Posted by : Fr. Fransesco Agnes Ranubaya, Pr Januari 24, 2022

Ilustrasi Burung Enggang Gading

Kisah Penciptaan Menurut Suku Iban


Pada awal mulanya yang ada hanya ada air (laut) asali. Di atas laut asali ini melayang-layang Ara dan Iri, dua keilahian yang mengambil rupa dua ekor burung, laki-laki dan perempuan, jantan dan betina. Secara bersama Ara dan Iri menciptakan dua substansi berbentuk telur raksasa. Dari kedua telur raksasa ini tercipta langit dan bumi [1]. Nama Ara di sini dapat berarti: mengembara, berkelana, keluyuran; pohon ara (sejenis Ficus indicus), menabur atau menyebarkan.


Dalam hubungan antara pohon dengan burung, ada sebuah mitos yang menuturkan tentang Sengalang Burong [2]. Dituturkan tentang seorang bernama Siu yang pergi berburu sepanjang hari tanpa mendapat seekor burungpun. Ketika hari sudah mulai malam ia menemukan sebatang pohon ara liar. Di situ hinggap banyak sekali burung yang belum pernah ia kenal selama ini. Segera ia mengumpulkan burung-burung itu sebanyak mungkin, hampir-hampir tak bisa dipikulnya, dan ia bermaksud datang kembali setelah burung yang dikumpulkannya itu dibawanya pulang. Namun, dalam perjalanan pulang ia tersesat dan akhirnya sampai ke sebuah rumah panjang yang hanya dihuni oleh seorang wanitam puteri Sengalang Burong. Siu diterima dan diwajibkan berjanji untuk tidak menceritakan kepada siapa pun tentang rumah panjang itu, yang adalah miliki Sengalang Burong. Atas perjanjian itu, mereka menjadi suami istri. Putera mereka bernama Seragunting, juga disebut Surong Gunting. Kepada Seragunting inilah kemudian diturunkan oleh Sengalang Burung semua pengetahuan dan cara yang baik berladang, berburu, melaksanakan berbagai upacara pesta adat, mengayau, memahami tanda-tanda dan lain sebagainya. Aturan-aturan inilah yang kemudian diturunkan dan dilaksanakan dengan setia oleh Suku Iban.


Mitos ini memperlihatkan bahwa Sengala Burong itu pemimpin dari semua burung pertanda (pemberi tanda) yang menuntun langkah Siu sampai menemukan ara, kemudian membuat Siu kehilangan orientasinya sampai ia menemukan rumah panjang kediaman Sengalang Burong, lalu menikah dengannya. Dalam hal ini maka pohon ara dilihat sebagai sandi mitologi, yang menandai batas antara dunia hunian manusia dengan dunia para ilahi.


Di dalam banyak mitos suku-suku Dayak, kita menemukan bahwa jalan masuk ke dan jalan keluar dari dunia dilambangkan sebagai sungai atau air dan pohon atau tonggak. Dari mitos tadi, jalan tersebut adalah pohon ara. Pohon ara ini merupakan garis batas. Dari sinilah Siu melangkah, meninggalkan lingkungan manusiawi dan memasuki ilahi, yang dilambangkan pernikahannya dengan puteri Sengalang Burong. Melalui kelahiran Seragunting, dimulailah genealogi makhluk mitis dengan kodrat ilahi, yang dalam garis keturunan selanjutnya melahirkan makhluk mitis dengan kodrat manusiawi sebagai nenek moyang suku Iban. Titik batas antara dunia ilahi dengan dunia roh di dalam mitos ini dilambangkan secara teritorial oleh pohon ara dan secara genealogis oleh tokoh Siu.


