Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya
Juni 08, 2013
Ilustrasi |
Suatu ketika di betang itu dilaksanakan upacara balian. Upacara ini dilakukan untuk melaksanakan pengobatan pada salah seorang warga betang itu yang sakit keras. Di tengah betang dibuat sebuah sangkai puca.
Sangkai puca ini bahannya dari berbagai dahan kayu yang masih lengkap, dengan daunnya, diikat tegak seperti pohon kayu. Dahan kayu yang digunakan adalah pohon beringin karena lambat layu daunnya lagi pula rimbun serta serasi.
Setiap malam ramai orang makan minum dan menari serta menyanyi karungut. Namun Tombong dan istrinya yang tinggal dalam kamar yang paling ujung tidak pernah mau keluar dan ikut ambil bagian dalam kegiatan tersebut.
Pada suatu hari pagi-pagi sekali Tombong sudah pergi untuk berburu. Kepada istrinya Tombong berkata : “ Ingei sepeninggalku pergi ini jangan sekali-kali kamu keluar dari kamar. Tidak usah kamu ikut biar hanya melihat upacara itu.” Pesan ini diucapkan Tombong karena seorang pencemburu. Memang Ingei seorang wanita yang cukup rupawan.
Sepeninggal Tombong Ingei sangat penasaran. Di luar kamarnya terdengar sorak sorai penuh kegembiraan. Gong dan gendang bertalu-talu. Laki-laki perempuan, tua muda ramai manasai mengelilingi sangkai puca.
Pikir Ingei dalam hatinya : “ Aku mengira tak apalah jika aku melihat keramaian itu.” Ia hanya berniat untuk menonton sebentar saja dan sementara menunggu Tombong pulang.
Ternyata Ingei lupa pulang kembali ke kamarnya , saking asyiknya menonton orang yang manasai itu. Ia tak tahu kalau Tombong cepat pulang dengan hasil buruannya seekor Kalasi.
Tombong sangat marah ketika mengetahui istrinya tidak berada di dalam kamar mereka. Ia menduga sudah pasti istrinya menonton upacara balian itu.
Dengan jengkel Tombong memberi pakaian bangkai kalasi itu. Dipakaikannya Cawat , baju sangkarut dan kopiah sampahangang. Tombong lalu mengendong bangkai kalasi itu menuju ke tengah betang, Saat ramainya orang manasai. Semua orang heran melihat kelakuannya itu, tapi tidak ada seorangpun berani menyapanya.
Dilihatnya istrinya duduk diantara orang banyak dengan bengong tanpa berani membuka mulut. Bangkai kalasi itu dilemparkannya ke atas sangkai puca, lalu ia kembali ke kamarnya.
Orang banyak heran, bangkai kalasi itu hidup kembali dan memanjat naik ke atas puncak sangkai puca. Orangpun ribut menyaksikan kejadian itu. Sebagian ingin membunuhnya dan mulai mengepungnya.
Tiba-tiba hari yang cerah berubah menjadi gelap pekat. Angin bertiup kencang , kilat dan petir menyambar-nyambar. Betang itu beserta seluruh penghuninya berubah menjadi sebuah gundukan batu besar. Hanya Ingei yang masih hidup, tetapi ia terkurung dalam batu itu. Kelihatan batu itu seperti kamar, tanpa pintu dan hanya ada sebuah lubang kecil sebesar lengan.
Beberapa tahun berlalu setelah peristiwa itu. Jika terdengar ada suara orang melewati tempat itu Ingei lalu mengulurkan tangannya meminta makanan. Kadang kala ia bersedia menjahit pakaian orang – orang yang menolongnya asal menyediakan kainnya sendiri, benang dan jarumnya. Jahitan tangannya Ingei sangat halus dan rapi. Beberapa kali orang telah mencoba untuk membantunya keluar dari lobang itu. Mereka memahat lubang kecil itu memperbesarnya agar Ingei dapat keluar.
Tapi mereka keheranan batu itu bagai bernyawa. Setiap tercongkel sebuah bongkahan sebesar itu pula bergerak menutupi bagian yang telah tercongkel tadi. Begitulah keadaannya hingga lubang seperti besarnya semula. Seorang yang penasaran saking jengkelnya lalu menusuk Ingei denga sepotong kayu.
Sejak saat itu tidak pernah lagi terlihat lengan Ingei keluar. Ia takut memperlihatkan dirinya dan tak mau lagi berhubungan dengan orang lain. Apakah ia terluka dan meninggal dunia tak seorangpun yang mengetahuinya .
Sejak saat itu gundukan bukit batu itu lalu dinamakan orang “ Batu Lowang Ingei “. Artinya batu lubang Ingei. Letaknya dihilir desa Tumbang Jala, termasuk wilayah Kecamatan Sanaman Mantikei Kabupaten Kotawaringin Timur.
Kembali pada Tombong suami Ingei , ketika hari telah menjadi gelap ia pergi berkayuh ke seberang sungai lalu berlari ke dalam rimba. Petir menyambar mengikutinya berlari tanpa tujuan mencari tempat berlindung.
Akhirnya ia sampai ke tepi sungai Baraoi anak dari sungai Samba. Ketika ia melompati sungai itu dengan maksud menyeberanginya pada saat itu pula petir menyambar tubuhnya yang langsung berubah menjadi batu. Lalu jatuh di tengah sungai itu. Batu itulah yang disebut orang Batu Tombong. Yang terdapat dekat desa Tumbang Baraoi sekarang ini. Demikianlah cerita Batui Lowang Ingei.
sumber : www.aldrian076.blogspot.com
http://www.ceritadayak.com/2010/03/batu-lowang-ingei.html