Archive for Januari 2022
Ilustrasi Burung Enggang Gading |
Kisah Penciptaan Menurut Suku Iban
Pada
awal mulanya yang ada hanya ada air (laut) asali. Di atas laut asali ini
melayang-layang Ara dan Iri, dua keilahian yang mengambil rupa dua ekor burung,
laki-laki dan perempuan, jantan dan betina. Secara bersama Ara dan Iri
menciptakan dua substansi berbentuk telur raksasa. Dari kedua telur raksasa ini
tercipta langit dan bumi [1]. Nama Ara di sini dapat berarti:
mengembara, berkelana, keluyuran; pohon ara (sejenis Ficus indicus), menabur atau menyebarkan.
Dalam
hubungan antara pohon dengan burung, ada sebuah mitos yang menuturkan tentang
Sengalang Burong [2]. Dituturkan tentang seorang bernama Siu
yang pergi berburu sepanjang hari tanpa mendapat seekor burungpun. Ketika hari
sudah mulai malam ia menemukan sebatang pohon ara liar. Di situ hinggap banyak
sekali burung yang belum pernah ia kenal selama ini. Segera ia mengumpulkan
burung-burung itu sebanyak mungkin, hampir-hampir tak bisa dipikulnya, dan ia
bermaksud datang kembali setelah burung yang dikumpulkannya itu dibawanya
pulang. Namun, dalam perjalanan pulang ia tersesat dan akhirnya sampai ke
sebuah rumah panjang yang hanya dihuni oleh seorang wanitam puteri Sengalang
Burong. Siu diterima dan diwajibkan berjanji untuk tidak menceritakan kepada
siapa pun tentang rumah panjang itu, yang adalah miliki Sengalang Burong. Atas perjanjian
itu, mereka menjadi suami istri. Putera mereka bernama Seragunting, juga
disebut Surong Gunting. Kepada Seragunting inilah kemudian diturunkan oleh Sengalang
Burung semua pengetahuan dan cara yang baik berladang, berburu, melaksanakan
berbagai upacara pesta adat, mengayau, memahami tanda-tanda dan lain
sebagainya. Aturan-aturan inilah yang kemudian diturunkan dan dilaksanakan
dengan setia oleh Suku Iban.
Mitos
ini memperlihatkan bahwa Sengala Burong itu pemimpin dari semua burung pertanda
(pemberi tanda) yang menuntun langkah Siu sampai menemukan ara, kemudian
membuat Siu kehilangan orientasinya sampai ia menemukan rumah panjang kediaman
Sengalang Burong, lalu menikah dengannya. Dalam hal ini maka pohon ara dilihat
sebagai sandi mitologi, yang menandai batas antara dunia hunian manusia dengan
dunia para ilahi.
Di
dalam banyak mitos suku-suku Dayak, kita menemukan bahwa jalan masuk ke dan
jalan keluar dari dunia dilambangkan sebagai sungai atau air dan pohon atau
tonggak. Dari mitos tadi, jalan tersebut adalah pohon ara. Pohon ara ini
merupakan garis batas. Dari sinilah Siu melangkah, meninggalkan lingkungan
manusiawi dan memasuki ilahi, yang dilambangkan pernikahannya dengan puteri
Sengalang Burong. Melalui kelahiran Seragunting, dimulailah genealogi makhluk
mitis dengan kodrat ilahi, yang dalam garis keturunan selanjutnya melahirkan
makhluk mitis dengan kodrat manusiawi sebagai nenek moyang suku Iban. Titik batas
antara dunia ilahi dengan dunia roh di dalam mitos ini dilambangkan secara
teritorial oleh pohon ara dan secara genealogis oleh tokoh Siu.
Kisah Penciptaan Menurut
Suku Dayak Kanayatn
Di
dalam salah satu mitos kejadian alam semesta di kalangan suku Kanayatn
[3], dikisahkan bahwa pusat alam semesta ini ada sebuah “pusaran
air pohon kelapa” (pusat ai’ pauh janggi).
Inilah pohon kehidupan, daripadanyalah segala sesuatu tercipta dan kepadanyalah
semua akan kembali. Di kalangan suku Kanayatn tampaknya yang memegang peranan
penting dalam proses kejadian semesta adalah perkawinan kosmis. Dalam awal
turunan sebuah mitos (Vierling, ibid) dikatakan demikian:
Kubah
langit dan bulan bumi (kulikng langit dua
putar tanah) memperanakkan; Sino Nyandong dan Sino Nyoba, memperanakkan; Si
Nyati puteri bulari dan terpaiwar putera matahari (Si Nyati anak Balo Bulant, Tapancar anak Matahari), memperanakkan;
Kacau Balau dan Badai (iro iro dan Angin
angin)
Dari
penuturan awal ini kelihatan dari perkawinan kosmis pertama, yaitu antara
langit dan bumi muncullah pasangan selanjutnya, yaitu bulan dan matahari, yang
kemudian melalui suatu polarisasi kekerasan melanjutkan proses penciptaan. Dari
salah satu rumus doa persembahan dapat ditemukan suatu fragmen yang melukiskan
keadaan awal yang serasi antara langit dan bumi. “Padamula pertama bumi itu
indah seperti tikar di langit, seperti payung terbuka. Saedo adalah nama bumi
dan Saeda nama langit. Bumi pun berguncang dan langit gemetar.” [4]:
Kacau
Balau dan Badai, memperanakkan; udara mengawang dan embun menggantung (uang-uang dan Gantong Tali)
memperanakkan; Pandai Besi dan Sang Dewi (tukang
Nange dua Malaekat) memperanakkan; Segala air dan segala sungai (Sumarakng ai, sumarakng sunge) memperanakkan;
Bambu dan Pepohonan (Tunggur batukng dua
mara puhutn) memperanakkan; Tumbuhan merambat dan umbi-umbian (Antayut dua Barujut) memperanakkan;
Kesejukan Lumpur dan Tulang Iga (popo’
dan rusuk)
Kemudian
dalam penuturan sejarah yang lain dijelaskan hawa kesejukkan lumpur itu adalah
isteri sedangkan Tulang Iga adalah sang suami. Mereka ini mempunyai anak:
Anterber dan Galeber, yang dianggap sebagai nenek moyang suku Kanayatn
[5].
Kisah Penciptaan Menurut
Suku Dayak Kenyah (Laubscher, 227)
Di
kalangan suku Kenyah ada mitos yang menceritakan bahwa ilahi perempuan yang
bernama Bungan Malan menciptakan manusia dari Kayu Aran (pohon ara). Kayu Aran
tadi baru tercipta menjadi manusia setelah ia dibenihi (dibuntingi) oleh angin
yang masuk ke tanaman merambat melalui sebuah torehan pada kayu aran tadi. Dari
cerita tradisi ini, kayu aran menjadi lambang kehidupan bagi manusia dan
memiliki nama “kayu udiep” (=pohon kehidupan). Dari mitos ini tampak bahwa
angin sebagai daya penggerak yang membawa kehamilan pada kayu aran sebagai
unsur laki-laki, sedangkan kayu aran sebagai unsur perempuan.
Antara
Iban dan Kenyan ada persamaan dalam suatu mitos yang menyangkut Raja Petara
[6]. Dalam mitos ini dikisahkan bagaimana Raja Petara (Raja
Entala) bersama istrinya menciptakan langit dan bumi dari daki yang melekat di
tubuh mereka. Namun rupanya bumi lebih besar daripada langit, sehingga
dijadikannya sungai, gunung, bukit, lembat, dataran, lalu ditumbuhkan
sayur-sayuran, rumput dan pepohohan. Dikatakan pula bahwa Raja Petara bersama
istrinya memiliki pohon pisang yang disebut Pisang Rura. Burong Iri (k)
melayang-layang di atas air. Kemudian mereka ini bersatu (kawin)l dari sinilah
asal mula segala jenis ikan. Kemudian Raja Petara bersama istrinya membentuk
pohon pisang jenis lain dari tongkat akar yang disebut Pisang Bangkit, sepasang
manusia menurut gambar mereka. Untuk darah diambilnya getah pohon Kumpang yang
memang berwarna merah. Istri Raja Petara berseru kepada ciptaannya ini maka
hiduplah mereka. Kedua insan ini, yang laki-laki bernama Telikhu’ dan yang
perempuan bernama Telikhai’.
Kalau
kita bandingkan Pohon Aran di kalangan Suku Kenyah yang mewakili kodrat
perempuan, yang melalui suatu perlakukan seksual dengan angin melahirkan kehidupan,
maka Pisang Rura pada suku Iban ini mewakili prinsip laki-laki yang melalui
perlakuan seksual dengan Burong Iri melahirkan kehidupan.