Kisah Penciptaan Menurut Suku Dayak Kanayatn


Di dalam salah satu mitos kejadian alam semesta di kalangan suku Kanayatn [3], dikisahkan bahwa pusat alam semesta ini ada sebuah “pusaran air pohon kelapa” (pusat ai’ pauh janggi). Inilah pohon kehidupan, daripadanyalah segala sesuatu tercipta dan kepadanyalah semua akan kembali. Di kalangan suku Kanayatn tampaknya yang memegang peranan penting dalam proses kejadian semesta adalah perkawinan kosmis. Dalam awal turunan sebuah mitos (Vierling, ibid) dikatakan demikian:


Kubah langit dan bulan bumi (kulikng langit dua putar tanah) memperanakkan; Sino Nyandong dan Sino Nyoba, memperanakkan; Si Nyati puteri bulari dan terpaiwar putera matahari (Si Nyati anak Balo Bulant, Tapancar anak Matahari), memperanakkan; Kacau Balau dan Badai (iro iro dan Angin angin)


Dari penuturan awal ini kelihatan dari perkawinan kosmis pertama, yaitu antara langit dan bumi muncullah pasangan selanjutnya, yaitu bulan dan matahari, yang kemudian melalui suatu polarisasi kekerasan melanjutkan proses penciptaan. Dari salah satu rumus doa persembahan dapat ditemukan suatu fragmen yang melukiskan keadaan awal yang serasi antara langit dan bumi. “Padamula pertama bumi itu indah seperti tikar di langit, seperti payung terbuka. Saedo adalah nama bumi dan Saeda nama langit. Bumi pun berguncang dan langit gemetar.” [4]:


Kacau Balau dan Badai, memperanakkan; udara mengawang dan embun menggantung (uang-uang dan Gantong Tali) memperanakkan; Pandai Besi dan Sang Dewi (tukang Nange dua Malaekat) memperanakkan; Segala air dan segala sungai (Sumarakng ai, sumarakng sunge) memperanakkan; Bambu dan Pepohonan (Tunggur batukng dua mara puhutn) memperanakkan; Tumbuhan merambat dan umbi-umbian (Antayut dua Barujut) memperanakkan; Kesejukan Lumpur dan Tulang Iga (popo’ dan rusuk)


Kemudian dalam penuturan sejarah yang lain dijelaskan hawa kesejukkan lumpur itu adalah isteri sedangkan Tulang Iga adalah sang suami. Mereka ini mempunyai anak: Anterber dan Galeber, yang dianggap sebagai nenek moyang suku Kanayatn [5].


Kisah Penciptaan Menurut Suku Dayak Kenyah (Laubscher, 227)


Di kalangan suku Kenyah ada mitos yang menceritakan bahwa ilahi perempuan yang bernama Bungan Malan menciptakan manusia dari Kayu Aran (pohon ara). Kayu Aran tadi baru tercipta menjadi manusia setelah ia dibenihi (dibuntingi) oleh angin yang masuk ke tanaman merambat melalui sebuah torehan pada kayu aran tadi. Dari cerita tradisi ini, kayu aran menjadi lambang kehidupan bagi manusia dan memiliki nama “kayu udiep” (=pohon kehidupan). Dari mitos ini tampak bahwa angin sebagai daya penggerak yang membawa kehamilan pada kayu aran sebagai unsur laki-laki, sedangkan kayu aran sebagai unsur perempuan.


Antara Iban dan Kenyan ada persamaan dalam suatu mitos yang menyangkut Raja Petara [6]. Dalam mitos ini dikisahkan bagaimana Raja Petara (Raja Entala) bersama istrinya menciptakan langit dan bumi dari daki yang melekat di tubuh mereka. Namun rupanya bumi lebih besar daripada langit, sehingga dijadikannya sungai, gunung, bukit, lembat, dataran, lalu ditumbuhkan sayur-sayuran, rumput dan pepohohan. Dikatakan pula bahwa Raja Petara bersama istrinya memiliki pohon pisang yang disebut Pisang Rura. Burong Iri (k) melayang-layang di atas air. Kemudian mereka ini bersatu (kawin)l dari sinilah asal mula segala jenis ikan. Kemudian Raja Petara bersama istrinya membentuk pohon pisang jenis lain dari tongkat akar yang disebut Pisang Bangkit, sepasang manusia menurut gambar mereka. Untuk darah diambilnya getah pohon Kumpang yang memang berwarna merah. Istri Raja Petara berseru kepada ciptaannya ini maka hiduplah mereka. Kedua insan ini, yang laki-laki bernama Telikhu’ dan yang perempuan bernama Telikhai’.


Kalau kita bandingkan Pohon Aran di kalangan Suku Kenyah yang mewakili kodrat perempuan, yang melalui suatu perlakukan seksual dengan angin melahirkan kehidupan, maka Pisang Rura pada suku Iban ini mewakili prinsip laki-laki yang melalui perlakuan seksual dengan Burong Iri melahirkan kehidupan.

Pohon Ara dilihat sebagai asal muasal segala jenis flora, sedangkan Pisang Rura adalah sumber jenis fauna. Memang secara khusus disebut sebagai keturunan Pisang Rura adalah jenis ikan dan tidak disebut-sebut jenis binatang lainnya. Dalam kebudayaan Dayak pada umumnya air atau sungai memegang peranan penting. Hampir di semua suku ada mitos yang menempatkan air atau sungai sebagai unsur penentu dalam suatu peristiwa penciptaan. Sebab itu, penghuni sungai mengambil kedudukan cukup penting.


Raja Petara di dalam mitos lainnya [7] dilihat sebagai yang tertinggi dari dunia ikan, yang memputra putri Pulang Gana dan Rajah Jewata. Di mereka berdua masih terdapat lima bersaudara. Berarti mereka semua ada tujuh bersaudara. Dalam nomor urut, biasanya pertama yang laki-laki ke perempuan, demikian seterusnya secara bergiliran. Yang menarik dalam versi ini ialah yang disebut dengan asal-usul bukanlah yang laki-laki, tetapi perempuan. Hal ini dapat kita lihat:


a)      Putri pertama (anak kedua), Rajah Jewata, asal makhluk air (fauna di bawah)

b)      Putri kedua (anak keempat), Siti Permain, asal dari tumbuh-tumbuhan (flora darat)

c)      Putri ketiga (anak keenam), tanpa nama, asal dari binatang di darat dan udara (fauna di darat dan udara)


Kisah Penciptaan Menurut Suku Dayak Ngaju (Kalimantan Tengah)


Menurut mitos penciptaan Batang Garing [8] dituturkan bahwa pada suatu waktu penguasa alam atas bernama Ranying Mahatara Langit bersama istrinya Jatawang Bulau, penguasa alam bawah, sepakat untuk menciptakan dunia, dengan diawali penciptaan Batanging (pohon kehidupan). Batang, dahan, tangkai, daun, buah-buahan Batang Garing ini semuanya terdiri dari berbagai jenis logam dan batu mulia. Jata kemudian melepaskan burung Tingang betina (Enggang betina) dari sangkar emasnya. Burung itu kemudian terbang, lalu hinggap dan menikmati buah-buahan Batang Garing. Bersama dengan itu, Mahatara melemparkan keris emasnya, lalu menjelma menjadi enggang jantan yang disebut Tembarirang. Tembarirang ini pun hinggap dan menikmati buah-buahan Batang Garing. Kedua burung Tingang lain jenis ini saling iri dan cemburu. Akhirnya terjadi perang suci. Pertempuran maha dasyat ini menghacurkan Batang Garing dan kedua burung itu sendiri. Dari keping-keping kehancuran inilah tercipta kehidupan baru, alam semesta dan segala jenisnya.


Dari kehancuran tadi tercipta pula sepasang insan. Sang wanita bernama “Putri Kahukum Bungking Garing” (Putri dari Kepinagan Garing) dan sang pria bernama “Menyamei Limut Garing Balua Unggon Tingang” (Sari Pohon Kehidupan yang dipatahkan oleh Tingang). Masing-masing insan ini memperoleh perahu: untuk sang wanita perahu brenama Bahtera Emas (Banama Bulau), dan untuk sang pria perahu bernama Bahtera Intan (Banama Hintan). Kedua insan ini kemudian menikah dan mendapatkan keturunan pertama berupa babi, ayam, kucing dan anjing. Keturunan kedua berwujud manusia, yaitu Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen dan Maharaja Buno. Melewati beberapa peristiwa, akhirnya ditetapkan bahwa putra pertama, Maharaja Sangiang menempati alam atas, tinggal berama Ranying Mahatara Langit, dan merupakan asal usul segala Sangiang (Para Dewa). Putra kedua, Maharaja Sangen mendiami suatu daerah bernama Batu Nindan Tarung, yang menjadi sumber segala kepahlawanan. Sedangkan Putra ketiga, Maharaja Buno menempati bumi, dan menjadi moyang pertama manusia.


Sejumlah mitos yang telah dipaparkan secara ringkas memperlihatkan satu raut persamaan yang sangat mencolok, bahwa seluruh proses penciptaan terjadi menurut Perkawinan Kosmis. Prinsip-prinsip maskulin selalu didampingi oleh yang feminin, apakah itu dilambangkan dalam wujud burung, pohon ataupun bulan, matahari dan sebagainya. Di pihak lain, kita menemukan pula suatu sisi yang memperlihatkan proses penciptaan itu terjadi melalui polarisasi, pertentangan ataupun perbenturan: kehidupan – kehancuran kehidupan. Tetapi mitos penciptaan tidak hanya melalui suatu perkawinan kosmik tetapi ada pula yang memperlihatkan tradisi lain. Sebagai contoh kita lihat mitos di kalangan suku Kanayatn [9] yang mengisahkan bahwa suatu ketika Moyang Maha Penguasa bersin maka terciptalah danau/air amutn (embun) dan danau/air duniang. Amutn adalah perempuan dan Duniang adalah laki-laki. Kemudian ia bersin lagi, lalu terjadilah kabut embun (perempuan) dan kerangka daun (laki-laki). Ia bersin-bersin maka terjadilah lautan yang paling indah. Maka terjadilah bahwa kabut embun mengendap di suatu pulau datar dan mengembang menjadi suatu tubuh, sedangkan kerangka daun melekat di sebuah gunung dan mengereas menjadi tulang. Lagi-lagi ia bersin dan terjadilah kesejukan lumpur dan tulang daun, anak-anak perempuan dan anak-anak laki-laki. Di dalam tradisi ini, tidak ditemukan perlakuan seksual antara pasangan. Si Pencipta menjadikan manusia melalui bersin yang maha dahsyat. Dalam mitos ini, penciptaan terbebas dari konsep perkawinan kosmis. Namun yang tercipta itu tetap berada dalam pasangan perempuan dan lelaki.


Foot note:


[1] (Mattias Leubscher. 1977,222)

[2] (Mattias Leubscher. 1977,224-225)

[3] (Herman Vierling. 1990,117)

[4] (Herman Vierling. 1990,208)

[5] (Herman Vierling. 1990,209)

[6] (Mattias Leubscher. 1977,227-229)

[7] (Mattias Leubscher. 1977,Ibid)

[8] (Fridolin Ukur. 1871. 35-37)

[9] (Herman Vierling. 1990,213-214)


Daftar Rujukan:


[1]] Leubscher, Mattias. 1977. Iban und Ngaiu: Kog nitive Studie Zu Konvergenzen in Weltbild und Mythos. Tom Harrison zur Gedaechtenis.

[2] Ukur, Fridolin. 1871. Tantang Jawab Suku Dayak. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 

[3] Vierling, Herman. 1990. Hermeneutik Stammeresreligion, Interkulturelle Komunikation bei den Kendayan, Goetersloher Verlaghaus, Gerd Mohn.


Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © DAYAK TALINO - MENEMBUS PERADABAN - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -