Archive for 01/12/19

Pada 1998, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Tjilik menjadi pahlawan nasional, berdasarkan SK Presiden No. 107/TK/1998 tertanggal 6 November 1998. Kiprahnya berarti besar bagi Kalimantan dan warganya, juga bagi seluruh Indonesia.

Merujuk situs web Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Tjilik yang lahir di Kasongan, Kalimantan Tengah, ini adalah pendiri Organisasi Pakat Dayak di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada 1938. Dia adalah putra Dayak, tepatnya Dayak Ngaju.

Pakat Dayak disebut memiliki tujuan utama mengangkat derajat Suku Dayak, baik dari ketertinggalan di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun budaya, sekaligus mempersatukan masyarakat Suku Dayak.

Pada 1946, Tjilik dipercaya mewakili 142 Suku Dayak untuk menyatakan sumpah setia mendukung Pemerintah Republik Indonesia. Berlangsung di Gedung Agung di Yogyakarta, sumpah setia dilakukan dengan gelaran upacara adat leluhur Suku Dayak.

Tjilik juga meninggalkan sejumlah jejak sejarah di kemiliteran. Operasi penerjunan pasukan payung di Desa Sarabi di Kalimantan Tengah yang dia pimpin pada 17 Oktober 1947, misalnya, belakangan ditetapkan sebagai Hari Pasukan Khas TNI Angkatan Udara.

Tjilik dan kelahiran Provinsi Kalimantan Tengah

Sebagai orang pertama yang menjabat Gubernur Kalimantan Tengah, Tjilik adalah salah satu tokoh perintis dan pelopor pembangunan Kota Palangkaraya, dari sebelumnya kawasan hutan lebat. Nama kota ini memiliki arti “tempat yang suci dan besar”.

Sebelumnya, wilayah yang kemudian hari menjadi Kalimantan Tengah merupakan bagian dari Kalimantan Selatan. Kelahiran provinsi Kalimantan Tengah mendapatkan payung hukum UU Darurat Nomor 10 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Tengah.

Dalam UU Darurat itu disebutkan bahwa Kabupaten Barito, Kapuas, dan Kotawaringin dipisahkan dari Kalimantan Selatan lalu menjadi bagian wilayah Kalimantan Tengah. Pahandut menjadi ibu kotanya. 

Kota Palangkaraya merupakan kota yang benar-benar baru, wilayah yang dibuka dari hutan lebat, yang sebelumnya masuk wilayah Pahandut tersebut.

Pencanangan tiang pertama pembangunan Kota Palangkaraya dilakukan Presiden Soekarno pada 17 Juli 1957, ditandai peresmian Tugu Ibu Kota Kalimantan Tengah di Pahandut di dekat aliran Sungai Kahayan.

Lalu, Undang-undang Nomor 21 Tahun 1958, menegaskan keberadaan Kota Palangkaraya. Realisasi pewujudan kota inilah yang berlangsung pada masa Tjilik menjadi Gubernur Kalimantan Tengah.

Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor Des. 52/12/2-206 tertanggal 22  Desember 1959 menandai pemindahan tempat dan kedudukan Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah dari Banjarmasin ke Palangkaraya terhitung sejak 20  Desember 1959. Ini bersamaan dengan penunjukan Tjilik sebagai gubernur.

Anak kunci dari 170 gram emas

Sejak itu, Kecamatan Kahayan Tengah yang berkedudukan di Pahandut secara bertahap mengalami perubahan dengan mendapat tambahan tugas dan fungsinya. Antara lain, mempersiapkan Kotapraja Palangkaraya.

Perlahan, Ibu Kota Kalimantan Tengah yang semula adalah Pahandut diganti menjadi Palangkaraya. Proses pembangunan kota dari semula hutan lebat tersebut rampung pada medio 1965.

Peresmian kehadiran Kota Palangkaraya ditandai dengan upacara besar di Lapangan Bukin Ngalangkang, pada 17 Juni 1965. Upacara diawali dengan demonstrasi terjun payung membawa lambang kota. Penerjunan melibatkan para penerjun yang ikut terjun pada 17 Oktober 1947.

Dalam upacara inilah diserahkan anak kunci Kota Palangkaraya, berbahan emas seberat 170 gram, kepada Presiden Republik Indonesia melalui Menteri Dalam Negeri. Tjilik menjadi salah satu yang menyerahkan kunci tersebut.

Meski begitu, ulang tahun Kota Palangkaraya tetap merujuk pada tanggal peresmian Tugu Palangkaraya oleh Soekarno, yaitu 17 Juli. Tugu tersebut sekarang dikenal sebagai Tugu Soekarno dan kerap dikaitkan dengan wacana lama pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke sana.

Adapun jejak Tjilik di kota itu diabadikan juga untuk antara lain nama pangkalan udara, bandara, jalan, dan nama Detasemen TNI AU di Palangkaraya.


Tjilik Riwut: Pahlawan Dayak Palangkaraya

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 0 Comments

Panglima Batur adalah salah seorang pejuang Perang Banjar (Bandjermasinsche Krijg), yakni perang antara dua bangsa dan pemerintahan yang berdaulat, yakni antara bangsa Banjar di Kesultanan Banjarmasin di satu pihak yang wilayah utamanya meliputi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah sekarang dengan pihak Belanda. Pada saat berdirinya Kesultanan Banjar, semua suku yang ada dalam wilayah teritorial Kesultanan Banjar seperti suku Banjar, Bukit, dan Dayak (a.l. suku Dayak Dusun, Ngaju, Kayan, Siang, Bakumpai) baik yang beragama Islam maupun yang masih menganut kepercayaan Kaharingan adalah ”Bangsa Banjar”.

Panglima Batur berasal dari suku Dayak beragama Islam di daerah Buntok-Kecil, 40 Km di udik Muara Teweh. Sebagai panglima ia mengabdi kepada pemerintahan Pegustian yakni pemerintahan kelanjutan Kesultanan Banjar di hulu Sungai Barito. Setelah Perang Banjar meletus pada tahun 1859, maka kemudian perang ini meluas hingga ke hulu Barito.

Pangeran Antasari sebagai pimpinan perang mampu menyatukan kalangan pejuang dari etnis Banjar dan Dayak untuk bersama-sama melawan Belanda. Selepas Antasari meninggal di tahun 1862 di Bayan Begok daerah Puruk cahu, pimpinan perlawanan diteruskan oleh puteranya Sultan Muhammad Seman, dan ia dibantu oleh pengikut setianya yakni Panglima Batur. Oleh karena itu, perjuangan yang dilakukan Panglima Batur pada hakikatnya adalah untuk mempertahankan kedaulatan bangsa dan tanah Banjar dari penguasaan Belanda.

Panglima Batur bersama Sultan Muhammad Seman mempertahankan benteng terakhir di Sungai Manawing dalam perjuangan mereka melawan Belanda. Pada saat Panglima Batur mendapat perintah untuk pergi ke Kerajaan Pasir untuk memperoleh mesiu, saat itulah benteng Manawing mendapat serangan Belanda. Pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Christofel yang berpengalaman dalam perang Aceh, dengan sejumlah besar pasukan marsose yang terkenal ganas dan bengis, menyerbu benteng Manawing pada Januari 1905. Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad Seman tidak dapat bertahan. Sultan tertembak dan dia gugur sebagai kesuma bangsa. Ia adalah sultan terakhir dari Kerajaan Banjar dalam pemerintahan pelarian di daerah Barito. Sultan Muhammad Seman benar-benar konsekwen terhadap sumpah melaksanakan amanah ayahndanya Pangeran Antasari yang tidak kenal kompromi dengan Belanda, “Haram manyarah waja sampai kaputing”.

Tertegun dan dengan rasa sedih yang mendalam ketika Panglima Batur kembali ke benteng Manawing yang musnah, dan Sultan Muhammad Seman, pimpinannya telah tewas. Panglima Batur dan teman seperjuangannya Panglima Umbung pulau ke kampung halaman mereka masing-masing. Panglima Umbung kembali ke Buntok-Kecil. Sultan Muhammad di Seman di makamkan di puncak gunung di Puruk Cahu.

Sepeninggal Sultan, Panglima Baturlah satu-satunya pimpinan perjuangan yang masih bertahan. Ia terkenal sangat teguh dengan pendiriannya dan sangat patuh dengan sumpah yang telah diucapkannya, tetapi ia mudah terharu dan sedih jika melihat anak buahnya atau keluarganya yang jatuh menderita. Hal itu diketahui oleh Belanda kelemahan yang menjadi sifat Panglima Batur, dan kelemahan inilah yang dijadikan alat untuk menjebaknya.

Ketika terjadi upacara adat perkawinan kemenakannya di kampung Lemo, dimana seluruh anggota keluarga Panglima Batur terkumpul, saat itulah serdadu Belanda mengadakan penangkapan. Pasangan mempelai yang sedang bertanding juga ditangkap dimasukkan ke dalam tahanan, dipukuli dan disiksa tanpa perikemanusiaan. Cara inilah yang dipakai Belanda untuk menjebak Panglima Batur.
Dengan perantaraan Haji Kuwit salah seorang saudara sepupu Panglima Batur Belanda berusaha menangkapnya. Atas suruhan Belanda Haji Kuwit mengatakan bahwa apabila Panglima Batur bersedia keluar dari persembunyian dan bersedia berunding dengan Belanda, barulah tahanan yang terdiri dari keluarganya dikeluarkan dan dibebaskan, dan sebaliknya apabila Panglima tetap berkeras kepala, tahanan tersebut akan ditembak mati. Hati Panglima Batur menjadi gundah dan dia sadar bahwa apabila dia bertekad lebih baik dia yang menjadi korban sendirian dari pada keluarganya yang tidak berdosa ikut menanggungnya.

Dengan diiringi orang-orang tua dan orang sekampungnya Panglima Batur turun ke Muara Teweh. Benar apa yang menjadi kata hatinya, bukan perundingan tetapi ia ditangkap sebagai tawanan dan selanjutnya dihadapkan di meja pengadilan. Ini terjadi pada tanggal 24 Agustus 1905. Setelah dua minggu di tawan di Muara Teweh, Panglima Batur diangkut dengan kapal ke Banjarmasin. Di kota Banjarmasin dia diarak keliling kota dengan pemberitahuan bahwa inilah pemberontak yang keras kepala dan akan dijatuhkan hukuman mati.

Pada tanggal 15 September 1905 Panglima Batur dinaikkan ketiang gantungan. Permintaan terakhir yang diucapkannya dia minta dibacakan “Dua Kalimah Syahadat” untuknya. Dia dimakamkan di belakang Mesjid Jami’ lama Banjarmasin di tepian Sungai Martapura, tetapi sejak 21 April 1958 jenazahnya dipindahkan ke kompleks “Makam Pahlawan Banjar” Jalan Mesjid Jami Banjarmasin (Dikutip a.l. dari Buku Sejarah Banjar; foto Panglima Batur koleksi keluarga alm. H.M. Yakub Amin —lahir 1915, pensiunan TNI tahun 1950— diwarisi dari orang tua beliau, di Jalan Panglima Batur, Banjarmasin).

Panglima Batur: Pejuang Dayak di Perang Banjar

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 0 Comments

Franciscus Conradus Palaunsoeka merupakan seorang guru di salah satu sekolah Katolik di Kalimantan Barat. Atas desakan berulang kali dari Pastor Adikarjana SJ, seorang biarawan pribumi yang lolos dari sekapan tentara Jepang, Palaunsoeka pada saat itu mendirikan Dayak In Action (DIA) pada tanggal 30 Nopember 1945.

DIA kemudian berubah menjadi Partai Persatuan Dayak (PPD) tahun 1946. Lewat PPD, Palaunsoeka kemudian menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selama 37 tahun, sejak periode 22 Desember1948 hingga 26 Maret 1988.

Pada tahun 1963, PPD resmi dibubarkan karena tidak mencapai ketentuan minimal pada saat itu yaitu berada pada 5 provinsi. Kemudian Palaunsoeka bergabung dengan Partai Katolik, sehingga menghantarkannya mengenal banyak tokoh nasional.

Saat menjadi anggota DPR, Palaunsoeka bersama Frans Seda, Jacob Oetama, PK Ojong, dan lain-lain mendirikan Harian Pagi Kompas, atas anjuran Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani dan disetujui Presiden Soekarno pada 28 Juni 1965.

Saat itu, cikal bakal mendirikan Harian Pagi Kompas bertujuan mengimbangi agitasi Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui Harian Rakjat.

Saat pertama kali terbit, jabatan Palaunsoeka di Harian Kompas adalah Penulis I, sedangkan Jacob Oetama sebagai Penulis II yang sekarang setara dengan Pemimpin Redaksi.

Pada masa itu, persyaratan untuk mendirikan sebuah surat kabar bukan hal yang gampang. Pemberian izin penerbitan Harian Kompas harus memenuhi persyaratan 3.000 pelanggan terlebih dahulu.

Pemimpin redaksi atau ketika itu disebut Ketua Tim Penulis diketuai oleh Palaunsoeka. Awalnya, Harian Kompas yang diusulkan dengan nama Bentara Rakyat diganti Presiden Soekarno dengan nama Kompas.

Dalam perjalanannya Harian Kompas pernah dilarang terbit (dibredel) karena memberitakan peristiwa G30S PKI dan aksi-aksi demonstrasi mahasiswa.

Lantaran sibuk di bidang politik bersama Frans Seda, Palaunsoeka kemudian meninggalkan Harian Kompastahun 1970. Lima tahun kemudian, terhitung pada tahun 1975 hingga 1982, Palaunsoeka menjadi staf ahli Badan Intelijen Negara (BIN) yang secara khusus sebagai tenaga analis pergerakan komunis di Eropa Timur.

Palaunsoeka juga disebutkan sebagai salah satu politisi yang dipercaya Presiden Soeharto membantu proses integrasi Timor Timur menjadi provinsi Indonesia ke-27 pada tahun 1975. Kiprah Palaunsoeka di bidang politik, dapat dijadikan panutan bagi generasi penerus, karena dinilai tidak tamak akan kekuasaan.

Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat, DR Clarry Sada, mengatakan, dari buku biografi Palaunsoeka, banyak hal-hal yang selama ini belum diketahui masyarakat luas.

Sejarah yang belum terungkap di antaranya, pada tanggal 18 Nopember 1959, Palaunsoeka pernah mengirim surat kepada Gubernur Kalimantan Tengah Tjilik Riwut agar mendukung Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray untuk diangkat kembali menjadi Gubernur Kalimantan Barat. JC Oevaang Oeray pun akhirnya menjadi Gubernur Kalimantan Barat pertama selama enam tahun (1960 – 1966).

Tahun 1976, ketika masih menjadi anggota DPR dan merangkap menjadi staf ahli BIN, Palaunsoeka pernah menolak tawaran Presiden Soeharto menjadi Duta Besar Indonesia di Meksiko, sehingga pilihan kemudian jatuh kepada Benedictus Mang Reng Say.

Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto pasca-peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) berdampak pada pemberhentian JC Ovaang Oeray sebagai Gubernur Kalimantan Barat. Pemberhentian tersebut karena dianggap sebagai pendukung setia Presiden Soekarno atau Soekarnois.

Kriminalisasi terhadap Bapak J Ovaang Oeray dapat dieliminir oleh Palaunsoeka karena hubungan baiknya dengan petinggi TNI dan Polri pada saat itu. Ovaang Oeray kemudian dibebaskan dan tidak diproses secara hukum 

Palaunsoeka wafat pada 12 Agustus 1993 di Pontianak. Peluncuran buku tersebut bertepatan dengan hari lahirnya, sebagai ungkapan terima kasih pihak keluarga sekaligus mengenang jasa almarhum.

F.C. Palaunsoeka: Pendiri Partai Persatuan Dayak

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 0 Comments

Mendengar kalimat ''kerusuhan sampit'' tentu sudah tidak asing lagi ditelinga kalian. Apalagi jika kalian sudah dewasa ketika konflik sampit itu terjadi. Ketika kerusuhan sampit saya masih duduk dibangku kelas 2 SD, jadi saat itu saya tidak tau secara detail tentang apa yang sebenarnya terjadi. Yang saya tau dari pembicaraan orang2 tua adalah perang antara Dayak dan Madura. Selain masih kecil, saya juga tidak bertempat tinggal di sampit, kampung saya berjarak 4 jam perjalanan air dari sampit. Sehingga kampung saya tidak termasuk daerah konflik tersebut, walaupun ada pembakaran beberapa rumah orang madura dikampung saya.

Seiring bergulirnya waktu berita kerusuhan sampit tidak serta merta hilang dari ingatan orang. Hal ini terbukti ketika saya kuliah di Jogja, walaupun sudah 2014, yg artinya kejadian itu sudah 13 tahun yang lalu, namun setiap kali saya berkenalan dengan orang baru dan saya menyebutkan asal saya ''Sampit'', mereka selalu bilang ''...Oh yang kerusuhan itu ya'', ''... Oh yang perang itu ya''. Ini membuktikan bahwa tragedi sampit masih diingat banyak orang bahkan yang diluar kalimantan. Selain itu, hingga saat ini jika saya menelusuri Google dengan kata kunci ''Sampit'', maka informasi yang muncul kebanyak tentang konflik sampit, tragedi sampit, perang sampit, dll.

Kenapa sih tragedi ini susah tergerus oleh waktu? jawabannya tidak lain adalah karena tragedi ini merupakan tragedi terparah sepanjang pertikaian antar etnis di Indonesia. Tidak hanya banyak menelan korban jiwa, namun kesadisan, kengerian kerusuhan ini juga menjadi faktor susahnya untuk dilupakan. Sekali lagi, informasi yang saya share ini tidak bertujuan untuk menyinggung/mendiskriminasikan pihak manapun. Karena saya cinta dayak dan saya respect terhadap madura. Asal kita dapat hidup berdampingan yang saling menghormati, saya yakin kejadian ini tidak akan terulang lagi.

A. Sejarah Asal Usul Penyebab Terjadinya

Asal Usul Penyebab Terjadinya Tragedi Sampit hingga saat ini masih simpang siur. Saya bertanya dari berbagai narasumber dan searching di Google, hasilnya berbeda-beda pendapat. Ada yang mengatakan tragedi ini berawal dari kasus pencurian ayam, kasus perkelahian remaja antar etnis, kasus kesenjangan sosial, dll. Namun dari berbagai pendapat itu, saya bisa menyimpulkan bahwa tragedi kerusuhan sampit ini sebenarnya berawal dari masalah sepele/kecil yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan atau jalur hukum yang ada tanpa harus mengorbankan ratusan bahkan ribuan nyawa. Akan tetapi masalah2 sepele itu terjadi berulang-ulang dan tanpa penyelesaian yang maksimal, sehingga menimbulkan suasana yang rentan akan konflik yang lebih besar.

Dari beberapa sumber ada beberapa kasus yang telah terjadi berlarut-larut hingga memuncak pada kerusuhan sampit.

1972, Palangka Raya, seorang gadis Dayak digodai dan diperkosa, terhadap kejadian itu diadakan penyelesaian dengan mengadakan perdamaian menurut hukum adat.

1982, terjadi pembunuhan oleh orang Madura atas seorang suku Dayak, pelakunya tidak tertangkap, pengusutan / penyelesaian secara hukum tidak ada.

1983, Kasongan, seorang warga Kasongan etnis Dayak di bunuh (perkelahian 1 (satu) orang Dayak dikeroyok oleh 30 (tigapuluh) orang madura). Terhadap pembunuhan atas

1996, Palangka Raya, seorang gadis Dayak diperkosa di gedung bioskop Panala dan di bunuh dengan kejam (sadis) oleh orang Madura, ternyata hukumannya sangat ringan.

1997, Barito Selatan orang Dayak dikeroyok oleh orang Madura dengan perbandingan kekuatan 2:40 orang, dengan skor orang Madura mati semua, tindakan hukum terhadap orang Dayak: dihukum berat. Orang Dayak tersebut diserang dan mempertahankan diri menggunakan ilmu bela diri? dimana penyerang berhasil dikalahkan semuanya.

1997, Tumbang Samba, ibukota Kecamatan Katingan Tengah, seorang anak laki-laki bernama Waldi mati terbunuh oleh seorang suku Madura yang ? tukang jualan sate?. Si belia Dayak mati secara mengenaskan, ditubuhnya terdapat lebih dari 30 (tigapuluh) bekas tusukan. Anak muda itu tidak tahu menahu persoalannya, sedangkan para anak muda yang bertikai dengan si tukang sate telah lari kabur ?.Yang tidak dapat dikejar oleh si tukang sate itu, si korban Waldi hanya kebetulan lewat di tempat kejadian.

1998, Palangka Raya, orang Dayak dikeroyok oleh 4 (empat) orang Madura, pelakunya belum dapat ditangkap karena melarikan diri dan korbannya meninggal, tidak ada penyelesaian secara hukum.

1999, Palangka Raya, seorang petugas Tibum (ketertiban umum) dibacok oleh orang Madura, pelakunya di tahan di Polresta Palangka Raya

1999, Palangka Raya, seorang Dayak dikeroyok oleh beberapa orang suku Madura, masalah sengketa tanah; 2 (dua) orang Dayak dalam perkelahian tidak seimbang itu mati semua, sedangkan pembunuh lolos, malah orang Jawa yang bersaksi dihukum 1,5 tahun karena dianggap membuat kesaksian fitnah terhadap pelaku pembunuhan yang melarikan diri itu.

1999, Pangkut, ibukota Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat, terjadi perkelahian massal dengan suku Madura, gara-gara suku Madura memaksa mengambil emas pada saat suku Dayak menambang emas. Perkelahian itu banyak menimbulkan korban pada ke dua belah pihak, tanpa penyelesaian hukum.

1999, Tumbang Samba, terjadi penikaman terhadap suami-isteri bernama IBA oleh 3 (tiga) orang Madura; pasangan itu luka berat. Dirawat di RSUD Dr. Doris Sylvanus, Palangka Raya, biaya operasi /perawatan ditanggung oleh Pemda Kalteng. Para pembacok / pelaku tidak ditangkap, katanya? sudah pulang ke pulau Madura sana!. (Tiga orang Madura memasuki rumah keluarga IBA dengan dalih minta diberi minuman air putih, karena katanya mereka haus, sewaktu IBA menuangkan air di gelas, mereka

2000, Pangkut, Kotawaringin Barat, 1 (satu) keluarga Dayak mati dibantai oleh orang Madura, pelaku pembantaian lari, tanpa penyelesaian hukum. Tahun 2000, di Palangka Raya, 1 (satu) orang suku Dayak di bunuh / mati oleh pengeroyok suku Madura di depan gedung Gereja Imanuel, Jalan Bangka. Para pelaku lari, tanpa proses hukum.

2000, Kereng Pangi, Kasongan, Kabupaten Kotawaringin Timur, terjadi pembunuhan terhadap SENDUNG (nama kecil). Sendung mati dikeroyok oleh suku Madura, para pelaku kabur / lari, tidak tertangkap, karena lagi-lagi ?katanya? sudah lari ke Pulau Madura, proses hukum tidak ada karena pihak

2001, Sampit (17 s/d 20 Februari 2001) warga Dayak banyak terbunuh / dibantai. Suku Madura terlebih dahulu menyerang warga Dayak.

B. Kejadian-Kejadian Sebelum Puncak Kerusuhan (Perang Terbuka antara Dayak dan Madura) 

Tanggal 18 Februari 2001 

Pkl.01.00 WIB terjadi peristiwa pertikaian antar etnis diawali dengan terjadinya perkelahian antara Suku Madura dengan kelompok Suku Dayak di Jalan Padat Karya, yang mengakibatkan 5 (lima) orang meninggal dunia dan 1 (satu) orang luka berat semuanya dari Suku Madura.

Pkl. 08.00 WIB terjadi pembakaran rumah Suku Dayak sebanyak 2 (dua) buah rumah yang  dilakukan oleh kelompok Suku Madura dan 1 (satu) buah rumah Suku Dayak dirusak dan dijarah oleh kelompok Suku madura. Kejadian ini mengakibatkan 3 (tiga) orang meninggal semuanya dari Suku Dayak.

Pkl. 09.30 WIB pengiriman Pasukan Brimob Polda dari Kalimantan Selatan sebanyak 103 personil dengan kendali BKO Polda Kaliteng untuk pengamanan di Sampit dan tiba Pkl. 12.00 WIB

Pkl. 10.00 WIB sebanyak 38 (tiga puluh delapan) orang tersangka dari kelompok Suku Dayak atas kejadian tersebut di atas diamankan ke MAPOLDA Kalteng di Palangka Raya dan menyita beberapa macam senjatantajam sebanyak 62 buah.

Pkl. 20.30 WIB ditemukan 1 (satu) orang mayat dari kelompok Suku Dayak di Jalan Karya Baru, Sampit.


Tanggal 19 Februari 2001 

Pkl. 02.00 WIB terjadi pembakaran 1 (satu) buah mobil Kijang milik Suku Madura di Jalan Suwikto, Sampit.

Pkl. 16.00 WIB ditemukan mayat sebanyak 4 (empat) orang dan 1 (satu) orang luka bakar semuanya dari Suku Dayak di Jalan Karya Baru, Sampit.

Pkl. 17.00 WIB diadakan sweeping oleh Petugas aparat keamanan terhadap kelompok Suku Madura dan kelompok Suku Dayak di Sampit.

Penangkapan 6 (enam) orang Suku Dayak tersangka berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap tersangka yang telah ditahan sebelumnya, dan diamankan di Polres Kotim.

Pkl. 22.00 WIB Wakil Gubernur Kalimantan Tengah dan DANREM 102/PP bersama  pasukan dari Yonif 631/ATG sebanyak 276 orang menuju Sampit dan tiba Pkl. 03.00 WIB.

Pada tanggal 18 dan 19 Februari 2001 kota Sampit sepenuhnya dikuasai oleh Suku Madura yang menggunakan senjata tajam dan bom molotov.


Tanggal 20 Februari 2001

Pkl. 08.30 WIB diadakan pertemuan antara DANREM 102/PP, KAPOLDA dan Wakil Gubernur dan MUSPIDA Kabupaten Kotawaringin Timur dengan tokoh masyarakat di Sampit ( Tokoh Dayak, Madura dan Tokoh Masyarakat Sampit) untuk mengupayakan penghentian pertikaian dan dilanjutkan dengan pemantauan ke lokasi pertikaian dengan mengadakan dialog dengan warga yang bertikai.

Warga yang ketakutan karena kerusuhan dan sweeping disertai pembakaran rumah yang dilakukan oleh Suku Madura terhadap Suku Dayak mengungsi ke Gedung Balai Budaya Sampit, Gedung DPRD Kotawaringin Timur dan Rumah Jabatan Bupati Kotawaringin Timur sebanyak 702 KK (2.850 orang) bukan Suku Madura dan sebagian warga non Madura mengungsi ke Palangka Raya.


C. Kronologis Perang Terbuka antara Dayak dan Madura

18 Februari warga Madura mula menguasai Sampit. Dengan  mengacung-acungkan senjata, puluhan warga Madura pawai keliling kota. Mereka menggunakan berbagai kendaraan, mulai roda dua sampai roda empat. Mereka tak hanya berpawai. Setiap bertemu warga Dayak, mereka mengejar dan membunuhnya. Sedikitnya, sepuluh rumah dibakar.Tujuh orang tewas saat warga Madura menguasai Sampit. Bahkan, seorang ibu muda hamil tujuh bulan ikut dibunuh dengan dirobek perutnya. “Itu fakta,” kata Bambang Sakti, tokoh muda Dayak asal Sungai Samba. Situasi itu membuat Sampit Minggu malam mencekam. Listrik padam total. Pembakaran di perkampungan warga di Jalan Baamang berlangsung sporadis. Pengungsi mulai membanjiri gedung pertemuan di depan rumah jabatan bupati sampit. Tapi, kemudian dialihkan ke kantor bupati. Yang mengungsi bukan hanya warga Madura. Juga Dayak dan Cina. Mereka berdesak-desakan mengungsi. Ini terjadi karena mereka belum tahu betul siapa yang menguasai jalanan di Sampit malam itu: Madura atau Dayak.  Di pengungsian, Madura dan Dayak malah rukun. “Saya saat itu ikut mengungsi,’ ujar seorang wartawan lokal. Untuk menghadang orang Dayak keluar-masuk Sampit, warga Madura melakukan penjagaan di pertigaan Desa Bajarum yang mengarah kota Kecamatan Kota Besi. Penjagaan juga terjadi di Perenggean, Kecamatan Kuala Kuayan, dan desa-desa pedalaman Hilir Mentayan. Selama berpawai itu, warga Madura terus berteriak-teriak mencari tokoh Dayak. “Mana Panglima Burung? Mana tokoh Dayak?” tantang mereka.

Tak hanya itu, seorang tokoh Madura melakukan orasi lewat pengeras suara, “Sampit akan jadi Sampang kedua, Sampit jadi Sampang Kedua”. Mereka juga memasang spanduk: Selamat datang orang Dayak di kota Sampang, Serambi Mekkah. “Spanduk itu yang kami cari sekarang,” kata Bambang Sakti. Bambang juga bilang telah menemukan sejumlah bom di rumah-rumah warga Madura. “Ini bukan isapan jempol,” tuturnya. Sedikitnya, pasukan Dayak sudah menyerahkan 300 bom yang ditemukan di rumah warga Madura. Begitu juga beberapa pucuk pistol. “Tidak tahu bagaimana tindak lanjutnya,” jelasnya. Kabarnya, bom-bom itu dirakit di Jawa, lalu dikirimkan ke Sampit. Tapi, sumber Jawa Pos menyebutkan, bom rakitan dibuat di Sampit. Lalu, didistribusikan ke berbagai warga Madura di kecamatan. Mereka bilang bom itu untuk mempertahankan diri jika sewaktu-waktu diserang warga Dayak. Tapi, karena bom itu pula, 112 warga Madura di Kecamatann Perenggean dibantai di lapangan kecamatan. Ini setelah warga Dayak menemukan bom di rumah seorang warga Madura

Melihat aksi penguasaan warga pendatang itu, warga Dayak tak tinggal diam. Mereka lantas membawa bala bantuan pasukan dari Dayak pedalaman. Warga Dayak yang tiba lebih dulu melakukan perlawanan sporadis. Selasa malam (20 Februari), peta kekuatan mulai berbalik. Warga Dayak pedalaman dari berbagai lokasi daerah aliran sungai (DAS) Mentaya,seperti Seruyan, Ratua Pulut, Perenggean, Katingan Hilir, bahkan Barito berdatangan ke kota Sampit melalui hilir Sungai Mentaya dekat pelabuhan.  Pasukan Dayak pedalaman yang rata-rata berusia muda tak lebih 25 tahun membekali diri dengan berbagai ilmu kebal. Jumlahnya sekitar sekitar 320 orang. Pasukan itu lalu menyusup ke daerah Baamang dan sekitarnya, pusat permukiman warga Madura.  Meski dalam jumlah kecil, kemampuan bertempur pasukan khusus Dayak sangat teruji. Buktinya, mereka mampu memukul balik warga Madura yang terkosentrasi di berbagai sudut jalan Sampit. Dengan ilmu kebal, mereka melawan ribuan warga Madura. Bahkan, mereka sanggup menghadapi bom yang banyak digunakan warga Madura.

Dalam bentrok terbuka, seorang warga Madura melemparkan bom ke arah pasukan Dayak. Tapi, bom dapat ditangkap dan dilemparkan kembali ke arah kerumunan Madura. Meledak. Puluhan warga Madura tewas seketika. Selain kebal senjata, pasukan Dayak pedalaman tidak mempan ditembak. Mereka justru memunguti peluru untuk dikantongi. Karena itu, polisi juga keder. Sejak itu, mental Madura pun langsung down. Strategi yang diterapkan warga Dayak dalam serangan balik cukup jitu. Selain masuk lewat Baamang, sekitar empat perahu penuh pasukan dayak tidak langsung merapat ke bibir sungai. Mereka berhenti di seberang sungai Mentaya. Baru berenang menuju kota pinggir sungai di tepian kota Sampit. Strategi ini untuk menghindari pengawasan orang Madura. Lantas, secara tiba-tiba, mereka muncul dan menyerang permukiman Madura. Madura pun dibuat kocar-kacir. Pasukan Dayak pedalaman terus bergerak ke kantong-kantong tokoh Madura. Seperti, Jalan Baamang III, Simpong atau dikenal Jalan Gatot Subroto, dan S. Parman. Rumah tokoh Ikatan Keluarga Madura (Ikama) Haji Marlinggi yang cukup megah di Jalan DI Panjaitan tak luput dari sasaran. Banyak pengawal penguasa Pelabuhan Sampit itu yang terbunuh. Sebagian lari. Sejumlah becak bekas dibakar berserakan di halaman rumah yang hancur. Rumah tokoh Madura lain seperti Haji Satiman dan Haji Ismail juga dihancurkan. Tidak terkecuali rumah Mat Nabi yang dikenal sebagai jagonya Sampit. Padahal, rumah tokoh-tokoh Madura yang berada di Sampit, Samuda, maupun Palangkaraya tergolong cukup mewah. Serangan pasukan inti Dayak kemudian diikuti warga Dayak lain. Mereka mencari rumah dan warga di sepanjang kota Sampit. Ratusan warga Madura dibunuh secara mengenaskan, lalu dipenggal kepalanya.

Hari-hari berikutnya gelombang serangan suku Dayak terus berdatangan. Bahkan, sebelum menyerang, seorang tokoh atau panglima Dayak lebih dulu membekali ilmu kebal kepada pasukannya.  Karena itu, saat melakukan serangan, biasanya mereka berada dalam alam bawah sadar. Uniknya, mereka juga dibekali indera penciuman tajam untuk membedakan orang Madura dan non-Madura. “Dari jarak sekitar 200 meter, baunya sudah tercium,” ujar Itu tak berlebihan. Saat ada evakuasi, di tengah jalan seorang warga Madura disusupkan. Dia dikelilingi warga non Madura. Sebelum masuk ke loksi penampungan, mereka kena sweeping Dayak. Meski orang itu ada di tengah pengungsi, masih juga tercium dan disuruh turun. Tanpa ampun, laki-laki tadi dibantai. Agar serangan ke perkampungan Madura terkendali, para komando warga Dayak menggunakan Hotel Rama sebagai pusat komando penyerangan. Bahkan, di hotel itulah pasukan diberi ramuan ilmu kekebalan oleh para panglima.  Saat digerebek, aparat menemukan beberapa kepala manusia. Tapi, para tokohnya sempat meloloskan diri. Kini, di depan hotel bertingkat dua itu dibentangkan police line. Berada di atas angin, pasukan Dayak lalu melebarkan serangan ke berbagai kota Kecamatan Kotawaringin Timur. Sasaran pertama, Samuda, ibu kota Kecamatann Mentaya Hilir Selatan, dan Parebok yang banyak dihuni warga Madura. Samuda dan Parebok jadi sasaran setelah Sampit karena banyak tokoh Madura tinggal di daerah itu. Di Parebok juga ada Ponpes Libasu Taqwa. Ponpes yang diasuh Haji Mat Lurah ini juga dijadikan tempat berlindung banyak warga Madura. Warga Madura di kecamatan lain pun tidak lepas dari buruan. Misalnya, Kuala Kuayan. Ratusan korban jatuh dengan kepala terpenggal. Kini, warga Dayak praktis menguasai hampir seluruh wilayah Kalimantan Tengah. Kecuali Pangkalan Bun. Kota ini aman karena hampir tak ada warga Madura yang tingga di semua kota kecamatan.  Penghuninya, saat itu, banyak yang lari menyelamatkan diri ke hutan, baik Palangkaraya, Sampit, maupun Samuda.