Pohon
Ara dilihat sebagai asal muasal segala jenis flora, sedangkan Pisang Rura
adalah sumber jenis fauna. Memang secara khusus disebut sebagai keturunan
Pisang Rura adalah jenis ikan dan tidak disebut-sebut jenis binatang lainnya. Dalam
kebudayaan Dayak pada umumnya air atau sungai memegang peranan penting. Hampir di
semua suku ada mitos yang menempatkan air atau sungai sebagai unsur penentu
dalam suatu peristiwa penciptaan. Sebab itu, penghuni sungai mengambil
kedudukan cukup penting.
Raja
Petara di dalam mitos lainnya [7] dilihat sebagai yang tertinggi
dari dunia ikan, yang memputra putri Pulang Gana dan Rajah Jewata. Di mereka
berdua masih terdapat lima bersaudara. Berarti mereka semua ada tujuh
bersaudara. Dalam nomor urut, biasanya pertama yang laki-laki ke perempuan,
demikian seterusnya secara bergiliran. Yang menarik dalam versi ini ialah yang
disebut dengan asal-usul bukanlah yang laki-laki, tetapi perempuan. Hal ini
dapat kita lihat:
a) Putri pertama (anak kedua), Rajah
Jewata, asal makhluk air (fauna di bawah)
b) Putri kedua (anak keempat), Siti
Permain, asal dari tumbuh-tumbuhan (flora darat)
c) Putri ketiga (anak keenam), tanpa
nama, asal dari binatang di darat dan udara (fauna di darat dan udara)
Kisah Penciptaan Menurut
Suku Dayak Ngaju (Kalimantan Tengah)
Menurut
mitos penciptaan Batang Garing [8] dituturkan bahwa pada suatu waktu
penguasa alam atas bernama Ranying Mahatara Langit bersama istrinya Jatawang
Bulau, penguasa alam bawah, sepakat untuk menciptakan dunia, dengan diawali
penciptaan Batanging (pohon kehidupan). Batang, dahan, tangkai, daun,
buah-buahan Batang Garing ini semuanya terdiri dari berbagai jenis logam dan
batu mulia. Jata kemudian melepaskan burung Tingang betina (Enggang betina)
dari sangkar emasnya. Burung itu kemudian terbang, lalu hinggap dan menikmati
buah-buahan Batang Garing. Bersama dengan itu, Mahatara melemparkan keris
emasnya, lalu menjelma menjadi enggang jantan yang disebut Tembarirang. Tembarirang
ini pun hinggap dan menikmati buah-buahan Batang Garing. Kedua burung Tingang
lain jenis ini saling iri dan cemburu. Akhirnya terjadi perang suci. Pertempuran
maha dasyat ini menghacurkan Batang Garing dan kedua burung itu sendiri. Dari keping-keping
kehancuran inilah tercipta kehidupan baru, alam semesta dan segala jenisnya.
Dari
kehancuran tadi tercipta pula sepasang insan. Sang wanita bernama “Putri
Kahukum Bungking Garing” (Putri dari Kepinagan Garing) dan sang pria bernama “Menyamei
Limut Garing Balua Unggon Tingang” (Sari Pohon Kehidupan yang dipatahkan oleh
Tingang). Masing-masing insan ini memperoleh perahu: untuk sang wanita perahu
brenama Bahtera Emas (Banama Bulau), dan untuk sang pria perahu bernama Bahtera
Intan (Banama Hintan). Kedua insan ini kemudian menikah dan mendapatkan
keturunan pertama berupa babi, ayam, kucing dan anjing. Keturunan kedua
berwujud manusia, yaitu Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen dan Maharaja Buno. Melewati
beberapa peristiwa, akhirnya ditetapkan bahwa putra pertama, Maharaja Sangiang
menempati alam atas, tinggal berama Ranying Mahatara Langit, dan merupakan asal
usul segala Sangiang (Para Dewa). Putra kedua, Maharaja Sangen mendiami suatu
daerah bernama Batu Nindan Tarung, yang menjadi sumber segala kepahlawanan. Sedangkan
Putra ketiga, Maharaja Buno menempati bumi, dan menjadi moyang pertama manusia.
Sejumlah
mitos yang telah dipaparkan secara ringkas memperlihatkan satu raut persamaan
yang sangat mencolok, bahwa seluruh proses penciptaan terjadi menurut
Perkawinan Kosmis. Prinsip-prinsip maskulin selalu didampingi oleh yang
feminin, apakah itu dilambangkan dalam wujud burung, pohon ataupun bulan,
matahari dan sebagainya. Di pihak lain, kita menemukan pula suatu sisi yang
memperlihatkan proses penciptaan itu terjadi melalui polarisasi, pertentangan
ataupun perbenturan: kehidupan – kehancuran kehidupan. Tetapi mitos penciptaan
tidak hanya melalui suatu perkawinan kosmik tetapi ada pula yang memperlihatkan
tradisi lain. Sebagai contoh kita lihat mitos di kalangan suku Kanayatn
[9] yang mengisahkan bahwa suatu ketika Moyang Maha Penguasa
bersin maka terciptalah danau/air amutn
(embun) dan danau/air duniang. Amutn adalah perempuan dan Duniang adalah
laki-laki. Kemudian ia bersin lagi, lalu terjadilah kabut embun (perempuan) dan
kerangka daun (laki-laki). Ia bersin-bersin maka terjadilah lautan yang paling
indah. Maka terjadilah bahwa kabut embun mengendap di suatu pulau datar dan
mengembang menjadi suatu tubuh, sedangkan kerangka daun melekat di sebuah
gunung dan mengereas menjadi tulang. Lagi-lagi ia bersin dan terjadilah
kesejukan lumpur dan tulang daun, anak-anak perempuan dan anak-anak laki-laki. Di
dalam tradisi ini, tidak ditemukan perlakuan seksual antara pasangan. Si Pencipta
menjadikan manusia melalui bersin yang maha dahsyat. Dalam mitos ini,
penciptaan terbebas dari konsep perkawinan kosmis. Namun yang tercipta itu
tetap berada dalam pasangan perempuan dan lelaki.
Foot note:
[1] (Mattias Leubscher. 1977,222)
[2] (Mattias Leubscher. 1977,224-225)
[3] (Herman Vierling. 1990,117)
[4] (Herman Vierling. 1990,208)
[5] (Herman Vierling. 1990,209)
[6] (Mattias Leubscher. 1977,227-229)
[7] (Mattias Leubscher. 1977,Ibid)
[8] (Fridolin Ukur. 1871. 35-37)
[9] (Herman Vierling. 1990,213-214)
Daftar Rujukan:
[1]] Leubscher, Mattias. 1977. Iban und Ngaiu: Kog nitive Studie Zu Konvergenzen in Weltbild und Mythos. Tom Harrison zur Gedaechtenis.
[2] Ukur, Fridolin. 1871. Tantang Jawab Suku Dayak. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
[3] Vierling, Herman. 1990. Hermeneutik Stammeresreligion, Interkulturelle Komunikation bei den Kendayan, Goetersloher Verlaghaus, Gerd Mohn.
Kisah Penciptaan Alam Semesta Menurut Suku Dayak
ADAT MATIView Kuburan Dayak Engkadin
Kalau urang lawang merintah huluan menyioh
Yang
pertame adelah urang di jalanan lanjat locang susol alam, sumpetan kate di buhu
tembilaan di punggong bahwe mengatean, urang mati hilang rusak patah, darah
pulang ke kumpang napas pulang ke angen.
Setelah
diadean lanjat locang susol alam ke wak adi dulor sanak yang berkoetan di
kampung laen laman bukan, barok diadean turok himpor bujor pojam, baroklah
dirancang lancang rarong lapek alas
sarong berangke, setelah jadi lapek alas sarong berangke kerene nye’e Domong, diulahlah ukom katenye besohet
mati katenye bepampai, jadi di dalam ukom besohet mati bepampai, kerene nye’e
lawang kate merintah kehuluon nye’e menyioh, ke pucok nye’e meulor kebabah nye’e
membuat, diulahlah gantang katenye tinggi sifat katenye raye, tajau hondak
besopoh koyen hondak beragi.
Biasenye
kalau domong hukom sohet mati pampainye, adelah yang disobot huropannye:
v 3 koti atau
tajau sembilan
Uan sengkolan pepalet:
v Manok burong, tuak
tambol, pinggan mangkok, cukop segale sampon semue.
Kerene nye’e lawang merintah huluan menyioh, dengan
ketentuan adat hukom sohet mati pampai adelah:
v 3 koti ata tajau
sembilan
Ditontuan pade hari malamnye, ditontuan kepade waktunye
itulah urang lawang merintah huluan menyioh, udah sampai mayat kate tekubor
bangkai kate tepondam, itu jugak maseh diadean uyong unsi 3 hari 3 malam, maseh
keluar makan pakai, undang suap, lowok lulu, rompah gangannye, tidak kurang
kate sepatah, tidak cupat kate sebigek, itu adelah adat urang mati hilang rusak
patah, sobabnye yang lawang merintah hulum menyioh, tetapi kalau urang hanye ke
hulu mudik ke hilik undor lawang perintah haluan siohon adatnye adelah Sekuti 5 Lese atau paleng tinggi 2 kuti, itu pon diliat dari ulah gawi tempe jawatan lapek alas sarong
perangke ade peringkatnye.
Di dalam sengkolan pepalet manok burong, tuak tambolnye,
andai kate lampek alas sarong perangkenye terbuat dari kayu lompong itu
hanyelah Manok 5 (lime). Tetapi kalo
dari belian sengolan pepaletnye Manok 7
(tujoh), itulah sengkolan pepalet urang mati rusak patah, yang sifatnye
urang hanya lawang perintah huluan siohon hulu mudik ke hilik undor.
Akan tetapi walaupon nye’e hanye lawang perintah huluan
siohan, hanye galah kate menajak ke pengayoh katenye mengibaran, kalau minum
tuhe kayas, mati kene sudah belantek, tidak mati lantaran nye’e saket, sarak
lantaran beconggel, itu juga peringkatnye cukop bosar yaitu 9 koti atau 12 buah tajau.
Adat Mati Suku Dayak Engkadin (Bahasa Engkadin)
Adat Nikah Suku Dayak Engkadin |
Adat Menobas Tanah Menube Aek
Yang pertame kita adean adat sapat tohon, tohon betokok musim belipat atau adat sapat tohon, berarti lakau hondak
menobas, rumah hondak menajak, yang diadean di bulan 3 (tige/tiga). Setelah
diadean ritual ke Duate, kite menalau ke sengiang kite menyorok tanah hondak
bepadi lontan hondak bepulot, itu dilaksanean oleh urang yang disobot Belian Duate.
Setelah diadean adat Sapat Tohon yang disobot juga’ labeh seperupak pincong oleh Belian Duate, kemudian diadean memanggor mburongan tanah akai tanah
bepadi lontan bepulot, hundang besayang, robong bepucok, aek be’ikan, setelah
selosai melaksanean adat Sapat Tohon, baroklah ke kayu kite buleh menobas, ke
akar kite buleh memincap, ke kayu buleh menobang, bearti kite menobang menobas,
meulah laku hume.
Setolah kemarau panjang solatan beupupot, baroklah kite
mencucol meanggor, meadean lakau di ladang, hutan disokat golak api menorak ke
rimbe ke ruyon, golak api menorak ke hutan, hutan be sitan, tanah begane,
lubang langkang, aek bulan, batu bosar, kruaye tinggi golak jadi barau bahop,
barau binase, tanah cade bepadi lontan cade be pulot.
Mencucol kite minte kompos, tugal minte terinsap,
baroklah menugal menujak, menugal mematar tanah, memboneh mbilang lubang,
kurang pemboneh tulong penugal, kurang penugal tulong pemboneh, setolah cukup
umur padi, kurang lobeh sebulan barok kite meadean tobos menyangsang, golak padi kite kene pangau bongas, lomeng
kepuyu, hulat karau, kene barau bahop, barau binase, tugal kate dibasok habu
dibalek, setolah onan kite menungguan tohon
kate tesantang, musim kate temakan, barok kite meadean Adat Makan Tohon.
Di situ kite mematek porang beliong, meonjok hutang
membayar duse, tohop kate tesantang, musim kate kite temakan, belakau kite
dapat padi, berumah kite buleh rogak, setelah kite melaksanakan adat makan
tohon, buat kate kerogak, padi kate kite jurong artinye itu disobot meunjang semangat
padi, yaitu akai diburi dolat berokat, akai dimakan tidak tuhu habes, diutek
tidak tuhu luak.
Itulah jonjangan adat Belakau Behume Betohon Betongah, ke Lakau kite menobas ke rumah kite menajak.
2.
Adat Menajak Rumah
Ke tihang Menajak, Ke tungkat Merancong.
Saat kite hondak menujak rumah, diulah tampung tawar mate
kunyet. Dalam pelaksanean menajak rumah, kite tanam temiang tubuh salah,
sengkubak tohek bosi, golak tekene ke hutan besitan, tanah begane, lubang
langkang aek bulan, batu bosar kruaye tinggi, golak idok tidak dapat ninde,
makan tidak dapat konyang.
Setolah rumah ditajak tihang dirancong, kite adean Adat Menoyeki Rumah, diadean sengkolan pepaleet artinye diadean adat
jalan gondar ke titian tajau kete besopoh koyet beragi, kemudian kite adean
begondang betaboh memangkong ke tetawak, berareh ke gamalan, memukol ke
gondang. Kemudian diadean begolar belangke dan sengkolan pepalet.
Kalau rumah semerge belian songkalannye manok 2 x 7 : 14, setolah manok dibunoh tampong tawar di ator,
barok kite measal belian, asal belian adelah belian tulang tanah lambe langkang ari anggai sidi belian jage
belian, urang betinjang bangkai bongkak, urang bediri bangkai mati. Kemudian
diadean lagek sengkolan pepalet yaitu rumah dibunoh golaknye menyakit memboji,
golakye melaye melepe, baroklah diadean begolar belangke, diulah tomang
kiyamber barok besuroh adat jalan gondar ketitian, kepade dukon yang menoyeki
rumah/membunoh rumah.
Dengan ukoran Tajau sebuah (1), koyen selambar (1), Beliong seputengan (1), Manok seikok (1), itulah adat menoyeki rumah.
3.
Adat Nikah Kawen Konsal Jadi
Hondak Dipejadi Olay Diperasak, Kayu Bepenyundong Akar
Bepelompat, Hondak Urang Due Olay Urang Seurang.
Yang pertame adelah pinte pinang tawar unos, royeh
pangkot utek ambek dari sebolah lelaki, jadi diadeanlah sireh behemboyang
pinang pinang penggatop, dengan barang pakai anggauan artinye golang, cincin, pupor bincu. Dikumpolanlah
kampong sebuah domong manter, sirah dedalah, wali pemili, anak apang, bahwe
urang tersebut adelah urang kaye kate bepenyundong akar bepelompai, punye
kombang karong bunge mate.
Setolah onan dari pihak kampong, dari pihak domong, bulak
dapat membonaran, tabar dapat membisean, kerena nampak sudah besandu, torang
sudah besuloh kemudian dipetunangan dan diadeanlah sebuah perjanjian, kalau
batal:
v Dari pihak
betine hukumnye :
Tajau 4 (ompat) buah
v Dari pihak
lelaki hukumnye :
Tajau 4 (ompat) buah
Kalau seandai kate
buntak balang kepalang, lancang balek di api.
Yang kedue diadean lagek janji semaye bahwe, nikah kawen
onsal jadi, manok kate dimatian, tuak kate ditumpahan, dengan sekian bulan atau
sekian ari, sohet gantong paku lantak. Udah
pade saatnye urang hondak udah bise dipejadi, urang olay sudah diperasak,
diadean manok kate mati tuak kate tumpah, jalan ke rumah, aek ke buket, ke
pucok udah bekesamboran, kebabah udah bekelombahan di situ juga diburi sanksi:
v Kalau membuang
dari betine hukumnye Tajau 4 (ompat) buah
v Kalau membuang
dari lelaki hukumnye Tajau 4 (ompat) buah.
Kerene ape sebab kate hondak urang 2 (due); olay urang
seurang, buloh due kayok mengke bekisel, golang 2 (due) bontok mangke besontek,
itulah di urang totak tongah bagi due. Tetapi kalau andai kate nasek licak gangan tabai itu prosesnye
adelah lain lagek hukumnye pade yang ditontuan di nikah kawen konsal jadi, itu
ade pertimbangan-pertimbangan kusos sesuai uan ape kesalahan dalam rumah
tangge.
