Archive for 05/30/16

Pekan Gawai Dayak ke-XXXI tahun 2016 telah resmi dibuka pada 20 Mei 2016 lalu. Agenda budaya tahunan masyarakat Dayak yang merupakan ritual ungkapan syukur atas hasil panen ini dipusatkan di Rumah Radakng, dikemas dengan menampilkan berbagai acara kesenian, adat budaya maupun pameran produk kerajinan khas Dayak. Sebagai salah satu wadah pelestarian budaya, Gawai Dayak juga merupakan event pariwisata yang sangat menarik untuk dikunjungi. Hal ini terbukti dengan antusiasme ribuan masyarakat yang tumpah ruah saat rangkaian acara pembukaan dihelat. Beragam atraksi dan pawai budaya Dayak menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal maupun nasional yang hadir.

Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis, yang juga merupakan Presiden Majelis Adat Dayak Nasional (MADN). Hadir dalam pembukaan perwakilan Dewan Adat Dayak (DAD) dari berbagai daerah yang ada di Kalbar, maupun dari luar, termasuk perwakilan dari negara Malaysia. Pembukaan Pekan Gawai Dayak ini semakin meriah dengan parade karnaval keliling kota Pontianak. Puluhan kendaraan hias dan ratusan masyarakat yang mengenakan pakaian tradisional turut memeriahkan rangkaian karnaval.

Pekan Gawai Dayak yang pada tahun 2016 ini memasuki tahun ke-31 penyelenggaraannya, akan digelar hingga tanggal 27 Mei 2016. Sejumlah agenda akan digelar memeriahkan kegiatan seni budaya ini, seperti aneka perlombaan permainan tradisional Dayak. Perlombaan tersebut antara lain: lomba menyumpit, pangkak gasing, seni lukis tato, lomba tangkap babi, pahat patung dari bahan kayu, melukis perisai, lukis kanvas, menganyam manik, dan seni lukis tato.

Selain itu, pameran kerajinan tradisional dan kuliner, serta pementasan dan pertunjukan seni, lomba tari, lomba nyanyi lagu Dayak, lomba sastra lisan, peragaan busana, dan lomba busana kreasi anak-anak hingga tingkat dewasa, dipastikan akan memeriahkan Pekan Gawai Dayak XXXI tahun ini. Let's find out more about Dayak Culture on Gawai Dayak!

Sumber: Pontinesia

Pekan Gawai Dayak XXXI Pontianak

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 1 Comment

Suku Dayak Kayong, merupakan suatu kelompok masyarakat dayak yang terdapat di kabupaten Ketapang provinsi Kalimantan Barat. Pemukiman suku Dayak Kayong berada di beberapa kecamatan seperti di kecamatan Nanga Tayap, Aur Kuning, Sandai dan Tumbang Titi.

Istilah diduga berasal dari sebuah sungai yang bernama Muara Kayong yang berada di kecamatan Nanga Tayap.

Masyarakat suku Dayak Kayong berbicara dalam bahasa Kayong. Bahasa Kayong terdiri dari beberapa dialek tergantung wilayah perkampungan masing-masing, tetapi walaupun begitu di antara penduduk beberapa kampung tersebut dapat berkomunikasi dengan baik. Mereka berbicara satu sama lain dengan logat bahasa mereka masing-masing tetapi tetap bisa dipahami tanpa menimbulkan kebingungan satu sama lain.

Asal usul suku Dayak Kayong tidak diketahui secara pasti, karena suku Dayak Kayong tidak menyimpan catatan tentang perjalanan nenek moyang mereka dari tempat asalnya hingga sampai ke tanah mereka saat ini. Sedangkan legenda-legenda yang ada di antara masyarakat Dayak Kayong berbeda dengan legenda-legenda suku-suku Dayak di sekitar wilayah suku Dayak Kayong, sehingga tidak dapat ditemukan hubungan legenda antara suku Dayak Kayong dengan suku-suku dayak lainnya.

Sumber lain mengatakan bahwa Dayak Kayong berasal dari Kalimantan Tengah yang kemudian menetap di daerah Nanga Tayap tepatnya daerah Bukit Kuyu. Daerah Bukit Kuyu ini merupakan wilayah adat masyarakat Dayak Kayong yang berasal dari Kalimantan Tengah. Mereka menghuni kawasan hulu Kabupaten Ketapang, berbatasan langsung dengan Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Asal muasal mengapa Dayak Kayong berada di Nanga Tayap, karena leluhur mereka kala itu mencari daerah baru untuk dijadikan permukiman dengan menelusuri sungai.

Desa Sebadak Raya sendiri telah ada sejak 1800-an. Keluarga dari seorang narasumber bernama Edi sudah empat generasi tinggal di daerah tersebut saat masih berupa hutan rimba. Beberapa kepala keluarga, mendirikan rumah di daerah tersebut. Mereka membuka lahan di sekitar pemukiman untuk bercocok tanam. Jumlah penduduknya saat ini sekitar 2.000 jiwa, dengan sekitar 600 kepala keluarga. “Sebadak Raya juga dikelilingi tujuh buah sungai yaitu Intip, Sediung, Sekirik, Sendurian, Pampang Duo, Kebuai, dan Macian yang semuanya ini sebagai sumber air bersih warga,” ujar Edi.

Saat penjajahan Belanda, Sebadak Raya pernah mengalami regrouping dengan beberapa warga yang hidup di dekatnya. Tahun 1980-an, diubah menjadi dusun, karena wilayahnya dianggap kecil. Baru lah pada 1990-an, Sebadak Raya kembali ditetapkan menjadi Desa, dengan tiga dusun yaitu Kebuai, Tanjung Beringin, dan Tanjung Bunga.

Pada intinya kehidupan orang dayak sangat identik dengan alam. Maka, perlu disadari bahwa masyarakat adat Dayak secara umum adalah komunitas ekologis dimana keberlangsungan hidupnya sangat tergantung pada eksistensi alam yang ada.

Suku Dayak Kayong memiliki sebuah konsep agama yang bukan datang dari luar komunitas mereka, karena agama asli yang mereka yakini adalah kepercayaan dinamisme yang disebut juga dengan nama Preanimisme. Kepercayaan ini mengajarkan bahwa roh nenek moyang, tiap-tiap benda atau mahluk hidup mempunyai daya dan kekuatan yang diyakini mampu memberikan manfaat atau marabahaya. Menurut keyakinan mereka bahwa arwah nenek moyang selalu memperhatikan dan melindungi mereka, tetapi juga akan menghukum mereka jika melakukan pelanggaran adat. Juga kepercayaan terhadap semua benda yang terdapat dalam alam semesta mempunyai kekuatan, seperti hutan, tanah, air, sungai, danau, gunung, bukit, batu, kayu, dan benda-benda buatan manusia lainnya juga diyakini mempunyai kekuatan gaib seperti ponti’ (patung) dan jimat. Tetapi tradisi agama asli ini telah ditinggalkan oleh sebagian besar masyarakat suku Dayak Kayong, karena saat ini mayoritas masyarakat suku Dayak Kayong telah memeluk agama Kristen Katolik.

Masyarakat Dayak Kayong memiliki kepala adat sendiri sebagai kepala adat tertinggi yang bergelar Domong Adat atau Pateh (Pemimpin adat). Kepala adat ini mengatur dalam menyelesaikan berbagai perkara adat dan juga mengatur upacara-upacara yang menyangkut kepercayaan masyarakat setempat.

Masyarakat Dayak Kayong tidak terlepas dengan kehidupan masa lalunya yang akrab dengan kehidupan hutan. Segala sesuatu yang ada di hutan akan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mereka berburu, membuka ladang di tengah hutan, mencari kayu, menanam pohon karet untuk diambil getahnya, mencari rotan dan tengkawang. Hubungan orang Dayak Kayong dengan hutan merupakan hubungan timbal balik. Alam memberikan kemungkinan bagi perkembangan budaya orang Dayak, di lain pihak orang Dayak senantiasa mengubah wajah hutan sesuai dengan pola budaya yang dianutnya.

sumber:
http://www.mongabay.co.id/2015/05/10/batu-kuyu-dan-kearifan-masyarakat-sebadak-raya-menjaga-hutan/
protomalayans
liquari-kamseupaybekaro
kapuasmelayu
psbdkbedayong
wikipedia
dan sumber lain

Suku Dayak Kayong

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 2 Comments
Tag : ,

Penulis merupakan keturunan dengan garis darah yang masih berhubungan dengan seorang pahlawan Kalbar asal Meliau. Banyak yang tidak mengetahui asal-usul perang Majang Desa yang digemakan oleh Pang Suma dalam melawan penjajahan Jepang di Kalimantan Barat. Sayang sekali, sejarah tidak mencatat dengan baik sehingga anak cucu tidak mengetahui salah satu pahlawan besar Dayak pernah berjuang bersama rakyat untuk mematahkan kekuasaan Jepang di bumi Khatulistiwa.

