Ilustrasi Burung Enggang Gading |
Kisah Penciptaan Menurut Suku Iban
Pada
awal mulanya yang ada hanya ada air (laut) asali. Di atas laut asali ini
melayang-layang Ara dan Iri, dua keilahian yang mengambil rupa dua ekor burung,
laki-laki dan perempuan, jantan dan betina. Secara bersama Ara dan Iri
menciptakan dua substansi berbentuk telur raksasa. Dari kedua telur raksasa ini
tercipta langit dan bumi [1]. Nama Ara di sini dapat berarti:
mengembara, berkelana, keluyuran; pohon ara (sejenis Ficus indicus), menabur atau menyebarkan.
Dalam
hubungan antara pohon dengan burung, ada sebuah mitos yang menuturkan tentang
Sengalang Burong [2]. Dituturkan tentang seorang bernama Siu
yang pergi berburu sepanjang hari tanpa mendapat seekor burungpun. Ketika hari
sudah mulai malam ia menemukan sebatang pohon ara liar. Di situ hinggap banyak
sekali burung yang belum pernah ia kenal selama ini. Segera ia mengumpulkan
burung-burung itu sebanyak mungkin, hampir-hampir tak bisa dipikulnya, dan ia
bermaksud datang kembali setelah burung yang dikumpulkannya itu dibawanya
pulang. Namun, dalam perjalanan pulang ia tersesat dan akhirnya sampai ke
sebuah rumah panjang yang hanya dihuni oleh seorang wanitam puteri Sengalang
Burong. Siu diterima dan diwajibkan berjanji untuk tidak menceritakan kepada
siapa pun tentang rumah panjang itu, yang adalah miliki Sengalang Burong. Atas perjanjian
itu, mereka menjadi suami istri. Putera mereka bernama Seragunting, juga
disebut Surong Gunting. Kepada Seragunting inilah kemudian diturunkan oleh Sengalang
Burung semua pengetahuan dan cara yang baik berladang, berburu, melaksanakan
berbagai upacara pesta adat, mengayau, memahami tanda-tanda dan lain
sebagainya. Aturan-aturan inilah yang kemudian diturunkan dan dilaksanakan
dengan setia oleh Suku Iban.
Mitos
ini memperlihatkan bahwa Sengala Burong itu pemimpin dari semua burung pertanda
(pemberi tanda) yang menuntun langkah Siu sampai menemukan ara, kemudian
membuat Siu kehilangan orientasinya sampai ia menemukan rumah panjang kediaman
Sengalang Burong, lalu menikah dengannya. Dalam hal ini maka pohon ara dilihat
sebagai sandi mitologi, yang menandai batas antara dunia hunian manusia dengan
dunia para ilahi.
Di
dalam banyak mitos suku-suku Dayak, kita menemukan bahwa jalan masuk ke dan
jalan keluar dari dunia dilambangkan sebagai sungai atau air dan pohon atau
tonggak. Dari mitos tadi, jalan tersebut adalah pohon ara. Pohon ara ini
merupakan garis batas. Dari sinilah Siu melangkah, meninggalkan lingkungan
manusiawi dan memasuki ilahi, yang dilambangkan pernikahannya dengan puteri
Sengalang Burong. Melalui kelahiran Seragunting, dimulailah genealogi makhluk
mitis dengan kodrat ilahi, yang dalam garis keturunan selanjutnya melahirkan
makhluk mitis dengan kodrat manusiawi sebagai nenek moyang suku Iban. Titik batas
antara dunia ilahi dengan dunia roh di dalam mitos ini dilambangkan secara
teritorial oleh pohon ara dan secara genealogis oleh tokoh Siu.
Kisah Penciptaan Menurut
Suku Dayak Kanayatn
Di
dalam salah satu mitos kejadian alam semesta di kalangan suku Kanayatn
[3], dikisahkan bahwa pusat alam semesta ini ada sebuah “pusaran
air pohon kelapa” (pusat ai’ pauh janggi).
Inilah pohon kehidupan, daripadanyalah segala sesuatu tercipta dan kepadanyalah
semua akan kembali. Di kalangan suku Kanayatn tampaknya yang memegang peranan
penting dalam proses kejadian semesta adalah perkawinan kosmis. Dalam awal
turunan sebuah mitos (Vierling, ibid) dikatakan demikian:
Kubah
langit dan bulan bumi (kulikng langit dua
putar tanah) memperanakkan; Sino Nyandong dan Sino Nyoba, memperanakkan; Si
Nyati puteri bulari dan terpaiwar putera matahari (Si Nyati anak Balo Bulant, Tapancar anak Matahari), memperanakkan;
Kacau Balau dan Badai (iro iro dan Angin
angin)
Dari
penuturan awal ini kelihatan dari perkawinan kosmis pertama, yaitu antara
langit dan bumi muncullah pasangan selanjutnya, yaitu bulan dan matahari, yang
kemudian melalui suatu polarisasi kekerasan melanjutkan proses penciptaan. Dari
salah satu rumus doa persembahan dapat ditemukan suatu fragmen yang melukiskan
keadaan awal yang serasi antara langit dan bumi. “Padamula pertama bumi itu
indah seperti tikar di langit, seperti payung terbuka. Saedo adalah nama bumi
dan Saeda nama langit. Bumi pun berguncang dan langit gemetar.” [4]:
Kacau
Balau dan Badai, memperanakkan; udara mengawang dan embun menggantung (uang-uang dan Gantong Tali)
memperanakkan; Pandai Besi dan Sang Dewi (tukang
Nange dua Malaekat) memperanakkan; Segala air dan segala sungai (Sumarakng ai, sumarakng sunge) memperanakkan;
Bambu dan Pepohonan (Tunggur batukng dua
mara puhutn) memperanakkan; Tumbuhan merambat dan umbi-umbian (Antayut dua Barujut) memperanakkan;
Kesejukan Lumpur dan Tulang Iga (popo’
dan rusuk)
Kemudian
dalam penuturan sejarah yang lain dijelaskan hawa kesejukkan lumpur itu adalah
isteri sedangkan Tulang Iga adalah sang suami. Mereka ini mempunyai anak:
Anterber dan Galeber, yang dianggap sebagai nenek moyang suku Kanayatn
[5].
Kisah Penciptaan Menurut
Suku Dayak Kenyah (Laubscher, 227)
Di
kalangan suku Kenyah ada mitos yang menceritakan bahwa ilahi perempuan yang
bernama Bungan Malan menciptakan manusia dari Kayu Aran (pohon ara). Kayu Aran
tadi baru tercipta menjadi manusia setelah ia dibenihi (dibuntingi) oleh angin
yang masuk ke tanaman merambat melalui sebuah torehan pada kayu aran tadi. Dari
cerita tradisi ini, kayu aran menjadi lambang kehidupan bagi manusia dan
memiliki nama “kayu udiep” (=pohon kehidupan). Dari mitos ini tampak bahwa
angin sebagai daya penggerak yang membawa kehamilan pada kayu aran sebagai
unsur laki-laki, sedangkan kayu aran sebagai unsur perempuan.
Antara
Iban dan Kenyan ada persamaan dalam suatu mitos yang menyangkut Raja Petara
[6]. Dalam mitos ini dikisahkan bagaimana Raja Petara (Raja
Entala) bersama istrinya menciptakan langit dan bumi dari daki yang melekat di
tubuh mereka. Namun rupanya bumi lebih besar daripada langit, sehingga
dijadikannya sungai, gunung, bukit, lembat, dataran, lalu ditumbuhkan
sayur-sayuran, rumput dan pepohohan. Dikatakan pula bahwa Raja Petara bersama
istrinya memiliki pohon pisang yang disebut Pisang Rura. Burong Iri (k)
melayang-layang di atas air. Kemudian mereka ini bersatu (kawin)l dari sinilah
asal mula segala jenis ikan. Kemudian Raja Petara bersama istrinya membentuk
pohon pisang jenis lain dari tongkat akar yang disebut Pisang Bangkit, sepasang
manusia menurut gambar mereka. Untuk darah diambilnya getah pohon Kumpang yang
memang berwarna merah. Istri Raja Petara berseru kepada ciptaannya ini maka
hiduplah mereka. Kedua insan ini, yang laki-laki bernama Telikhu’ dan yang
perempuan bernama Telikhai’.
Kalau
kita bandingkan Pohon Aran di kalangan Suku Kenyah yang mewakili kodrat
perempuan, yang melalui suatu perlakukan seksual dengan angin melahirkan kehidupan,
maka Pisang Rura pada suku Iban ini mewakili prinsip laki-laki yang melalui
perlakuan seksual dengan Burong Iri melahirkan kehidupan.
Pohon
Ara dilihat sebagai asal muasal segala jenis flora, sedangkan Pisang Rura
adalah sumber jenis fauna. Memang secara khusus disebut sebagai keturunan
Pisang Rura adalah jenis ikan dan tidak disebut-sebut jenis binatang lainnya. Dalam
kebudayaan Dayak pada umumnya air atau sungai memegang peranan penting. Hampir di
semua suku ada mitos yang menempatkan air atau sungai sebagai unsur penentu
dalam suatu peristiwa penciptaan. Sebab itu, penghuni sungai mengambil
kedudukan cukup penting.
Raja
Petara di dalam mitos lainnya [7] dilihat sebagai yang tertinggi
dari dunia ikan, yang memputra putri Pulang Gana dan Rajah Jewata. Di mereka
berdua masih terdapat lima bersaudara. Berarti mereka semua ada tujuh
bersaudara. Dalam nomor urut, biasanya pertama yang laki-laki ke perempuan,
demikian seterusnya secara bergiliran. Yang menarik dalam versi ini ialah yang
disebut dengan asal-usul bukanlah yang laki-laki, tetapi perempuan. Hal ini
dapat kita lihat:
a) Putri pertama (anak kedua), Rajah
Jewata, asal makhluk air (fauna di bawah)
b) Putri kedua (anak keempat), Siti
Permain, asal dari tumbuh-tumbuhan (flora darat)
c) Putri ketiga (anak keenam), tanpa
nama, asal dari binatang di darat dan udara (fauna di darat dan udara)
Kisah Penciptaan Menurut
Suku Dayak Ngaju (Kalimantan Tengah)
Menurut
mitos penciptaan Batang Garing [8] dituturkan bahwa pada suatu waktu
penguasa alam atas bernama Ranying Mahatara Langit bersama istrinya Jatawang
Bulau, penguasa alam bawah, sepakat untuk menciptakan dunia, dengan diawali
penciptaan Batanging (pohon kehidupan). Batang, dahan, tangkai, daun,
buah-buahan Batang Garing ini semuanya terdiri dari berbagai jenis logam dan
batu mulia. Jata kemudian melepaskan burung Tingang betina (Enggang betina)
dari sangkar emasnya. Burung itu kemudian terbang, lalu hinggap dan menikmati
buah-buahan Batang Garing. Bersama dengan itu, Mahatara melemparkan keris
emasnya, lalu menjelma menjadi enggang jantan yang disebut Tembarirang. Tembarirang
ini pun hinggap dan menikmati buah-buahan Batang Garing. Kedua burung Tingang
lain jenis ini saling iri dan cemburu. Akhirnya terjadi perang suci. Pertempuran
maha dasyat ini menghacurkan Batang Garing dan kedua burung itu sendiri. Dari keping-keping
kehancuran inilah tercipta kehidupan baru, alam semesta dan segala jenisnya.