Begitu jugak di dalam nikah kawen konsal jadi, andai kate
urang lontan di kalang powoh dibolah hanyelah sohet seci pakau genggalang,
tetapi kalau urang sumbang salah bingkok kilas, yang pertame sumbang hondak
diupas, hantuan hontak ditetambei itu meningkat.
Adat Hidup Suku Dayak Engkadin (Bahasa Engkadin)
Pada saat itu, ada semacam sayembara atau pemberitaan mengenai peperangan kecil. Orang yang disebut sebagai Panglima Rangge Cucoh tersebut memenangkan sayembara yang diadakan di Sanggau. Selanjutnya, orang Kengkodian kemudian pindah ke Belian Lokoh.
Di sana lahir pula seorang yang disebut sebagai Pang Campoy. Selanjutnya, dua orang tersebut yakni Panglima Cucoh dan Pang Campoy bergabung menjadi satu komunitas. Disebutkan bahwa Cucoh memiliki gelar Rangge Cucoh sementara Campoy bergelar Pang Campoy.
Pang Campoy juga merupakan seorang panglima karena berhasil menumpas pengayau (pencari kepala). Di zaman itu, orang Kengkodian sering diserang pengayau atau orang yang membunuh untuk mencari kepala. Oleh karena Pang Campoy, tidak ada satupun orang Kengkodian yang gugur dalam pertempuran. Malahan, para pengayau tersebut yang habis ditumpas. Maka dari itu, setiap kali Pang Campoy menumpas pengayau, ditaruhnyalah kepala para pengayau itu dan digantung di Belian Kikipan. Hingga saat ini, Belian Kikipan tersebut masih ada dan dapat ditemukan bukti batang beliannya di bagian kiri hulu Sungai Kasai.
Setelah Rangge Cucoh dan Pang Campoy bersatu, orang Kengkodian berpindah kampung halaman ke Tembawang Longkay. Saat itu, orang Kengkodian memiliki pantangan. Sungai Batang Kengkodian tidak bisa atau tidak boleh dituba’ (diracun untuk mencari ikan). Akan tetapi, karena ada kesepakatan dari beberapa orang Kengkodian yang tidak percaya akan pantangan tersebut, dituba’lah Sungai Batang Kengkodian tersebut. Pada saat menuba’, tidak ada satupun ikan yang mati. Yang cukup mengherankan adalah munculnya ular sawa’ yang muncul dari sungai karena keracunan. Maka dari itu, ular sawa’ itu kemudian dijadikan lauk dan disantap oleh semua orang Kengkodian yang saat itu sedang menuba’. Jadi ular sawa’ itu dipukul kepalanya dan dibawa ke Jelapang Jurong. Naasnya, sebanyak orang Kengkodian yang makan ular sawa’ itu, tidak ada satupun yang hidup setelah memakannya.
Syukurnya, masih ada satu keluarga penduduk kampung yang di Lakau. Mereka inilah yang memberi tahu kepada orang kampung bahwa orang-orang Kengkodian tewas setelah memakan ular sawa’ yang telah dituba’ dari Sungai Batang Kengkodian. Sejak saat itu hingga saat ini, Sungai Batang Kengkodian tidak boleh atau dilarang untuk dituba’.
Setelah itu, orang Kengkodian yang tersisa, pindah lagi dari Tembawang Longkay ke Senibung Tanah Tarah Silengan Titi Ganjek (atau sekarang disebut Laman Tuhe). Orang ramai berduyun-duyun menggunakan sampan hingga tiga buah. Semuanya penuh berisikan laki-laki dan perempuan masing-masing tiga puluh orang laki-laki dan tiga puluh orang perempuan.
Selanjutnya, orang Kengkodian pindah kampung lagi ke sebuah tempat yang disebut kampung Tanjung Pandan (Laman Lambat). Sampai sekarang orang Kengkodian hidup bersama, bertempat tinggal di sisi sungai Batang Kengkodian atau Dimare Kasay yang saat ini disebut sebagai Engkadin. Itulah asal usul kampung atau perdukuhan orang Kengkodian sejak dahulu hingga saat ini dari kampung halamannya hingga orang-orangnya.
Daftar Rujukan:
[1] Petinggi Adat Dayak Dusun Engkadin, 2019. Adat dan Hukum Adat Dayak Tayap Sekayok Sub Suku Dayak Dusun Engkadin. DAD Tayap: Nanga Tayap