Ilustrasi Burung Enggang Gading |
Kisah Penciptaan Menurut Suku Iban
Pada
awal mulanya yang ada hanya ada air (laut) asali. Di atas laut asali ini
melayang-layang Ara dan Iri, dua keilahian yang mengambil rupa dua ekor burung,
laki-laki dan perempuan, jantan dan betina. Secara bersama Ara dan Iri
menciptakan dua substansi berbentuk telur raksasa. Dari kedua telur raksasa ini
tercipta langit dan bumi [1]. Nama Ara di sini dapat berarti:
mengembara, berkelana, keluyuran; pohon ara (sejenis Ficus indicus), menabur atau menyebarkan.
Dalam
hubungan antara pohon dengan burung, ada sebuah mitos yang menuturkan tentang
Sengalang Burong [2]. Dituturkan tentang seorang bernama Siu
yang pergi berburu sepanjang hari tanpa mendapat seekor burungpun. Ketika hari
sudah mulai malam ia menemukan sebatang pohon ara liar. Di situ hinggap banyak
sekali burung yang belum pernah ia kenal selama ini. Segera ia mengumpulkan
burung-burung itu sebanyak mungkin, hampir-hampir tak bisa dipikulnya, dan ia
bermaksud datang kembali setelah burung yang dikumpulkannya itu dibawanya
pulang. Namun, dalam perjalanan pulang ia tersesat dan akhirnya sampai ke
sebuah rumah panjang yang hanya dihuni oleh seorang wanitam puteri Sengalang
Burong. Siu diterima dan diwajibkan berjanji untuk tidak menceritakan kepada
siapa pun tentang rumah panjang itu, yang adalah miliki Sengalang Burong. Atas perjanjian
itu, mereka menjadi suami istri. Putera mereka bernama Seragunting, juga
disebut Surong Gunting. Kepada Seragunting inilah kemudian diturunkan oleh Sengalang
Burung semua pengetahuan dan cara yang baik berladang, berburu, melaksanakan
berbagai upacara pesta adat, mengayau, memahami tanda-tanda dan lain
sebagainya. Aturan-aturan inilah yang kemudian diturunkan dan dilaksanakan
dengan setia oleh Suku Iban.
Mitos
ini memperlihatkan bahwa Sengala Burong itu pemimpin dari semua burung pertanda
(pemberi tanda) yang menuntun langkah Siu sampai menemukan ara, kemudian
membuat Siu kehilangan orientasinya sampai ia menemukan rumah panjang kediaman
Sengalang Burong, lalu menikah dengannya. Dalam hal ini maka pohon ara dilihat
sebagai sandi mitologi, yang menandai batas antara dunia hunian manusia dengan
dunia para ilahi.
Di
dalam banyak mitos suku-suku Dayak, kita menemukan bahwa jalan masuk ke dan
jalan keluar dari dunia dilambangkan sebagai sungai atau air dan pohon atau
tonggak. Dari mitos tadi, jalan tersebut adalah pohon ara. Pohon ara ini
merupakan garis batas. Dari sinilah Siu melangkah, meninggalkan lingkungan
manusiawi dan memasuki ilahi, yang dilambangkan pernikahannya dengan puteri
Sengalang Burong. Melalui kelahiran Seragunting, dimulailah genealogi makhluk
mitis dengan kodrat ilahi, yang dalam garis keturunan selanjutnya melahirkan
makhluk mitis dengan kodrat manusiawi sebagai nenek moyang suku Iban. Titik batas
antara dunia ilahi dengan dunia roh di dalam mitos ini dilambangkan secara
teritorial oleh pohon ara dan secara genealogis oleh tokoh Siu.
Kisah Penciptaan Menurut
Suku Dayak Kanayatn
Di
dalam salah satu mitos kejadian alam semesta di kalangan suku Kanayatn
[3], dikisahkan bahwa pusat alam semesta ini ada sebuah “pusaran
air pohon kelapa” (pusat ai’ pauh janggi).
Inilah pohon kehidupan, daripadanyalah segala sesuatu tercipta dan kepadanyalah
semua akan kembali. Di kalangan suku Kanayatn tampaknya yang memegang peranan
penting dalam proses kejadian semesta adalah perkawinan kosmis. Dalam awal
turunan sebuah mitos (Vierling, ibid) dikatakan demikian:
Kubah
langit dan bulan bumi (kulikng langit dua
putar tanah) memperanakkan; Sino Nyandong dan Sino Nyoba, memperanakkan; Si
Nyati puteri bulari dan terpaiwar putera matahari (Si Nyati anak Balo Bulant, Tapancar anak Matahari), memperanakkan;
Kacau Balau dan Badai (iro iro dan Angin
angin)
Dari
penuturan awal ini kelihatan dari perkawinan kosmis pertama, yaitu antara
langit dan bumi muncullah pasangan selanjutnya, yaitu bulan dan matahari, yang
kemudian melalui suatu polarisasi kekerasan melanjutkan proses penciptaan. Dari
salah satu rumus doa persembahan dapat ditemukan suatu fragmen yang melukiskan
keadaan awal yang serasi antara langit dan bumi. “Padamula pertama bumi itu
indah seperti tikar di langit, seperti payung terbuka. Saedo adalah nama bumi
dan Saeda nama langit. Bumi pun berguncang dan langit gemetar.” [4]:
Kacau
Balau dan Badai, memperanakkan; udara mengawang dan embun menggantung (uang-uang dan Gantong Tali)
memperanakkan; Pandai Besi dan Sang Dewi (tukang
Nange dua Malaekat) memperanakkan; Segala air dan segala sungai (Sumarakng ai, sumarakng sunge) memperanakkan;
Bambu dan Pepohonan (Tunggur batukng dua
mara puhutn) memperanakkan; Tumbuhan merambat dan umbi-umbian (Antayut dua Barujut) memperanakkan;
Kesejukan Lumpur dan Tulang Iga (popo’
dan rusuk)
Kemudian
dalam penuturan sejarah yang lain dijelaskan hawa kesejukkan lumpur itu adalah
isteri sedangkan Tulang Iga adalah sang suami. Mereka ini mempunyai anak:
Anterber dan Galeber, yang dianggap sebagai nenek moyang suku Kanayatn
[5].
Kisah Penciptaan Menurut
Suku Dayak Kenyah (Laubscher, 227)
Di
kalangan suku Kenyah ada mitos yang menceritakan bahwa ilahi perempuan yang
bernama Bungan Malan menciptakan manusia dari Kayu Aran (pohon ara). Kayu Aran
tadi baru tercipta menjadi manusia setelah ia dibenihi (dibuntingi) oleh angin
yang masuk ke tanaman merambat melalui sebuah torehan pada kayu aran tadi. Dari
cerita tradisi ini, kayu aran menjadi lambang kehidupan bagi manusia dan
memiliki nama “kayu udiep” (=pohon kehidupan). Dari mitos ini tampak bahwa
angin sebagai daya penggerak yang membawa kehamilan pada kayu aran sebagai
unsur laki-laki, sedangkan kayu aran sebagai unsur perempuan.
Antara
Iban dan Kenyan ada persamaan dalam suatu mitos yang menyangkut Raja Petara
[6]. Dalam mitos ini dikisahkan bagaimana Raja Petara (Raja
Entala) bersama istrinya menciptakan langit dan bumi dari daki yang melekat di
tubuh mereka. Namun rupanya bumi lebih besar daripada langit, sehingga
dijadikannya sungai, gunung, bukit, lembat, dataran, lalu ditumbuhkan
sayur-sayuran, rumput dan pepohohan. Dikatakan pula bahwa Raja Petara bersama
istrinya memiliki pohon pisang yang disebut Pisang Rura. Burong Iri (k)
melayang-layang di atas air. Kemudian mereka ini bersatu (kawin)l dari sinilah
asal mula segala jenis ikan. Kemudian Raja Petara bersama istrinya membentuk
pohon pisang jenis lain dari tongkat akar yang disebut Pisang Bangkit, sepasang
manusia menurut gambar mereka. Untuk darah diambilnya getah pohon Kumpang yang
memang berwarna merah. Istri Raja Petara berseru kepada ciptaannya ini maka
hiduplah mereka. Kedua insan ini, yang laki-laki bernama Telikhu’ dan yang
perempuan bernama Telikhai’.
Kalau
kita bandingkan Pohon Aran di kalangan Suku Kenyah yang mewakili kodrat
perempuan, yang melalui suatu perlakukan seksual dengan angin melahirkan kehidupan,
maka Pisang Rura pada suku Iban ini mewakili prinsip laki-laki yang melalui
perlakuan seksual dengan Burong Iri melahirkan kehidupan.
Pohon
Ara dilihat sebagai asal muasal segala jenis flora, sedangkan Pisang Rura
adalah sumber jenis fauna. Memang secara khusus disebut sebagai keturunan
Pisang Rura adalah jenis ikan dan tidak disebut-sebut jenis binatang lainnya. Dalam
kebudayaan Dayak pada umumnya air atau sungai memegang peranan penting. Hampir di
semua suku ada mitos yang menempatkan air atau sungai sebagai unsur penentu
dalam suatu peristiwa penciptaan. Sebab itu, penghuni sungai mengambil
kedudukan cukup penting.
Raja
Petara di dalam mitos lainnya [7] dilihat sebagai yang tertinggi
dari dunia ikan, yang memputra putri Pulang Gana dan Rajah Jewata. Di mereka
berdua masih terdapat lima bersaudara. Berarti mereka semua ada tujuh
bersaudara. Dalam nomor urut, biasanya pertama yang laki-laki ke perempuan,
demikian seterusnya secara bergiliran. Yang menarik dalam versi ini ialah yang
disebut dengan asal-usul bukanlah yang laki-laki, tetapi perempuan. Hal ini
dapat kita lihat:
a) Putri pertama (anak kedua), Rajah
Jewata, asal makhluk air (fauna di bawah)
b) Putri kedua (anak keempat), Siti
Permain, asal dari tumbuh-tumbuhan (flora darat)
c) Putri ketiga (anak keenam), tanpa
nama, asal dari binatang di darat dan udara (fauna di darat dan udara)
Kisah Penciptaan Menurut
Suku Dayak Ngaju (Kalimantan Tengah)
Menurut
mitos penciptaan Batang Garing [8] dituturkan bahwa pada suatu waktu
penguasa alam atas bernama Ranying Mahatara Langit bersama istrinya Jatawang
Bulau, penguasa alam bawah, sepakat untuk menciptakan dunia, dengan diawali
penciptaan Batanging (pohon kehidupan). Batang, dahan, tangkai, daun,
buah-buahan Batang Garing ini semuanya terdiri dari berbagai jenis logam dan
batu mulia. Jata kemudian melepaskan burung Tingang betina (Enggang betina)
dari sangkar emasnya. Burung itu kemudian terbang, lalu hinggap dan menikmati
buah-buahan Batang Garing. Bersama dengan itu, Mahatara melemparkan keris
emasnya, lalu menjelma menjadi enggang jantan yang disebut Tembarirang. Tembarirang
ini pun hinggap dan menikmati buah-buahan Batang Garing. Kedua burung Tingang
lain jenis ini saling iri dan cemburu. Akhirnya terjadi perang suci. Pertempuran
maha dasyat ini menghacurkan Batang Garing dan kedua burung itu sendiri. Dari keping-keping
kehancuran inilah tercipta kehidupan baru, alam semesta dan segala jenisnya.
Dari
kehancuran tadi tercipta pula sepasang insan. Sang wanita bernama “Putri
Kahukum Bungking Garing” (Putri dari Kepinagan Garing) dan sang pria bernama “Menyamei
Limut Garing Balua Unggon Tingang” (Sari Pohon Kehidupan yang dipatahkan oleh
Tingang). Masing-masing insan ini memperoleh perahu: untuk sang wanita perahu
brenama Bahtera Emas (Banama Bulau), dan untuk sang pria perahu bernama Bahtera
Intan (Banama Hintan). Kedua insan ini kemudian menikah dan mendapatkan
keturunan pertama berupa babi, ayam, kucing dan anjing. Keturunan kedua
berwujud manusia, yaitu Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen dan Maharaja Buno. Melewati
beberapa peristiwa, akhirnya ditetapkan bahwa putra pertama, Maharaja Sangiang
menempati alam atas, tinggal berama Ranying Mahatara Langit, dan merupakan asal
usul segala Sangiang (Para Dewa). Putra kedua, Maharaja Sangen mendiami suatu
daerah bernama Batu Nindan Tarung, yang menjadi sumber segala kepahlawanan. Sedangkan
Putra ketiga, Maharaja Buno menempati bumi, dan menjadi moyang pertama manusia.
Sejumlah
mitos yang telah dipaparkan secara ringkas memperlihatkan satu raut persamaan
yang sangat mencolok, bahwa seluruh proses penciptaan terjadi menurut
Perkawinan Kosmis. Prinsip-prinsip maskulin selalu didampingi oleh yang
feminin, apakah itu dilambangkan dalam wujud burung, pohon ataupun bulan,
matahari dan sebagainya. Di pihak lain, kita menemukan pula suatu sisi yang
memperlihatkan proses penciptaan itu terjadi melalui polarisasi, pertentangan
ataupun perbenturan: kehidupan – kehancuran kehidupan. Tetapi mitos penciptaan
tidak hanya melalui suatu perkawinan kosmik tetapi ada pula yang memperlihatkan
tradisi lain. Sebagai contoh kita lihat mitos di kalangan suku Kanayatn
[9] yang mengisahkan bahwa suatu ketika Moyang Maha Penguasa
bersin maka terciptalah danau/air amutn
(embun) dan danau/air duniang. Amutn adalah perempuan dan Duniang adalah
laki-laki. Kemudian ia bersin lagi, lalu terjadilah kabut embun (perempuan) dan
kerangka daun (laki-laki). Ia bersin-bersin maka terjadilah lautan yang paling
indah. Maka terjadilah bahwa kabut embun mengendap di suatu pulau datar dan
mengembang menjadi suatu tubuh, sedangkan kerangka daun melekat di sebuah
gunung dan mengereas menjadi tulang. Lagi-lagi ia bersin dan terjadilah
kesejukan lumpur dan tulang daun, anak-anak perempuan dan anak-anak laki-laki. Di
dalam tradisi ini, tidak ditemukan perlakuan seksual antara pasangan. Si Pencipta
menjadikan manusia melalui bersin yang maha dahsyat. Dalam mitos ini,
penciptaan terbebas dari konsep perkawinan kosmis. Namun yang tercipta itu
tetap berada dalam pasangan perempuan dan lelaki.
Foot note:
[1] (Mattias Leubscher. 1977,222)
[2] (Mattias Leubscher. 1977,224-225)
[3] (Herman Vierling. 1990,117)
[4] (Herman Vierling. 1990,208)
[5] (Herman Vierling. 1990,209)
[6] (Mattias Leubscher. 1977,227-229)
[7] (Mattias Leubscher. 1977,Ibid)
[8] (Fridolin Ukur. 1871. 35-37)
[9] (Herman Vierling. 1990,213-214)
Daftar Rujukan:
[1]] Leubscher, Mattias. 1977. Iban und Ngaiu: Kog nitive Studie Zu Konvergenzen in Weltbild und Mythos. Tom Harrison zur Gedaechtenis.
[2] Ukur, Fridolin. 1871. Tantang Jawab Suku Dayak. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
[3] Vierling, Herman. 1990. Hermeneutik Stammeresreligion, Interkulturelle Komunikation bei den Kendayan, Goetersloher Verlaghaus, Gerd Mohn.
Kisah Penciptaan Alam Semesta Menurut Suku Dayak
ADAT MATIView Kuburan Dayak Engkadin
Kalau urang lawang merintah huluan menyioh
Yang
pertame adelah urang di jalanan lanjat locang susol alam, sumpetan kate di buhu
tembilaan di punggong bahwe mengatean, urang mati hilang rusak patah, darah
pulang ke kumpang napas pulang ke angen.
Setelah
diadean lanjat locang susol alam ke wak adi dulor sanak yang berkoetan di
kampung laen laman bukan, barok diadean turok himpor bujor pojam, baroklah
dirancang lancang rarong lapek alas
sarong berangke, setelah jadi lapek alas sarong berangke kerene nye’e Domong, diulahlah ukom katenye besohet
mati katenye bepampai, jadi di dalam ukom besohet mati bepampai, kerene nye’e
lawang kate merintah kehuluon nye’e menyioh, ke pucok nye’e meulor kebabah nye’e
membuat, diulahlah gantang katenye tinggi sifat katenye raye, tajau hondak
besopoh koyen hondak beragi.
Biasenye
kalau domong hukom sohet mati pampainye, adelah yang disobot huropannye:
v 3 koti atau
tajau sembilan
Uan sengkolan pepalet:
v Manok burong, tuak
tambol, pinggan mangkok, cukop segale sampon semue.
Kerene nye’e lawang merintah huluan menyioh, dengan
ketentuan adat hukom sohet mati pampai adelah:
v 3 koti ata tajau
sembilan
Ditontuan pade hari malamnye, ditontuan kepade waktunye
itulah urang lawang merintah huluan menyioh, udah sampai mayat kate tekubor
bangkai kate tepondam, itu jugak maseh diadean uyong unsi 3 hari 3 malam, maseh
keluar makan pakai, undang suap, lowok lulu, rompah gangannye, tidak kurang
kate sepatah, tidak cupat kate sebigek, itu adelah adat urang mati hilang rusak
patah, sobabnye yang lawang merintah hulum menyioh, tetapi kalau urang hanye ke
hulu mudik ke hilik undor lawang perintah haluan siohon adatnye adelah Sekuti 5 Lese atau paleng tinggi 2 kuti, itu pon diliat dari ulah gawi tempe jawatan lapek alas sarong
perangke ade peringkatnye.
Di dalam sengkolan pepalet manok burong, tuak tambolnye,
andai kate lampek alas sarong perangkenye terbuat dari kayu lompong itu
hanyelah Manok 5 (lime). Tetapi kalo
dari belian sengolan pepaletnye Manok 7
(tujoh), itulah sengkolan pepalet urang mati rusak patah, yang sifatnye
urang hanya lawang perintah huluan siohon hulu mudik ke hilik undor.
Akan tetapi walaupon nye’e hanye lawang perintah huluan
siohan, hanye galah kate menajak ke pengayoh katenye mengibaran, kalau minum
tuhe kayas, mati kene sudah belantek, tidak mati lantaran nye’e saket, sarak
lantaran beconggel, itu juga peringkatnye cukop bosar yaitu 9 koti atau 12 buah tajau.
Adat Mati Suku Dayak Engkadin (Bahasa Engkadin)
Adat Nikah Suku Dayak Engkadin |
Adat Menobas Tanah Menube Aek
Yang pertame kita adean adat sapat tohon, tohon betokok musim belipat atau adat sapat tohon, berarti lakau hondak
menobas, rumah hondak menajak, yang diadean di bulan 3 (tige/tiga). Setelah
diadean ritual ke Duate, kite menalau ke sengiang kite menyorok tanah hondak
bepadi lontan hondak bepulot, itu dilaksanean oleh urang yang disobot Belian Duate.
Setelah diadean adat Sapat Tohon yang disobot juga’ labeh seperupak pincong oleh Belian Duate, kemudian diadean memanggor mburongan tanah akai tanah
bepadi lontan bepulot, hundang besayang, robong bepucok, aek be’ikan, setelah
selosai melaksanean adat Sapat Tohon, baroklah ke kayu kite buleh menobas, ke
akar kite buleh memincap, ke kayu buleh menobang, bearti kite menobang menobas,
meulah laku hume.
Setolah kemarau panjang solatan beupupot, baroklah kite
mencucol meanggor, meadean lakau di ladang, hutan disokat golak api menorak ke
rimbe ke ruyon, golak api menorak ke hutan, hutan be sitan, tanah begane,
lubang langkang, aek bulan, batu bosar, kruaye tinggi golak jadi barau bahop,
barau binase, tanah cade bepadi lontan cade be pulot.
Mencucol kite minte kompos, tugal minte terinsap,
baroklah menugal menujak, menugal mematar tanah, memboneh mbilang lubang,
kurang pemboneh tulong penugal, kurang penugal tulong pemboneh, setolah cukup
umur padi, kurang lobeh sebulan barok kite meadean tobos menyangsang, golak padi kite kene pangau bongas, lomeng
kepuyu, hulat karau, kene barau bahop, barau binase, tugal kate dibasok habu
dibalek, setolah onan kite menungguan tohon
kate tesantang, musim kate temakan, barok kite meadean Adat Makan Tohon.
Di situ kite mematek porang beliong, meonjok hutang
membayar duse, tohop kate tesantang, musim kate kite temakan, belakau kite
dapat padi, berumah kite buleh rogak, setelah kite melaksanakan adat makan
tohon, buat kate kerogak, padi kate kite jurong artinye itu disobot meunjang semangat
padi, yaitu akai diburi dolat berokat, akai dimakan tidak tuhu habes, diutek
tidak tuhu luak.
Itulah jonjangan adat Belakau Behume Betohon Betongah, ke Lakau kite menobas ke rumah kite menajak.
2.
Adat Menajak Rumah
Ke tihang Menajak, Ke tungkat Merancong.
Saat kite hondak menujak rumah, diulah tampung tawar mate
kunyet. Dalam pelaksanean menajak rumah, kite tanam temiang tubuh salah,
sengkubak tohek bosi, golak tekene ke hutan besitan, tanah begane, lubang
langkang aek bulan, batu bosar kruaye tinggi, golak idok tidak dapat ninde,
makan tidak dapat konyang.
Setolah rumah ditajak tihang dirancong, kite adean Adat Menoyeki Rumah, diadean sengkolan pepaleet artinye diadean adat
jalan gondar ke titian tajau kete besopoh koyet beragi, kemudian kite adean
begondang betaboh memangkong ke tetawak, berareh ke gamalan, memukol ke
gondang. Kemudian diadean begolar belangke dan sengkolan pepalet.
Kalau rumah semerge belian songkalannye manok 2 x 7 : 14, setolah manok dibunoh tampong tawar di ator,
barok kite measal belian, asal belian adelah belian tulang tanah lambe langkang ari anggai sidi belian jage
belian, urang betinjang bangkai bongkak, urang bediri bangkai mati. Kemudian
diadean lagek sengkolan pepalet yaitu rumah dibunoh golaknye menyakit memboji,
golakye melaye melepe, baroklah diadean begolar belangke, diulah tomang
kiyamber barok besuroh adat jalan gondar ketitian, kepade dukon yang menoyeki
rumah/membunoh rumah.
Dengan ukoran Tajau sebuah (1), koyen selambar (1), Beliong seputengan (1), Manok seikok (1), itulah adat menoyeki rumah.
3.
Adat Nikah Kawen Konsal Jadi
Hondak Dipejadi Olay Diperasak, Kayu Bepenyundong Akar
Bepelompat, Hondak Urang Due Olay Urang Seurang.
Yang pertame adelah pinte pinang tawar unos, royeh
pangkot utek ambek dari sebolah lelaki, jadi diadeanlah sireh behemboyang
pinang pinang penggatop, dengan barang pakai anggauan artinye golang, cincin, pupor bincu. Dikumpolanlah
kampong sebuah domong manter, sirah dedalah, wali pemili, anak apang, bahwe
urang tersebut adelah urang kaye kate bepenyundong akar bepelompai, punye
kombang karong bunge mate.
Setolah onan dari pihak kampong, dari pihak domong, bulak
dapat membonaran, tabar dapat membisean, kerena nampak sudah besandu, torang
sudah besuloh kemudian dipetunangan dan diadeanlah sebuah perjanjian, kalau
batal:
v Dari pihak
betine hukumnye :
Tajau 4 (ompat) buah
v Dari pihak
lelaki hukumnye :
Tajau 4 (ompat) buah
Kalau seandai kate
buntak balang kepalang, lancang balek di api.
Yang kedue diadean lagek janji semaye bahwe, nikah kawen
onsal jadi, manok kate dimatian, tuak kate ditumpahan, dengan sekian bulan atau
sekian ari, sohet gantong paku lantak. Udah
pade saatnye urang hondak udah bise dipejadi, urang olay sudah diperasak,
diadean manok kate mati tuak kate tumpah, jalan ke rumah, aek ke buket, ke
pucok udah bekesamboran, kebabah udah bekelombahan di situ juga diburi sanksi:
v Kalau membuang
dari betine hukumnye Tajau 4 (ompat) buah
v Kalau membuang
dari lelaki hukumnye Tajau 4 (ompat) buah.
Kerene ape sebab kate hondak urang 2 (due); olay urang
seurang, buloh due kayok mengke bekisel, golang 2 (due) bontok mangke besontek,
itulah di urang totak tongah bagi due. Tetapi kalau andai kate nasek licak gangan tabai itu prosesnye
adelah lain lagek hukumnye pade yang ditontuan di nikah kawen konsal jadi, itu
ade pertimbangan-pertimbangan kusos sesuai uan ape kesalahan dalam rumah
tangge.
Begitu jugak di dalam nikah kawen konsal jadi, andai kate
urang lontan di kalang powoh dibolah hanyelah sohet seci pakau genggalang,
tetapi kalau urang sumbang salah bingkok kilas, yang pertame sumbang hondak
diupas, hantuan hontak ditetambei itu meningkat.
Adat Hidup Suku Dayak Engkadin (Bahasa Engkadin)
Pada saat itu, ada semacam sayembara atau pemberitaan mengenai peperangan kecil. Orang yang disebut sebagai Panglima Rangge Cucoh tersebut memenangkan sayembara yang diadakan di Sanggau. Selanjutnya, orang Kengkodian kemudian pindah ke Belian Lokoh.
Di sana lahir pula seorang yang disebut sebagai Pang Campoy. Selanjutnya, dua orang tersebut yakni Panglima Cucoh dan Pang Campoy bergabung menjadi satu komunitas. Disebutkan bahwa Cucoh memiliki gelar Rangge Cucoh sementara Campoy bergelar Pang Campoy.
Pang Campoy juga merupakan seorang panglima karena berhasil menumpas pengayau (pencari kepala). Di zaman itu, orang Kengkodian sering diserang pengayau atau orang yang membunuh untuk mencari kepala. Oleh karena Pang Campoy, tidak ada satupun orang Kengkodian yang gugur dalam pertempuran. Malahan, para pengayau tersebut yang habis ditumpas. Maka dari itu, setiap kali Pang Campoy menumpas pengayau, ditaruhnyalah kepala para pengayau itu dan digantung di Belian Kikipan. Hingga saat ini, Belian Kikipan tersebut masih ada dan dapat ditemukan bukti batang beliannya di bagian kiri hulu Sungai Kasai.
Setelah Rangge Cucoh dan Pang Campoy bersatu, orang Kengkodian berpindah kampung halaman ke Tembawang Longkay. Saat itu, orang Kengkodian memiliki pantangan. Sungai Batang Kengkodian tidak bisa atau tidak boleh dituba’ (diracun untuk mencari ikan). Akan tetapi, karena ada kesepakatan dari beberapa orang Kengkodian yang tidak percaya akan pantangan tersebut, dituba’lah Sungai Batang Kengkodian tersebut. Pada saat menuba’, tidak ada satupun ikan yang mati. Yang cukup mengherankan adalah munculnya ular sawa’ yang muncul dari sungai karena keracunan. Maka dari itu, ular sawa’ itu kemudian dijadikan lauk dan disantap oleh semua orang Kengkodian yang saat itu sedang menuba’. Jadi ular sawa’ itu dipukul kepalanya dan dibawa ke Jelapang Jurong. Naasnya, sebanyak orang Kengkodian yang makan ular sawa’ itu, tidak ada satupun yang hidup setelah memakannya.
Syukurnya, masih ada satu keluarga penduduk kampung yang di Lakau. Mereka inilah yang memberi tahu kepada orang kampung bahwa orang-orang Kengkodian tewas setelah memakan ular sawa’ yang telah dituba’ dari Sungai Batang Kengkodian. Sejak saat itu hingga saat ini, Sungai Batang Kengkodian tidak boleh atau dilarang untuk dituba’.
Setelah itu, orang Kengkodian yang tersisa, pindah lagi dari Tembawang Longkay ke Senibung Tanah Tarah Silengan Titi Ganjek (atau sekarang disebut Laman Tuhe). Orang ramai berduyun-duyun menggunakan sampan hingga tiga buah. Semuanya penuh berisikan laki-laki dan perempuan masing-masing tiga puluh orang laki-laki dan tiga puluh orang perempuan.
Selanjutnya, orang Kengkodian pindah kampung lagi ke sebuah tempat yang disebut kampung Tanjung Pandan (Laman Lambat). Sampai sekarang orang Kengkodian hidup bersama, bertempat tinggal di sisi sungai Batang Kengkodian atau Dimare Kasay yang saat ini disebut sebagai Engkadin. Itulah asal usul kampung atau perdukuhan orang Kengkodian sejak dahulu hingga saat ini dari kampung halamannya hingga orang-orangnya.
Daftar Rujukan:
[1] Petinggi Adat Dayak Dusun Engkadin, 2019. Adat dan Hukum Adat Dayak Tayap Sekayok Sub Suku Dayak Dusun Engkadin. DAD Tayap: Nanga Tayap
Asal Usul Orang Engkadin (Kengkodian), Nanga Tayap, Ketapang, Kalbar
Gereja Katolik dalam perjalanan sejarah, tradisi suci serta Magisterium Gereja mengungkapkan misteri keilahian Allah yang satu dalam tiga pribadi atau diimani sebagai Allah Tritunggal. Banyak orang yang mempertanyakan ajaran tentang Trinitas, bahkan banyak orang yang bukan Kristen mengatakan bahwa orang Kristen mempercayai tiga Tuhan. Pernyataan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan, sebab iman Kristiani mengajarkan Allah yang Esa. Tetapi bagaimana bisa Allah yang Esa ini memiliki tiga Pribadi? Untuk memahami hal ini memang diperlukan hati yang terbuka untuk memandang Allah dari sudut pandang yang mengatasi pola berpikir manusia. Apabila kita tetap berkeras untuk membatasi kerangka berpikir, bahwa Allah harus dapat dijelaskan dengan logika manusia semata-mata, maka kita membatasi pandangan pribadi semata, sehingga kehilangan kesempatan untuk melihat gambaran yang lebih luas tentang Allah. Kita mencukupkan diri kita dengan pandangan Allah yang logis menurut pikiran kita dan tanpa kita sadari kita menolak tawaran Allah agar kita lebih dapat mengenal DiriNya yang sesungguhnya.
Menurut Budaya Suku Dayak, konsep ke-Tuhan-an mungkin agak berbeda dari konsepsi iman Gereja Katolik yang mengenal ke-Esa-an Tuhan dalam tiga pribadi. Tetapi dari berbagai penjelasan sumber adat suku Dayak mengenal Tuhan sebagai yang Esa, pencipta yang tunggal. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui beberapa konsepsi ke-Tuhan-an dari berbagai sumber budaya Suku Dayak.
Trinitas
Menurut katolisitas, Trinitas ini tidak dapat dijelaskan hanya dengan akal, bukan berarti bahwa Allah Tritunggal ini adalah konsep yang sama sekali tidak masuk akal. Berikut ini adalah sedikit uraian bagaimana kita dapat mencoba memahami Trinitas, walaupun pada akhirnya harus kita akui bahwa adanya tiga Pribadi dalam Allah yang Satu ini merupakan misteri yang tidak cukup kita jelaskan dengan akal, sebab jika dapat dijelaskan dengan tuntas, maka hal itu tidak lagi menjadi misteri. St. Agustinus bahkan mengatakan, “Kalau engkau memahami-Nya, Ia bukan lagi Allah”. ((St. Agustinus, sermon. 52, 6, 16, seperti dikutip dalam KGK 230.)) Sebab Allah jauh melebihi manusia dalam segala hal, dan meskipun Ia telah mewahyukan Diri, Ia tetap tinggal sebagai rahasia/ misteri yang tak terucapkan. Di sinilah peran iman, karena dengan iman inilah kita menerima misteri Allah yang diwahyukan dalam Kitab Suci, sehingga kita dapat menjadikannya sebagai dasar pengharapan, dan bukti dari apa yang tidak kita lihat (lih. Ibr. 11:1-2). Agar dapat sedikit menangkap maknanya, kita perlu mempunyai keterbukaan hati. Hanya dengan hati terbuka, kita dapat menerima rahmat Tuhan, untuk menerima rahasia Allah yang terbesar ini; dan hati kita akan dipenuhi oleh ucapan syukur tanpa henti [1].
Mungkin kita pernah mendengar orang yang menjelaskan konsep Allah Tritunggal dengan membandingkan-Nya dengan matahari: yang terdiri dari matahari itu sendiri, sinar, dan panas. Atau dengan sebuah segitiga, di mana Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus menempati masing-masing sudut, namun tetap dalam satu segitiga. Bahkan ada yang mencoba menjelaskan, bahwa Trinitas adalah seperti kopi, susu, dan gula, yang akhirnya menjadi susu kopi yang manis. Penjelasan yang menggunakan analogi ini memang ada benarnya, namun sebenarnya tidak cukup, sehingga sangat sulit diterima oleh orang-orang non-Kristen. Apalagi dengan perkataan, ‘pokoknya percaya saja’, ini juga tidak dapat memuaskan orang yang bertanya. Jadi jika ada orang yang bertanya, apa dasarnya kita percaya pada Allah Tritunggal, sebaiknya kita katakan, “karena Allah melalui Yesus menyatakan Diri-Nya sendiri demikian”, dan hal ini kita ketahui dari Kitab Suci.
Doktrin Trinitas atau Allah Tritunggal Maha Kudus adalah pengajaran bahwa Tuhan adalah SATU, namun terdiri dari TIGA pribadi: 1) Allah Bapa (Pribadi pertama), 2) Allah Putera (Pribadi kedua), dan Allah Roh Kudus (Pribadi ketiga). Karena ini adalah iman utama kita, maka kita harus dapat menjelaskannya lebih daripada hanya sekedar menggunakan analogi matahari, segitiga, maupun kopi susu.
Dasar dari Kitab Suci dan pengajaran Gereja
Yesus menunjukkan persatuan yang tak terpisahkan dengan Allah Bapa, “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh 10:30); “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa…” (Yoh 14:9). Di dalam doa-Nya yang terakhir untuk murid-murid-Nya sebelum sengsara-Nya, Dia berdoa kepada Bapa, agar semua murid-Nya menjadi satu, sama seperti Bapa di dalam Dia dan Dia di dalam Bapa (lih. Yoh 17: 21). Dengan demikian Yesus menyatakan Diri-Nya sama dengan Allah: Ia adalah Allah. Hal ini mengingatkan kita akan pernyataan Allah Bapa sendiri, tentang ke-Allahan Yesus sebab Allah Bapa menyebut Yesus sebagai Anak-Nya yang terkasih, yaitu pada waktu pembaptisan Yesus (lih. Luk 3: 22) dan pada waktu Yesus dimuliakan di atas gunung Tabor (lih. Mat 17:5).
Yesus juga menyatakan keberadaan Diri-Nya yang telah ada bersama-sama dengan Allah Bapa sebelum penciptaan dunia (lih. Yoh 17:5). Kristus adalah sang Sabda/ Firman, yang ada bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah, dan oleh-Nya segala sesuatu dijadikan (Yoh 1:1-3). Tidak mungkin Yesus menjadikan segala sesuatu, jika Ia bukan Allah sendiri.
Selain menyatakan kesatuan-Nya dengan Allah Bapa, Yesus juga menyatakan kesatuan-Nya dengan Roh Kudus, yaitu Roh yang dijanjikan-Nya kepada para murid-Nya dan disebutNya sebagai Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, (lih. Yoh 15:26). Roh ini juga adalah Roh Yesus sendiri, sebab Ia adalah Kebenaran (lih. Yoh 14:6). Kesatuan ini ditegaskan kembali oleh Yesus dalam pesan terakhir-Nya sebelum naik ke surga, “…Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus…”(Mat 28:18-20).
Selanjutnya, kita melihat pengajaran dari para Rasul yang menyatakan kembali pengajaran Yesus ini, contohnya, Rasul Yohanes yang mengajarkan bahwa Bapa, Firman (yang adalah Yesus Kristus), dan Roh Kudus adalah satu (lih 1 Yoh 5:7); demikian juga pengajaran Petrus (lih. 1 Pet:1-2; 2 Pet 1:2); dan Paulus (lih. 1Kor 1:2-10; 1Kor 8:6; Ef 1:3-14).
Dasar dari Pengajaran Bapa Gereja
Para Rasul mengajarkan apa yang mereka terima dari Yesus, bahwa Ia adalah Sang Putera Allah, yang hidup dalam kesatuan dengan Allah Bapa dan Allah Roh Kudus. Iman akan Allah Trinitas ini sangat nyata pada Tradisi umat Kristen pada abad-abad awal.
1. St. Paus Clement dari Roma (menjadi Paus tahun 88-99):
“Bukankah kita mempunyai satu Tuhan, dan satu Kristus, dan satu Roh Kudus yang melimpahkan rahmat-Nya kepada kita?” ((St. Clement of Rome, Letter to the Corinthians, chap. 46, seperti dikutip oleh John Willis SJ, The Teachings of the Church Fathers, (San Francisco, Ignatius Press, 2002, reprint 1966), p. 145))
2. St. Ignatius dari Antiokhia (50-117) membandingkan jemaat dengan batu yang disusun untuk membangun bait Allah Bapa; yang diangkat ke atas oleh ‘katrol’ Yesus Kristus yaitu Salib-Nya dan oleh ‘tali’ Roh Kudus. ((St. Ignatius of Antiokh, Letter to the Ephesians, Chap 9, Ibid., p. 146))
“Ignatius, juga disebut Theoforus, kepada Gereja di Efesus di Asia… yang ditentukan sejak kekekalan untuk kemuliaan yang tak berakhir dan tak berubah, yang disatukan dan dipilih melalui penderitaan sejati oleh Allah Bapa di dalam Yesus Kristus Tuhan kita.” ((St. Ignatius, Letter to the Ephesians, 110))
“Sebab Tuhan kita, Yesus Kristus, telah dikandung oleh Maria seturut rencana Tuhan: dari keturunan Daud, adalah benar, tetapi juga dari Roh Kudus.” ((ibid., 18:2)).
“Kepada Gereja yang terkasih dan diterangi kasih Yesus Kristus, Tuhan kita, dengan kehendak Dia yang telah menghendaki segalanya yang ada.” ((St. Ignatius, Letter to the Romans, 110))
3. St. Polycarpus (69-155), dalam doanya sebelum ia dibunuh sebagai martir, “… Aku memuji Engkau (Allah Bapa), …aku memuliakan Engkau, melalui Imam Agung yang ilahi dan surgawi, Yesus Kristus, Putera-Mu yang terkasih, melalui Dia dan bersama Dia, dan Roh Kudus, kemuliaan bagi-Mu sekarang dan sepanjang segala abad. Amin.” ((St. Polycarp, Ibid., 146))
4. St. Athenagoras (133-190):
“Sebab, … kita mengakui satu Tuhan, dan PuteraNya yang adalah Sabda-Nya, dan Roh Kudus yang bersatu dalam satu kesatuan, –Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus.” ((St. Athenagoras, A Plea for Christians, Chap. 24, ibid., 148))
5. Aristides sang filsuf [90-150 AD] dalam The Apology
“Orang- orang Kristen, adalah mereka yang, di atas segala bangsa di dunia, telah menemukan kebenaran, sebab mereka mengenali Allah, Sang Pencipta segala sesuatu, di dalam Putera-Nya yang Tunggal dan di dalam Roh Kudus. ((Aristides, Apology 16 [A.D. 140]))
6. St. Irenaeus (115-202):
“Sebab bersama Dia (Allah Bapa) selalu hadir Sabda dan kebijaksanaan-Nya, yaitu Putera-Nya dan Roh Kudus-Nya, yang dengan-Nya dan di dalam-Nya, …Ia menciptakan segala sesuatu, yang kepadaNya Ia bersabda, “Marilah menciptakan manusia sesuai dengan gambaran Kita.” (( St. Irenaeus, Against Heresy, Bk. 4, Chap.20, Ibid., 148))
“Sebab Gereja, meskipun tersebar di seluruh dunia bahkan sampai ke ujung bumi, telah menerima dari para rasul dan dari murid- murid mereka iman di dalam satu Tuhan, Allah Bapa yang Mahabesar, Pencipta langit dan bumi dan semua yang ada di dalamnya; dan di dalam satu Yesus Kristus, Sang Putera Allah, yang menjadi daging bagi keselamatan kita, dan di dalam Roh Kudus, yang [telah] mewartakan melalui para nabi, ketentuan ilahi dan kedatangan, dan kelahiran dari seorang perempuan, dan penderitaan dan kebangkitan dari mati dan kenaikan tubuh-Nya ke surga dari Kristus Yesus Tuhan kita, dan kedatangan-Nya dari surga di dalam kemuliaan Allah Bapa untuk mendirikan kembali segala sesuatu, dan membangkitkan kembali tubuh semua umat manusia, supaya kepada Yesus Kristus Tuhan dan Allah kita, Penyelamat dan Raja kita, sesuai dengan kehendak Allah Bapa yang tidak kelihatan, setiap lutut bertelut dari semua yang di surga dan di bumi dan di bawah bumi ….” ((St. Irenaeus, Against Heresies, I:10:1 [A.D. 189])).
“Namun demikian, apa yang tidak dapat dikatakan oleh seorangpun yang hidup, bahwa Ia [Kristus] sendiri adalah sungguh Tuhan dan Allah … dapat dilihat oleh mereka yang telah memperoleh bahkan sedikit bagian kebenaran” ((St. Irenaeus, ibid., 3:19:1)).
7. St. Clement dari Alexandria [150-215 AD] dalam Exhortation to the Heathen (Chapter 1)
“Sang Sabda, Kristus, adalah penyebab, dari asal mula kita -karena Ia ada di dalam Allah- dan penyebab dari kesejahteraan kita. Dan sekarang, Sang Sabda yang sama ini telah menjelma menjadi manusia. Ia sendiri adalah Tuhan dan manusia, dan sumber dari semua yang baik yang ada pada kita” ((St. Clement, Exhortation to the Greeks 1:7:1 [A.D. 190])).
“Dihina karena rupa-Nya namun sesungguhnya Ia dikagumi, [Yesus adalah], Sang Penebus, Penyelamat, Pemberi Damai, Sang Sabda, Ia yang jelas adalah Tuhan yang benar, Ia yang setingkat dengan Allah seluruh alam semesta sebab Ia adalah Putera-Nya.” ((ibid., 10:110:1)).
8. St. Hippolytus [170-236 AD] dalam Refutation of All Heresies (Book IX)
“Hanya Sabda Allah [yang] adalah dari diri-Nya sendiri dan karena itu adalah juga Allah, menjadi substansi Allah. ((St. Hippolytus, Refutation of All Heresies 10:33 [A.D. 228]))
“Sebab Kristus adalah Allah di atas segala sesuatu, yang telah merencanakan penebusan dosa dari umat manusia …. ((ibid., 10:34)).
9. Tertullian [160-240 AD] dalam Against Praxeas
“Bahwa ada dua allah dan dua Tuhan adalah pernyataan yang tidak akan keluar dari mulut kami; bukan seolah Bapa dan Putera bukan Tuhan, ataupun Roh Kudus bukan Tuhan…; tetapi keduanya disebut sebagai Allah dan Tuhan, supaya ketika Kristus datang, Ia dapat dikenali sebagai Allah dan disebut Tuhan, sebab Ia adalah Putera dari Dia yang adalah Allah dan Tuhan.” ((Tertullian, Against Praxeas 13:6 [A.D. 216])).
10. Origen [185-254 AD] dalam De Principiis (Book IV)
“Meskipun Ia [Kristus] adalah Allah, Ia menjelma menjadi daging, dan dengan menjadi manusia, Ia tetap adalah Allah.” ((Origen, The Fundamental Doctrines 1:0:4 [A.D. 225])).
11. Novatian [220-270 AD] dalam Treatise Concerning the Trinity
“Jika Kristus hanya manusia saja, mengapa Ia memberikan satu ketentuan kepada kita untuk mempercayai apa yang dikatakan-Nya, “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.” (Yoh 17:3). Bukankah Ia menghendaki agar diterima sebagai Allah juga? Sebab jika Ia tidak menghendaki agar dipahami sebagai Allah, Ia sudah akan menambahkan, “Dan manusia Yesus Kristus yang telah diutus-Nya,” tetapi kenyataannya, Ia tidak menambahkan ini, juga Kristus tidak menyerahkan nyawa-Nya kepada kita sebagai manusia saja, tetapi satu diri-Nya dengan Allah, sebagaimana Ia kehendaki agar dipahami oleh persatuan ini sebagai Tuhan juga, seperti adanya Dia. Karena itu kita harus percaya, seusai dengan ketentuan tertulis, kepada Tuhan, satu Allah yang benar, dan juga kepada Ia yang telah diutus-Nya, Yesus Kristus, yang, …tidak akan menghubungkan Diri-Nya sendiri kepada Bapa, jika Ia tidak menghendaki untuk dipahami sebagai Allah juga. Sebab [jika tidak] Ia akan memisahkan diri-Nya dari Dia [Bapa], jika Ia tidak menghendaki untuk dipahami sebagai Allah.” ((Novatian, Treatise Concerning the Trinity 16 [A.D. 235])).
12. St. Cyprian of Carthage [200-270 AD] dalam Treatise 3
“Seseorang yang menyangkal bahwa Kristus adalah Tuhan tidak dapat menjadi bait Roh Kudus-Nya …” ((St. Cyprian, Letters 73:12 [A.D. 253])).
13. Lactantius [290-350 AD] dalam The Epitome of the Divine Institutes
“Ia telah menjadi baik Putera Allah di dalam Roh dan Putera manusia di dalam daging, yaitu baik Allah maupun manusia. ((Lactantius, Divine Institutes 4:13:5 [A.D. 307]))
“Seseorang mungkin bertanya, bagaimana mungkin, ketika kita berkata bahwa kita menyembah hanya satu Tuhan, namun kita menyatakan bahwa ada dua, Allah Bapa dan Allah Putera, di mana penyebutan ini telah menyebabkan banyak orang jatuh ke dalam kesalahan yang terbesar … [yang berpikir] bahwa kita mengakui adanya Tuhan yang lain, dan bahwa Tuhan yang lain itu adalah yang dapat mati …. [Tetapi] ketika kita bicara tentang Allah Bapa dan Allah Putera, kita tidak bicara tentang Mereka sebagai satu yang lain dari yang lainnya, ataupun kita memisahkan satu dari lainnya, sebab Bapa tidak dapat eksis tanpa Putera dan Putera tidak dapat dipisahkan dari Bapa.” ((Lactantius, (ibid., 4:28–29))
14. St. Athanasius (296-373), “Sebab Putera ada di dalam Bapa… dan Bapa ada di dalam Putera…. Mereka itu satu, bukan seperti sesuatu yang dibagi menjadi dua bagian namun dianggap tetap satu, atau seperti satu kesatuan dengan dua nama yang berbeda… Mereka adalah dua,(dalam arti) Bapa adalah Bapa dan bukan Putera, demikian halnya dengan Putera… tetapi kodreat/ hakekat mereka adalah satu (sebab anak selalu mempunyai hakekat yang sama dengan bapanya), dan apa yang menjadi milik BapaNya adalah milik Anak-Nya.” ((St. Athanasius, Four Discourses Against the Arians, n. 3:3, in NPNF, 4:395.))
15. St. Agustinus (354-430), “… Allah Bapa dan Putera dan Roh Kudus adalah kesatuan ilahi yang erat, yang adalah satu dan sama esensinya, di dalam kesamaan yang tidak dapat diceraikan, sehingga mereka bukan tiga Tuhan, melainkan satu Tuhan: meskipun Allah Bapa telah melahirkan (has begotten) Putera, dan Putera lahir dari Allah Bapa, Ia yang adalah Putera, bukanlah Bapa, dan Roh Kudus bukanlah Bapa ataupun Putera, namun Roh Bapa dan Roh Putera; dan Ia sama (co-equal) dengan Bapa dan Putera, membentuk kesatuan Tritunggal. ” ((St. Augustine, On The Trinity, seperti dikutip oleh John Willis SJ, Ibid., 152.))
Dalam bukunya, On the Trinity (Book XV, ch. 3), St. Agustinus menjabarkan ringkasan tentang konsep Trinitas. Secara khusus ia memberi contoh beberapa trilogi untuk menggambarkan Trinitas, yaitu:
1) seorang pribadi yang mengasihi, pribadi yang dikasihi dan kasih itu sendiri.
2) trilogi pikiran manusia, yang terdiri dari pikiran (mind), pengetahuan (knowledge) yang olehnya pikiran mengetahui dirinya sendiri, dan kasih (love) yang olehnya pikiran dapat mengasihi dirinya dan pengetahuan akan dirinya.
3) ingatan (memory), pengertian (understanding) dan keinginan (will). Seperti pada saat kita mengamati sesuatu, maka terdapat tiga hal yang mempunyai satu esensi, yaitu gambaran benda itu dalam ingatan/ memori kita, bentuk yang ada di pikiran pada saat kita melihat benda itu dan keinginan kita untuk menghubungkan keduanya.
Khusus untuk point yang ketiga ini kita dapat melihat contoh lain sebagai berikut: jika kita mengingat sesuatu, misalnya menyanyikan lagu kesenangan, maka terdapat 3 hal yang terlibat, yaitu, kita mengingat lagu itu dan liriknya dalam memori/ ingatan kita, kita mengetahui atau memikirkan dahulu tentang lagu itu dan kita menginginkan untuk melakukan hal itu (mengingat, memikirkan-nya) karena kita menyukainya. Nah, ketiga hal ini berbeda satu sama lain, namun saling tergantung satu dengan yang lainnya, dan ada dalam kesatuan yang tak terpisahkan. Kita tidak bisa menyanyikan lagu itu, kalau kita tidak mengingatnya dalam memori; atau kalau kita tidak mengetahui lagu itu sama sekali, atau kalau kita tidak ingin mengingatnya, atau tidak ingin mengetahui dan menyanyikannya.
Pengajaran Gereja: Dogma tentang Tritunggal Maha Kudus
Syahadat ‘Aku Percaya’ menyatakan bahwa rahasia sentral iman Kristen adalah Misteri Allah Tritunggal. Maka Trinitas adalah dasar iman Kristen yang utama ((Gereja Katolik , Katekismus Gereja Katolik, Edisi Indonesia., 234, 261.)) yang disingkapkan dalam diri Yesus. Seperti kita ketahui di atas, iman kepada Allah Tritunggal telah ada sejak zaman Gereja abad awal, karena didasari oleh perkataan Yesus sendiri yang disampaikan kembali oleh para murid-Nya. Jadi, tidak benar jika doktrin ini baru ditemukan dan ditetapkan pada Konsili Konstantinopel I pada tahun 359! Yang benar ialah: Konsili Konstantinopel I mencantumkan pengajaran tentang Allah Tritunggal secara tertulis, sebagai kelanjutan dari Konsili Nicea (325) ((Konsili Nicea (325): Credo Nicea: “…Kristus itu sehakekat dengan Allah Bapa, Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar …”)), dan untuk menentang heresies (ajaran sesat) yang berkembang pada abad ke-3 dan ke-4, seperti Arianisme (oleh Arius 250-336, yang menentang kesetaraan Yesus dengan Allah Bapa) dan Sabellianisme (oleh Sabellius 215 yang membagi Allah dalam tiga modus, sehingga seolah ada tiga Pribadi yang terpisah).
Dari sejarah Gereja kita melihat bahwa konsili-konsili diadakan untuk menegaskan kembali ajaran Gereja (yang sudah berakar sebelumnya) dan menjaganya terhadap serangan ajaran-ajaran sesat/ menyimpang. Jadi yang ditetapkan dalam konsili merupakan peneguhan ataupun penjabaran ajaran yang sudah ada, dan bukannya menciptakan ajaran baru. Jika kita mempelajari sejarah Gereja, kita akan semakin menyadari bahwa Tuhan Yesus sendiri menjaga Gereja-Nya: sebab setiap kali Gereja ‘diserang’ oleh ajaran yang sesat, Allah mengangkat Santo/Santa yang dipakai-Nya untuk meneguhkan ajaran yang benar dan Yesus memberkati para penerus rasul dalam konsili-konsili untuk menegaskan kembali kesetiaan ajaran Gereja terhadap pengajaran Yesus kepada para Rasul. Lebih lanjut mengenai hal ini akan dibahas di dalam artikel terpisah, dalam topik Sejarah Gereja.
Berikut ini adalah Dogma tentang Tritunggal Maha Kudus menurut Katekismus Gereja Katolik, yang telah berakar dari jaman jemaat awal:
Tritunggal adalah Allah yang satu. ((Lihat KGK 253)) Pribadi ini tidak membagi-bagi ke-Allahan seolah masing-masing menjadi sepertiga, namun mereka adalah ‘sepenuhnya dan seluruhnya’. Bapa adalah yang sama seperti Putera, Putera yang sama seperti Bapa; dan Bapa dan Putera adalah yang sama seperti Roh Kudus, yaitu satu Allah dengan kodrat yang sama. Karena kesatuan ini, maka Bapa seluruhnya ada di dalam Putera, seluruhnya ada dalam Roh Kudus; Putera seluruhnya ada di dalam Bapa, dan seluruhnya ada dalam Roh Kudus; Roh Kudus ada seluruhnya di dalam Bapa, dan seluruhnya di dalam Putera.
Ketiga Pribadi ini berbeda secara real satu sama lain, yaitu di dalam hal hubungan asalnya: yaitu Allah Bapa yang ‘melahirkan’, Allah Putera yang dilahirkan, Roh Kudus yang dihembuskan. ((Lihat KGK 254))
Ketiga Pribadi ini berhubungan satu dengan yang lainnya. Perbedaan dalam hal asal tersebut tidak membagi kesatuan ilahi, namun malah menunjukkan hubungan timbal balik antar Pribadi Allah tersebut. Bapa dihubungkan dengan Putera, Putera dengan Bapa, dan Roh Kudus dihubungkan dengan keduanya. Hakekat mereka adalah satu, yaitu Allah. ((Lihat KGK 255))
Konsep Ketuhanan Suku Dayak
Dayak Ngaju
Pada mulanya kisah tentang Ranying Hatalla Langit dituturkan turun temurun dari generasi ke generasi dalam "Tetek Tatum", yaitu cerita tentang penciptaan manusia pertama oleh Ranying Hatalla Langit. Konon sejak Tetek Tatum itu mulai dituturkan, sejak itulah "Kaharingan" sebagai agama leluhur suku Dayak bermula.
Menurut keyakinan suku Dayak Ngaju, Kaharingan telah ada sejak Ranying Hatalla Langit menciptakan alam semesta dan menurunkan manusia pertama.
Menurut keyakinan suku Dayak Ngaju, Tuhan Pencipta Alam Semesta bergelar "Ranying Pohatara Raja Tuntung Matanandau Kanaruhan Tambing Kabanteran Bulan", yang bertahta di suatu tempat yang bernama Balai Bulau Napatah Intan Balai Intan Napatah Bulau yang berada di suatu dataran tinggi yang disebut Bukit Bulau Kagantung Gandang Kereng Rabia Nunjang Hapalangka Langit, yang dikelilingi perairan yang disebut Tasik Malambung Bulau Laut Bapantang Hintan. [2]
Dayak Kanayatn
Dalam Agama asli Suku Dayak Kananyatn, dengan Kitab Suci bernama Putih Suri, tempat ibadat bernama Padagi, Tuhan Yang Maha Esa yang bermukim di Puncak Bukit Bawakng pada tingkat ketujuh disebut Pama, pengikut Tuhan Yang Maha Esa dinamakan Awapama, kemudian struktur di bawahnya sebagai Pewarta Agama Dayak Kanayatn bernama Pamane, dan manusia di alam nyata bernama Talino.
Jadi struktur tertinggi di dalam Agama Karimawatn, bernama Pama, kemudian struktur di bawahnya bernama Awapama (Jubata), Pemane (pewarta agama Dayak Kanayatn dan atau jurukunci) dan Talino (manusia di alam nyata).
Gunung Bawakng memiliki tujuh struktur bukit, yang oleh masyarakat setempat menyebut ada tujuh gunung, dimana masing-masing tujuh Gunung Bawakng memiliki nama, dan dipercaya didiami oleh para Jubata atau Awapama.
Para Jubata tersebut yaitu, Jubata Siru yang mendiami Gunung Buah Sodama, Jubata Sanga mendiami Gunung Buah Lampar Pengat, Jubata Jitat mendiami Gunung Buah Ampar Maro, Jubata Maniamas mendiami Gunung Buah Stande, Jubata Selujatn mendiami Gunung Bawakng Begantung, Jubata Merabat Ampor mendiami Gunung Buah Selebar, Jubata Selupo Nukat Bawakng mendiami Gunung Buah Selupo. [3]
Tuhan Menurut Agama Kaharingan
Menurut kepercayaan suku Dayak dalam Panaturan Tetek Tatun (Kitab Agama Kaharingan) Ranying Hatala Langit, Tuhan Yang Maha Esa, menurunkan leluhur suku Dayak dalam wadah emas, yang disebut “Palangka Bulau” (Palangka = Suci, Bulau = Emas) yaitu menggunakan tandu yang suci atau gandar yang terbuat dari emas.
Ranying Hatal Langit kehilangan asal muasal suku Dayak di empat tempat yang saling bertentangan. Pertama di Puncak Bukit Pamatuan (Samatuan), yaitu dataran tinggi antara Sungai Kahayan dan huku Sungai Barito. Atas kehendak Ranying Hatala Langit diturunkanlah seorang Dewa bernama Antang Bajela Bulau, yang kemudian menciptakan dua orang lelaki bernama Lambung (Raja Bunu) dan Lanting (Raja Sangen). Kemudian Ranying Hatala Langit kalah lagi di Bukit Kaminting dan terciptalah Karangkang Amban Penyang (Raja Sangiang).
Lalu di tempat berikutnya di atas batu granit hitam seperti bulu burung Tangkasiang, Ranying Hatala Langit kehilangan dua butir telur burung Enggang dan Elang, yang menjelma menjadi lelaki dan tiga orang perempuan. Yang lelaki bernama Litih atau Tiung Layang, yang kemudian menjadi Jata yaitu dewa yang menguasai dunia bawah air atau penguasa alam bawah.
Sementara tiga perempuan, masing-masing bernama Kamulung Tenek Bulau, Kameloh Putak Bulau, Lentar Katingei Bulau. Kameloh Putak Bulau berlalu dan mayatnya hanyut ke laut hingga terdampar di Pulau Mako. Namun dihidupkan kembali oleh saudaranya Jata yang meminumkan kehidupan menghidupkan kembali.
Kemudian di tempat terakhir di Puruk Kambang, Tanah Siang, di hulu Barito, oleh Ranying Hatala Langit terciptalah seorang perempuan bernama Sikan (Nyai Sikan). Dari empat tempt, sangat tercipta para leluhur suku Dayak, yang mendiami Pulau Kalimantan. Menurut kepercayaan Suku Dayak, kisah inilah yang diturnkan hingga temurun, hingga sekarang. Baik tertulis maupun tidak tertulis. Dengan demikian dalam kepercayaa Suku Dayak, suku ini diturunkan dari langit. [4]
Simpulan
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa ajaran Iman Katolik senada dengan kepercayaan yang sudah ada dalam budaya Suku Dayak yakni mengenai Tuhan Yang Maha Esa. Namun mengenai kepercayaan Allah sebagai yang Esa dalam tiga pribadi berdasarkan ajaran Kitab Suci, Tradisi dan Magisterium Gereja, dalam kepercayaan Dayak tidak dijelaskan mengenai tiga pribadi ilahi, tetapi lebih kepada utusan-utusan yang ikut serta dalam kisah penciptaan.
Dogma Trinitas dapat dijelaskan secara detail dalam Kitab Suci, Tradisi dan Magisterium Gereja sementara ajaran ke-Tuhan-an suku Dayak dijelaskan melalui ajaran lisan dan kitab suci asli agama suku Dayak.
Baik Trinitas maupun ajaran ke-Tuhan-an suku Dayak sama-sama memiliki konsep serupa bahwa dunia diciptakan oleh Tuhan yang satu.
Sumber:
[1] https://katolisitas.org/trinitas-satu-tuhan-dalam-tiga-pribadi/
[2] https://www.kaskus.co.id/thread/59e2ed76642eb617488b4568/konsep-ketuhanan-dan-kepercayaan-suku-dayak-ngaju/
[3] https://independensi.com/2019/02/19/karimawatn-agama-asli-suku-dayak-kanayatn-di-borneo/
[4] https://humabetang.com/berita/asal-usul-suku-dayak-diyakini-diturunkan-dari-langit-diciptakan-oleh-ranying-hatalla-langit-tuhan-yang-maha-esa
Trinitas dan Konsep Ketuhanan Menurut Dayak Suku Dayak Ngaju, Kanayatn dan Agama Kaharingan
Pada 1998, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Tjilik menjadi pahlawan nasional, berdasarkan SK Presiden No. 107/TK/1998 tertanggal 6 November 1998. Kiprahnya berarti besar bagi Kalimantan dan warganya, juga bagi seluruh Indonesia.
Merujuk situs web Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Tjilik yang lahir di Kasongan, Kalimantan Tengah, ini adalah pendiri Organisasi Pakat Dayak di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada 1938. Dia adalah putra Dayak, tepatnya Dayak Ngaju.
Pakat Dayak disebut memiliki tujuan utama mengangkat derajat Suku Dayak, baik dari ketertinggalan di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun budaya, sekaligus mempersatukan masyarakat Suku Dayak.
Pada 1946, Tjilik dipercaya mewakili 142 Suku Dayak untuk menyatakan sumpah setia mendukung Pemerintah Republik Indonesia. Berlangsung di Gedung Agung di Yogyakarta, sumpah setia dilakukan dengan gelaran upacara adat leluhur Suku Dayak.
Tjilik juga meninggalkan sejumlah jejak sejarah di kemiliteran. Operasi penerjunan pasukan payung di Desa Sarabi di Kalimantan Tengah yang dia pimpin pada 17 Oktober 1947, misalnya, belakangan ditetapkan sebagai Hari Pasukan Khas TNI Angkatan Udara.
Tjilik dan kelahiran Provinsi Kalimantan Tengah
Sebagai orang pertama yang menjabat Gubernur Kalimantan Tengah, Tjilik adalah salah satu tokoh perintis dan pelopor pembangunan Kota Palangkaraya, dari sebelumnya kawasan hutan lebat. Nama kota ini memiliki arti “tempat yang suci dan besar”.
Sebelumnya, wilayah yang kemudian hari menjadi Kalimantan Tengah merupakan bagian dari Kalimantan Selatan. Kelahiran provinsi Kalimantan Tengah mendapatkan payung hukum UU Darurat Nomor 10 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Tengah.