Pang Suma (Panglima Menera) adalah anak ke 3 dari 6 bersaudara. Terlahir dengan nama Bendera bin Dulung atau ada juga yang memanggilnya Menera, adalah tokoh pejuang dari suku Dayak yang tinggal di Dusun Nek Bindang di tepian Sungai Kapuas Desa Baru Lombak Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau. Nama Pang Suma sendiri memiliki arti Bapak Suma. Panggilan dengan menggunakan Pang merupakan satu kebiasaan penduduk setempat memanggil nama orang tua dengan menyebut nama anaknya yang paling besar. Agar lebih sopan dan hormat dari pada menyebut nama langsung orang tersebut.
Konon Pang Suma berjuang dalam membebaskan negerinya dari penjajah hanya dengan berbekal keberanian dan sebilah Nyabur (sejenis mandau/parang panjang). Sebelum memulai perlawanan Pang Suma sudah menyebar “mangkok merah” sebagai tanda adanya ancaman terhadap orang dayak. Tetapi karena pada masa itu sulit komunikasi dan transportasi sehingga “berita” mangkok merah diterima terlambat oleh beberapa suku Dayak. Pang Suma sendiri berhasil mengumpulkan laskar perlawanan yang dinamakan Angkatan Perang Majang Desa.

Pada pertengahan Februari 1945 di komplek Nitinan, di sebuah kampung yang bernama Sekucing (Sekarang terletak  di lingkungan Benua Labai yang berada di batas antara kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau dengan Kecamatan Balai Bekuak Kabupaten Ketapang) terjadi pembunuhan pimpinan perusahaan perkayuan berkebangsaan Jepang bernama Kusaki yang mati tergeletak tanpa kepala. Pelakunya adalah Pang Suma. Peristiwa berdarah itu adalah merupakan gejolak awal dan rentetan peristiwa yang muncul sebagai bentuk perlawanan para Patriot suku Dayak. Beberapa hari kemudian terjadi lagi di perusahaan perkayuan Niciran di Pulau Jambu Kecamatan Tayan. Soet Soegisang mati dengan leher terpenggal. Berita terbunuhnya pemimpin perusahaan perkayuan milik Jepang itu , seketika menjadi ramai di perbincangkan.

Dari Pontianak kemudian dikirim, kompetai-kompetai yang terlatih dengan pimpinan Kaisu Nagatani. Pada saat itu yang memegang kekuasaan Jepang sebagai bunken di Tayan adalah Miagi dan sebagai Guncho di Meliau adalah Demang Adat Dogom Siregar. Nagatani bertekat untuk menghancurkan laskar Pang Suma dan membunuh semua yang terlibat, termasuk keluarganya. Sesampai di Meliau, mereka menjadikan rumah seorang pedagang China bernama Kiung Tjhiu Siong sebagai markas pertahanan sementara. Dengan  di temani oleh Mantri Mamboe (menantu Demang Adat Dogom) dan seorang polisi Guncho bernama Yeb menjadi penunjuk jalan, pada esok harinya mereka menyeberangi sungai Embuan. Tujuan mereka adalah  pedalaman Desa Kunyil. Tengah malam mereka sampai ke Kampung Balai Putih. Keesokan harinya mereka meneruskan perjalanan ke Desa Kunyil. Desa Kunyil pun berhasil pasukan Nagatani kuasai. Kepala Desa Kunyil bernama Temenggung Mandi (Orang Kaya Mandi) atau dikenal dengan nama panggilan Pang Dandan. Pang Dandan sudah tiga hari tidak berada di rumah.

Sebuah bangunan bekas kantor loging KKK dijadikan markas oleh pasukan Nagatani. Kemudian di suatu malam dikomando oleh Pang Suma dan panglima suku dayak lainnya diikuti oleh berpuluh-puluh anak buahnya, yang tergabung dalam "Angkatan Perang Majang Desa", tiba-tiba menyerbu markas Nagatani di kantor bekas loging KKK. Kaisu Nagatani berhasil dibunuh oleh Pang Suma, lalu orang kedua nya yaitu Nakamura, berhasil di penggal kepalanya oleh Pang Dusi. Dalam pertempuran itu juga hadir Pang Diyo, Pang Linggan, Panglima Burung dan Jampi, mereka turut serta memenggal kepala Kepala pimpinan Heiho yang lain bernama Yamamani. Perwira Kaigun lain , Yamamoto yang mencoba melarikan diri dengan berlindung di rumah seorang China bernama Djap Kio , berhasil dibunuh dengan cara dipenggal kepalanya oleh Pang Suma dengan bantuan Pang Linggan. Mantri Mamboe berhasil melarikan diri bersama dua anak buahnya, sedangkan Yeb dan anak buahnya menggabungkan diri dengan pasukan Pang Suma.

Pembunuhan terhadap pasukan Jepang yang dipimpin oleh Pang Suma mengejutkan pihak Jepang. Mantri Mamboe dan Guncho Amat Dogom Siregar, dituntut oleh pihak Jepang agar bertanggung jawab. Mereka kemudian dikurung di bekas gudang penyimpanan garam di Tayan. Bersama mereka dikurung ; Soelaiman (juru tulis Guncho), Abang Sjahdansjah (sekretaris damang), Huseein , Madrus, Mas Dermawan, Raden Mochtar, Mas Minan, Liem Tjung Hie dan Liem A Thung. Mas Dermawan dihukum pancung karena sikap kerasnya kepada Jepang ,sedangkan Amat Dogom Siregar dan Mantri Mamboe kabar terakhir ikut dibantai Jepang.

Kembali ke Pang Suma. Oleh karena keberhasilannya, Pang Suma merupakan sosok yang dianggap Jepang membahayakan kedudukannya, kemudian Jepang mendekati teman seperguruan Pang Suma untuk mencari kelemahan dan membunuh Pang Suma. Sementara itu Pang Suma dan Raden Iting (pewaris kerajaan Meliau) mendirikan markasnya di Kampung Rambai. Laskar Pang Suma berhasil menduduki Kantor Guncho Meliau , sementara pasukan Raden Iting memperkuat pertahanan mereka di seberang. Sejak ditangkapnya Demang Adat Dogong Siregar , pemerintahan distrik Meliau Vakum.

Pada 24 Juni 1945, Pang Suma atau disebut juga Panglima Menera memasuki Meliau. Meliau sendiri berhasil direbut pada 30 Juni 1945. Pada 14 Juli 1945 bala tentara Jepang menyerbu Meliau dan berhasil menguasai beberapa wilayah Meliau. Tanggal 17 Juli 1945 Pang Suma menyerbu markas Jepang di Kantor Guncho Meliau. Pada hari itu, Pang Suma telah mendapatkan pertanda buruk. Ujung Nyabur (pedang) yang dimilikinya patah, sebelum ia menyerbu markas Jepang di Kantor Gunco Meliau. Pertanda itu pun menjadi kenyataan. Pang Suma tertembak dipaha kaki yang merupakan sumber kelemahannya (kelemahan Pang Suma didapat dari saudara perguruannya), tertembak bersama adiknya. Sang adik dapat menyelamatkan diri, namun perjuangan Pang Suma berakhir dengan meninggalnya beliau di bawah jembatan (saat ini lokasi jembatan di sebelah dermaga Meliau). Turut menjadi korban Apae dan Panglima Beli yang tewas. Di sekitar Kantor Guncho Meliau Panglima Ajun dan Pang Linggan tertembak dengan luka yang parah. Tetapi perlawanan dari suku Dayak tidak berakhir. Karena masih banyak penerus-penerus pejuang Dayak.

Sebuah peluru menembus pahanya yang konon merupakan rahasia kekuatan dari Panglima Perang ini. Namun, disaat menahan kesakitan itu, ia sempat berpesan kepada rekan seperjuangannya yang membopongnya dari lokasi perang. "Tinggal aja aku disito uda nada aku to idop lagi, pogilah kita, maju terus berjuang," pesan Pang Suma dalam bahasa Dayak seperti yang dikutip dari "Pang Suma Riwayat Hidup dan Pengabdiannya" yang artinya tinggalkan saja saya di sini saya tidak bisa hidup lagi pergilah kamu maju terus berjuang. Demikianlah pada hari itu gugur seorang Pahlawan Bangsa , yang berjuang untuk rakyatnya.

Bagi orang Dayak perang menganut doktrin perang semesta (seperti perang puputan di Bali). Semua unsur masyarakat harus terlibat. Penyelesaianya juga harus melalui proses adat yang diadakan melalui ritual tertentu. Tanpa semua proses itu maka perang masih dianggap masih berlangsung. Contohnya sekelompok orang Dayak yang dipimpin Panglima Burung datang menyerang Pontianak untuk mencari serdadu Jepang untuk melakukan pembalasan terhadap Perang Majang Desa yang dipimpin Pang Suma, padahal Jepang sudah menyerah dan keluar dari Indonesia. (baca Panglima Burung - Klik )

*Pada Juni 1980, Laksus Pangkopkamtibda Kalbar, Untung Sridadi bersama gubernur Kalbar Soedjiman melakukan serah terima dari ahli waris APMD seperti YAM Linggi, dan Agustinus Timbang berupa 5 tengkorak pasukan Jepang sewaktu Perang Dayak Desa dan sebilah samurai milik Nagatani. Selanjutnya barang-barang ini diserahkan ke Pemerintah Jepang diwakili K. Tasima dan wakil keluarga Nagatani dan Yoshida dari Kedutaan Besar Jepang di Indonesia di Jakarta untuk dibawa pulang ke Tokyo , Jepang.
* Menurut catatan penulis Belanda. Benteng Belanda di Sintang dan Sanggau selalu mendapat serangan tanpa henti dari Orang Dayak, sehingga terpaksa mereka tinggalkan dan bertahan di Pontianak.

Guna mengenang kepahlawanan Pang Suma namanya diabadikan :

1. Bandara di Putusibau (Kapuas Hulu - Kalbar) dinamakan Bandara Pang Suma
2. GOR Pontianak
3. Nama Asrama Mahasiswa di Pontianak (sempat terkenal sewaktu terjadi aksi Penolakan FPI di Kalbar 2012)
4. Nama Jalan

Sumber :
Sumber lisan
Buku Mandor Berdarah , karangan Syafarudin Usman
http://www.ceritadayak.com/2010/12/pang-suma-panglima-perang-dari-meliau.html
http://equatoronline.blogspot.com/2012/03/nama-pahlawan-asal-kalimantan-barat.html

Kisah Kepahlawanan Pang Suma dan Perang Majang Desa

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 1 Comment

Keto adalah sejenis burung yang dipercaya oleh orang dayak sebagai penanda atau pemberi isyarat sebelum melakukan aktivitas. Dinamai burung KETO karena kicaunya yang berbunyi KETO...........Burung ini masih banyak terdapat di hutan Kalimantan Barat terutama di daerah-daerah yang masih asri dengan hutan-hutan lebat. Burung ini sebenarnya biasa saja, namun dalam memberi isyarat alam sangat berpengaruh bagi kepercayaan orang dayak terutama orang dayak kanayatn.
Pertanda yang sangat berpengaruh jika burung ini berkicau adalah apabila pada saat orang dayak ingin melakukan kegiatan bercocok tanam, melakukan perjalanan atau melihat rejeki pada saat nyangahatn (wujud doa orang dayak kanayatn kepada Jubata atau Tuhan).

1.Pada saat bercocok tanam,
sebelum melakukan aktivitas ini terlebih dahulu melakukan semacam doa yang biasanya di akhiri dengan mendengar kicau burung Keto.

2.Pada saat ingin melakukan perjalanan,
jika burung ini berkicau sangat berpengaruh bagi keselamatan Talino atau manusia, biasanya arah dimana burung ini berkicau mempunyai makna berbeda. Jika burung ini berkicau sebelah kiri maka mempunyai makna bahwa perjalanan hendaknya ditunda sampai burung ini selesai berkicau,jika dilanggar maka akan aa bahaya yang mengintai diperjalanan yang akan kita tempuh, jika sebelah kanan maka mempunyai makna baik.

3.Pada saat nyangahatn atau melakukan doa,
jika burung ini berkicau pada saat sedang berlangsungnya doa atau sudah selesai maka itu merupakan pertanda baik bagi doa yang kita panjatkan paa Jubata atau Tuhan.

Tak hanya hal-hal tersebut diatas yang membuat burung ini menjadi istimewa bagi orang dayak Kanayatn tapi masih banyak hal lain yang berhubungan langsung maupun tak langsung bagi adat-istiadat orang dayak Kanayatn. Burung ini bagi orang dayak kanayatn merupakan simbol pertanda alam yang tidak bisa dibantah oleh kekuasaan manusia karena semua kehidupan orang dayak tidak terlepas dari alam semesta.

Asal Mula Burung Keto

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 0 Comments

- Copyright © DAYAK TALINO - MENEMBUS PERADABAN - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -