat Dayak (Iban) di Rumah-Rumah panjang, selain orang Bujang ada juga individu yang telah berkeluarga menyertai ekspedisi memburu kepala.
5. Sebagai tumbal berdirinya bangunan. Orang Dayak yakin bahwa rumah yang dibuat akan kokoh dan berarti jika diberi tumbal kepala manusia.
6. Pertahanan dari serangan suku lain. Penyerangan sebenarnya dapat diartikan sebagai bentuk pertahanan diri yang aktif dan agresif, seperti pepatah Latin si vis pacem, para bellum (jika Anda menginginkan damai, siap sedialah untuk berperang) . Dengan melakukan penyerangan terlebih dahulu maka potensi ancaman dari musuh akan berkurang sehingga sebuah suku dapat mempertahankan dan melindungi desanya.
7. Lambang kekuasaan dan status kedududan orang Dayak. Semakin banyak kepala musuh yang diperoleh semakin kuat/perkasa orang yang bersangkutan.
Jadi, dari berbagai alasan tujuan Ngayau di atas, kita bisa melihat beberapa filosofi dari Ngayau yang terkesan sadis.
Ada beberapa hal yang menyebabkan tradisi mengayau perlahan-lahan menghilang :
1. Pertemuan Tumbang Anoi.
Pertemuan ini diadakan pada 22 Mei – 24 Juli 1894 di Desa Huron Anoi Kahayan Ulu, Kalimantan Tengah, atas inisiatif pemerintahan Hindia Belanda. Mereka mengumpulkan semua kepala suku dan pemuka masyarakat dari seluruh Kalimantan, termasuk dari British Borneo (Malaysia). Salah satu butir kesepakatan pada waktu adalah mengakhiri kegiatan “kayau-mengayau” diantara suku Dayak.
Bagi pemerintahan Hindia-Belanda, hal ini perlu dilakukan karena pegawai mereka sering menjadi sasaran pengayauan saat melaksanakan tugas ke pedalaman Kalimantan. Pertemuan ini sendiri berhasil mengurangi “kayau-mengayau” secara drastis, walaupun tidak bisa menghentikannya sama sekali. Menurut penuturan beberapa orang kegiatan pengayauan masih terjadi hingga tahuan 1960an.
2. Masuknya agama Katolik dan Kristen. Agama dibawa oleh para misionaris ini mempunyai andil yang sangat besar bagi terhentinya adat pengayauan. Ajaran cinta kasih Kristen secara jelas bertentangan dengan pengayauan. Injil melarang membunuh orang dengan alasan apapun.
3. Kesadaran orang Dayak. Masyarakat Dayak akhirnya menyadari bahwa mengayau semakin lama dirasakan merugikan karena mereka merasakan sendiri bagaimana misalnya jika anak tunggalnya dikayau suku lain, seperti yang ia lakukan.
Inilah sedikit banyak tentang Ngayau, tradisi berburu kepala manusia untuk dikurbankan dan tujuan lain, yang nyata terjadi di Kalimantan.
Sumber: Edi Petebang