Dari
kehancuran tadi tercipta pula sepasang insan. Sang wanita bernama “Putri
Kahukum Bungking Garing” (Putri dari Kepinagan Garing) dan sang pria bernama “Menyamei
Limut Garing Balua Unggon Tingang” (Sari Pohon Kehidupan yang dipatahkan oleh
Tingang). Masing-masing insan ini memperoleh perahu: untuk sang wanita perahu
brenama Bahtera Emas (Banama Bulau), dan untuk sang pria perahu bernama Bahtera
Intan (Banama Hintan). Kedua insan ini kemudian menikah dan mendapatkan
keturunan pertama berupa babi, ayam, kucing dan anjing. Keturunan kedua
berwujud manusia, yaitu Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen dan Maharaja Buno. Melewati
beberapa peristiwa, akhirnya ditetapkan bahwa putra pertama, Maharaja Sangiang
menempati alam atas, tinggal berama Ranying Mahatara Langit, dan merupakan asal
usul segala Sangiang (Para Dewa). Putra kedua, Maharaja Sangen mendiami suatu
daerah bernama Batu Nindan Tarung, yang menjadi sumber segala kepahlawanan. Sedangkan
Putra ketiga, Maharaja Buno menempati bumi, dan menjadi moyang pertama manusia.
Sejumlah
mitos yang telah dipaparkan secara ringkas memperlihatkan satu raut persamaan
yang sangat mencolok, bahwa seluruh proses penciptaan terjadi menurut
Perkawinan Kosmis. Prinsip-prinsip maskulin selalu didampingi oleh yang
feminin, apakah itu dilambangkan dalam wujud burung, pohon ataupun bulan,
matahari dan sebagainya. Di pihak lain, kita menemukan pula suatu sisi yang
memperlihatkan proses penciptaan itu terjadi melalui polarisasi, pertentangan
ataupun perbenturan: kehidupan – kehancuran kehidupan. Tetapi mitos penciptaan
tidak hanya melalui suatu perkawinan kosmik tetapi ada pula yang memperlihatkan
tradisi lain. Sebagai contoh kita lihat mitos di kalangan suku Kanayatn
[9] yang mengisahkan bahwa suatu ketika Moyang Maha Penguasa
bersin maka terciptalah danau/air amutn
(embun) dan danau/air duniang. Amutn adalah perempuan dan Duniang adalah
laki-laki. Kemudian ia bersin lagi, lalu terjadilah kabut embun (perempuan) dan
kerangka daun (laki-laki). Ia bersin-bersin maka terjadilah lautan yang paling
indah. Maka terjadilah bahwa kabut embun mengendap di suatu pulau datar dan
mengembang menjadi suatu tubuh, sedangkan kerangka daun melekat di sebuah
gunung dan mengereas menjadi tulang. Lagi-lagi ia bersin dan terjadilah
kesejukan lumpur dan tulang daun, anak-anak perempuan dan anak-anak laki-laki. Di
dalam tradisi ini, tidak ditemukan perlakuan seksual antara pasangan. Si Pencipta
menjadikan manusia melalui bersin yang maha dahsyat. Dalam mitos ini,
penciptaan terbebas dari konsep perkawinan kosmis. Namun yang tercipta itu
tetap berada dalam pasangan perempuan dan lelaki.
Foot note:
[1] (Mattias Leubscher. 1977,222)
[2] (Mattias Leubscher. 1977,224-225)
[3] (Herman Vierling. 1990,117)
[4] (Herman Vierling. 1990,208)
[5] (Herman Vierling. 1990,209)
[6] (Mattias Leubscher. 1977,227-229)
[7] (Mattias Leubscher. 1977,Ibid)
[8] (Fridolin Ukur. 1871. 35-37)
[9] (Herman Vierling. 1990,213-214)
Daftar Rujukan:
[1]] Leubscher, Mattias. 1977. Iban und Ngaiu: Kog nitive Studie Zu Konvergenzen in Weltbild und Mythos. Tom Harrison zur Gedaechtenis.
[2] Ukur, Fridolin. 1871. Tantang Jawab Suku Dayak. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
[3] Vierling, Herman. 1990. Hermeneutik Stammeresreligion, Interkulturelle Komunikation bei den Kendayan, Goetersloher Verlaghaus, Gerd Mohn.