Franciscus Conradus Palaunsoeka merupakan seorang guru di salah satu sekolah Katolik di Kalimantan Barat. Atas desakan berulang kali dari Pastor Adikarjana SJ, seorang biarawan pribumi yang lolos dari sekapan tentara Jepang, Palaunsoeka pada saat itu mendirikan Dayak In Action (DIA) pada tanggal 30 Nopember 1945.
DIA kemudian berubah menjadi Partai Persatuan Dayak (PPD) tahun 1946. Lewat PPD, Palaunsoeka kemudian menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selama 37 tahun, sejak periode 22 Desember1948 hingga 26 Maret 1988.
Pada tahun 1963, PPD resmi dibubarkan karena tidak mencapai ketentuan minimal pada saat itu yaitu berada pada 5 provinsi. Kemudian Palaunsoeka bergabung dengan Partai Katolik, sehingga menghantarkannya mengenal banyak tokoh nasional.
Saat menjadi anggota DPR, Palaunsoeka bersama Frans Seda, Jacob Oetama, PK Ojong, dan lain-lain mendirikan Harian Pagi Kompas, atas anjuran Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani dan disetujui Presiden Soekarno pada 28 Juni 1965.
Saat itu, cikal bakal mendirikan Harian Pagi Kompas bertujuan mengimbangi agitasi Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui Harian Rakjat.
Saat pertama kali terbit, jabatan Palaunsoeka di Harian Kompas adalah Penulis I, sedangkan Jacob Oetama sebagai Penulis II yang sekarang setara dengan Pemimpin Redaksi.
Pada masa itu, persyaratan untuk mendirikan sebuah surat kabar bukan hal yang gampang. Pemberian izin penerbitan Harian Kompas harus memenuhi persyaratan 3.000 pelanggan terlebih dahulu.
Pemimpin redaksi atau ketika itu disebut Ketua Tim Penulis diketuai oleh Palaunsoeka. Awalnya, Harian Kompas yang diusulkan dengan nama Bentara Rakyat diganti Presiden Soekarno dengan nama Kompas.
Dalam perjalanannya Harian Kompas pernah dilarang terbit (dibredel) karena memberitakan peristiwa G30S PKI dan aksi-aksi demonstrasi mahasiswa.
Lantaran sibuk di bidang politik bersama Frans Seda, Palaunsoeka kemudian meninggalkan Harian Kompastahun 1970. Lima tahun kemudian, terhitung pada tahun 1975 hingga 1982, Palaunsoeka menjadi staf ahli Badan Intelijen Negara (BIN) yang secara khusus sebagai tenaga analis pergerakan komunis di Eropa Timur.
Palaunsoeka juga disebutkan sebagai salah satu politisi yang dipercaya Presiden Soeharto membantu proses integrasi Timor Timur menjadi provinsi Indonesia ke-27 pada tahun 1975. Kiprah Palaunsoeka di bidang politik, dapat dijadikan panutan bagi generasi penerus, karena dinilai tidak tamak akan kekuasaan.
Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat, DR Clarry Sada, mengatakan, dari buku biografi Palaunsoeka, banyak hal-hal yang selama ini belum diketahui masyarakat luas.
Sejarah yang belum terungkap di antaranya, pada tanggal 18 Nopember 1959, Palaunsoeka pernah mengirim surat kepada Gubernur Kalimantan Tengah Tjilik Riwut agar mendukung Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray untuk diangkat kembali menjadi Gubernur Kalimantan Barat. JC Oevaang Oeray pun akhirnya menjadi Gubernur Kalimantan Barat pertama selama enam tahun (1960 – 1966).
Tahun 1976, ketika masih menjadi anggota DPR dan merangkap menjadi staf ahli BIN, Palaunsoeka pernah menolak tawaran Presiden Soeharto menjadi Duta Besar Indonesia di Meksiko, sehingga pilihan kemudian jatuh kepada Benedictus Mang Reng Say.
Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto pasca-peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) berdampak pada pemberhentian JC Ovaang Oeray sebagai Gubernur Kalimantan Barat. Pemberhentian tersebut karena dianggap sebagai pendukung setia Presiden Soekarno atau Soekarnois.
Kriminalisasi terhadap Bapak J Ovaang Oeray dapat dieliminir oleh Palaunsoeka karena hubungan baiknya dengan petinggi TNI dan Polri pada saat itu. Ovaang Oeray kemudian dibebaskan dan tidak diproses secara hukum
Palaunsoeka wafat pada 12 Agustus 1993 di Pontianak. Peluncuran buku tersebut bertepatan dengan hari lahirnya, sebagai ungkapan terima kasih pihak keluarga sekaligus mengenang jasa almarhum.