Dalam UU Darurat itu disebutkan bahwa Kabupaten Barito, Kapuas, dan Kotawaringin dipisahkan dari Kalimantan Selatan lalu menjadi bagian wilayah Kalimantan Tengah. Pahandut menjadi ibu kotanya.
Kota Palangkaraya merupakan kota yang benar-benar baru, wilayah yang dibuka dari hutan lebat, yang sebelumnya masuk wilayah Pahandut tersebut.
Pencanangan tiang pertama pembangunan Kota Palangkaraya dilakukan Presiden Soekarno pada 17 Juli 1957, ditandai peresmian Tugu Ibu Kota Kalimantan Tengah di Pahandut di dekat aliran Sungai Kahayan.
Lalu, Undang-undang Nomor 21 Tahun 1958, menegaskan keberadaan Kota Palangkaraya. Realisasi pewujudan kota inilah yang berlangsung pada masa Tjilik menjadi Gubernur Kalimantan Tengah.
Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor Des. 52/12/2-206 tertanggal 22 Desember 1959 menandai pemindahan tempat dan kedudukan Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah dari Banjarmasin ke Palangkaraya terhitung sejak 20 Desember 1959. Ini bersamaan dengan penunjukan Tjilik sebagai gubernur.
Anak kunci dari 170 gram emas
Sejak itu, Kecamatan Kahayan Tengah yang berkedudukan di Pahandut secara bertahap mengalami perubahan dengan mendapat tambahan tugas dan fungsinya. Antara lain, mempersiapkan Kotapraja Palangkaraya.
Perlahan, Ibu Kota Kalimantan Tengah yang semula adalah Pahandut diganti menjadi Palangkaraya. Proses pembangunan kota dari semula hutan lebat tersebut rampung pada medio 1965.
Peresmian kehadiran Kota Palangkaraya ditandai dengan upacara besar di Lapangan Bukin Ngalangkang, pada 17 Juni 1965. Upacara diawali dengan demonstrasi terjun payung membawa lambang kota. Penerjunan melibatkan para penerjun yang ikut terjun pada 17 Oktober 1947.
Dalam upacara inilah diserahkan anak kunci Kota Palangkaraya, berbahan emas seberat 170 gram, kepada Presiden Republik Indonesia melalui Menteri Dalam Negeri. Tjilik menjadi salah satu yang menyerahkan kunci tersebut.
Meski begitu, ulang tahun Kota Palangkaraya tetap merujuk pada tanggal peresmian Tugu Palangkaraya oleh Soekarno, yaitu 17 Juli. Tugu tersebut sekarang dikenal sebagai Tugu Soekarno dan kerap dikaitkan dengan wacana lama pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke sana.
Adapun jejak Tjilik di kota itu diabadikan juga untuk antara lain nama pangkalan udara, bandara, jalan, dan nama Detasemen TNI AU di Palangkaraya.
Tjilik Riwut: Pahlawan Dayak Palangkaraya
Panglima Batur adalah salah seorang pejuang Perang Banjar (Bandjermasinsche Krijg), yakni perang antara dua bangsa dan pemerintahan yang berdaulat, yakni antara bangsa Banjar di Kesultanan Banjarmasin di satu pihak yang wilayah utamanya meliputi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah sekarang dengan pihak Belanda. Pada saat berdirinya Kesultanan Banjar, semua suku yang ada dalam wilayah teritorial Kesultanan Banjar seperti suku Banjar, Bukit, dan Dayak (a.l. suku Dayak Dusun, Ngaju, Kayan, Siang, Bakumpai) baik yang beragama Islam maupun yang masih menganut kepercayaan Kaharingan adalah ”Bangsa Banjar”.
Panglima Batur berasal dari suku Dayak beragama Islam di daerah Buntok-Kecil, 40 Km di udik Muara Teweh. Sebagai panglima ia mengabdi kepada pemerintahan Pegustian yakni pemerintahan kelanjutan Kesultanan Banjar di hulu Sungai Barito. Setelah Perang Banjar meletus pada tahun 1859, maka kemudian perang ini meluas hingga ke hulu Barito.
Pangeran Antasari sebagai pimpinan perang mampu menyatukan kalangan pejuang dari etnis Banjar dan Dayak untuk bersama-sama melawan Belanda. Selepas Antasari meninggal di tahun 1862 di Bayan Begok daerah Puruk cahu, pimpinan perlawanan diteruskan oleh puteranya Sultan Muhammad Seman, dan ia dibantu oleh pengikut setianya yakni Panglima Batur. Oleh karena itu, perjuangan yang dilakukan Panglima Batur pada hakikatnya adalah untuk mempertahankan kedaulatan bangsa dan tanah Banjar dari penguasaan Belanda.
Panglima Batur bersama Sultan Muhammad Seman mempertahankan benteng terakhir di Sungai Manawing dalam perjuangan mereka melawan Belanda. Pada saat Panglima Batur mendapat perintah untuk pergi ke Kerajaan Pasir untuk memperoleh mesiu, saat itulah benteng Manawing mendapat serangan Belanda. Pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Christofel yang berpengalaman dalam perang Aceh, dengan sejumlah besar pasukan marsose yang terkenal ganas dan bengis, menyerbu benteng Manawing pada Januari 1905. Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad Seman tidak dapat bertahan. Sultan tertembak dan dia gugur sebagai kesuma bangsa. Ia adalah sultan terakhir dari Kerajaan Banjar dalam pemerintahan pelarian di daerah Barito. Sultan Muhammad Seman benar-benar konsekwen terhadap sumpah melaksanakan amanah ayahndanya Pangeran Antasari yang tidak kenal kompromi dengan Belanda, “Haram manyarah waja sampai kaputing”.
Tertegun dan dengan rasa sedih yang mendalam ketika Panglima Batur kembali ke benteng Manawing yang musnah, dan Sultan Muhammad Seman, pimpinannya telah tewas. Panglima Batur dan teman seperjuangannya Panglima Umbung pulau ke kampung halaman mereka masing-masing. Panglima Umbung kembali ke Buntok-Kecil. Sultan Muhammad di Seman di makamkan di puncak gunung di Puruk Cahu.
Sepeninggal Sultan, Panglima Baturlah satu-satunya pimpinan perjuangan yang masih bertahan. Ia terkenal sangat teguh dengan pendiriannya dan sangat patuh dengan sumpah yang telah diucapkannya, tetapi ia mudah terharu dan sedih jika melihat anak buahnya atau keluarganya yang jatuh menderita. Hal itu diketahui oleh Belanda kelemahan yang menjadi sifat Panglima Batur, dan kelemahan inilah yang dijadikan alat untuk menjebaknya.
Ketika terjadi upacara adat perkawinan kemenakannya di kampung Lemo, dimana seluruh anggota keluarga Panglima Batur terkumpul, saat itulah serdadu Belanda mengadakan penangkapan. Pasangan mempelai yang sedang bertanding juga ditangkap dimasukkan ke dalam tahanan, dipukuli dan disiksa tanpa perikemanusiaan. Cara inilah yang dipakai Belanda untuk menjebak Panglima Batur.
Dengan perantaraan Haji Kuwit salah seorang saudara sepupu Panglima Batur Belanda berusaha menangkapnya. Atas suruhan Belanda Haji Kuwit mengatakan bahwa apabila Panglima Batur bersedia keluar dari persembunyian dan bersedia berunding dengan Belanda, barulah tahanan yang terdiri dari keluarganya dikeluarkan dan dibebaskan, dan sebaliknya apabila Panglima tetap berkeras kepala, tahanan tersebut akan ditembak mati. Hati Panglima Batur menjadi gundah dan dia sadar bahwa apabila dia bertekad lebih baik dia yang menjadi korban sendirian dari pada keluarganya yang tidak berdosa ikut menanggungnya.
Dengan diiringi orang-orang tua dan orang sekampungnya Panglima Batur turun ke Muara Teweh. Benar apa yang menjadi kata hatinya, bukan perundingan tetapi ia ditangkap sebagai tawanan dan selanjutnya dihadapkan di meja pengadilan. Ini terjadi pada tanggal 24 Agustus 1905. Setelah dua minggu di tawan di Muara Teweh, Panglima Batur diangkut dengan kapal ke Banjarmasin. Di kota Banjarmasin dia diarak keliling kota dengan pemberitahuan bahwa inilah pemberontak yang keras kepala dan akan dijatuhkan hukuman mati.
Pada tanggal 15 September 1905 Panglima Batur dinaikkan ketiang gantungan. Permintaan terakhir yang diucapkannya dia minta dibacakan “Dua Kalimah Syahadat” untuknya. Dia dimakamkan di belakang Mesjid Jami’ lama Banjarmasin di tepian Sungai Martapura, tetapi sejak 21 April 1958 jenazahnya dipindahkan ke kompleks “Makam Pahlawan Banjar” Jalan Mesjid Jami Banjarmasin (Dikutip a.l. dari Buku Sejarah Banjar; foto Panglima Batur koleksi keluarga alm. H.M. Yakub Amin —lahir 1915, pensiunan TNI tahun 1950— diwarisi dari orang tua beliau, di Jalan Panglima Batur, Banjarmasin).