D. Total Jumlah Korban Kerusuhan Sampit

Dalam pelayaran menyusuri Sungai Mentaya (70 km), ABK dan pengungsi bisa Melihat puluhan mayat yang mengapung di sepanjang sungai, dan sejumlah Bangunan rumah warga Madura dan Pasar Sampit/Pasar Ganal yang tinggal temboknya yang hangus. Dikatakan seorang pengungsi yang bekerja di penggergajian kayu, PT Sempagan Raya Sampit, Abdul Sari (30), bahwa yang tampak di sungai saja ada puluhan yang mengapung dan tersangkut di pinggir. Sementara yang hanyut dan tenggelam lebih dari 200 warga etnis Madura. “Ini baru yang di sungai, belum yang terserak di pinggir sepanjang Jl. Masjid Nur Agung saja tidak kurang dari 200 mayat,” katanya. Sementara di Jl. Sampit Pangkalan Bun, saat ini masih banyak mayat yang bergelimpangan di tepi jalan. Mayat-mayat itu hanya ditutupi dengan batu koral yang dibungkus karung sak. Tidak ada yang menolong untuk dimakamkan, kami tidak mungkin untuk melakukan itu. Sedang untuk bisa lolos dari kejaran dan tebasan mandau Dayak saja sudah bersyukur. Abdul Sari juga mengatakan, sekarang pasukan Dayak tidak lagi membedakan siapa yang akan dibunuh. Awalnya yang diserang hanya etnis Madura, tapi kini semua pendatang, termasuk orang Jawa, dan Cina. Mereka bukan hanya ditebas lehernya saja, tapi juga dipenggal jadi beberapa potong. Di mata etnis Madura, polisi setempat sudah kehilangan kepercayaannya lagi. Mereka (warga etnis Madura) mengaku, siangnya di sweeping dan senjatanya disita petugas, dan mereka (petugas) mengatakan, semua sudah aman dan tidak ada apa-apa lagi. Maka warga etnis Madura di Jl. Sampit Pangkalan Bun tenang-tenang saja dan percaya pada petugas. Ternyata malamnya diawali dengan suara kuluk,… kuluk,… kuluk,… sebentar kemudian pasukan Dayak muncul dan membunuhi warga Madura.

Tidak ada yang tersisa, mereka yang menyerah maupun yang lari dibunuh. Umumnya mereka diserang pada malam hari, ratusan Dayak dengan suara kuluk…, kuluk…, sambung-menyambung muncul dari segala penjuru. Esoknya warga etnis Madura mati mengenaskan dengan badan tanpa kepala lagi. Parebuk Menurut warga etnis Madura yang ikut KRI Teluk Ende, Sopian (56), warga yang banyak mati dari daerah Parebuk, Semuda. Karena warga Madura yang ada di sini tidak menghindar tapi melakukan perlawanan sengit. “Saat ini di sana yang tersisa tinggal wanita dan anak-anak,” kata Sopian. Sopian yang datang ke pengungsian dengan jalan menyusuri sungai mengatakan, dia berjalan sambil sembunyi-sembunyi di antara pohon hutan yang cukup lebat. Ternyata setelah 7 hari di pengungsian ia hanya melihat beberapa warga Madura dari Semuda. Berarti ada sedikitnya 500 orang Madura yang tewas melawan Dayak di Semuda. “Kalau masih hidup seharusnya perjalanan mereka tidak lebih dari satu atau dua hari saja,” kata Sopian. Sopian bersama pengungsi lain yang ada di pengungsian pun mengaku masih dibayang-bayangi pasukan suku Dayak. Bahkan ada isu bahwa kamp pengungsian di halaman Pemda Sampit akan diserbu oleh Dayak. Hal ini membuat warga Madura yang ada di pengungsian menjadi resah, di samping mereka sudah ketakutan, juga mereka sudah tidak memiliki senjata lagi. Menurut Kilan, sejumlah orang Dayak membawa mayat orang Madura dengan geledekan keliling kota. Tidak sampai di situ, geledekan yang berisi orang Madura ditinggal begitu saja di depan Polres Sampit, Jl. Sudirman.Kekesalan warga Madura terhadap oknum polisi di Polsek Jl. Ba Amang Tengah semakin menjadi, seperti yang diungkapkan oleh Somad yang mendatangi kantor Polsek. Ia minta perlindungan setelah dikejar-kejar oleh sekitar 50 Dayak, Somad minta diantar ke tempat pengungsian. Kapolsek bukannya menolong tapi justru memanggil Dayak yang ada di sekitar situ. Somad mengaku lari ke belakang, dengan melompat lewat pintu belakang Polsek ia akhirnya lolos lari ke semak-semak. Ia sempat merangkak sejauh 300 m sebelum lepas dari kejaran Dayak dan lari ke hutan. Dari hutan ini ia menyusuri tepian hutan dan akhirnya sampai ke tempat pengungsian. Ia pun bersyukur karena bisa ketemu dengan anak istrinya. Seorang pengungsi, Choiri (40), dari Pasuruan mengatakan, ada peristiwa yang sangat mengenaskan dari daerah Belanti Tanjung Katung, Sampit. Sebanyak 4 truk pengungsi Parengkuan yang dibawa oleh orang yang mengaku petugas dengan mengatakan akan dibawa ke tempat penampungan pengungsi di SMP 2, akhirnya dibantai habis. Ternyata mereka yang mengaku petugas adalah pasukan Dayak, orang Madura disuruh turun dan dibantai. “Jika tiap truk berisi 50 pengungsi berarti ada 200 pengungsi yang tewas dibantai,” kata Choiri. Choiri mengatakan, yang dibantai itu semuanya wanita dan anak anak.

Begitu jemputan yang kedua tiba, yang diangkut adalah orang laki-laki dewasa, justru mereka selamat tidak di tempat pengungsian karena dikawal oleh Brimob dari Jakarta. Liar Pengakuan seorang pengungsi, Titin (19), asli Lumajang, yang tinggal di Jl. Pinang 20 Sampit mengatakan, suaminya yang asli Dayak Kapuas yang kini ikut pasukan Dayak. Ia menceritakan, suaminya pernah bercerita padanya, mengapa orang Dayak menjadi pandai berkelahi dan larinya cepat bagai kijang. Awalnya suaminya enggan menjadi pasukan Dayak untuk membunuhi orang Madura. Tapi karena dihadapkan pada satu di antara dua pilihan, jadi pasukan atau mati, terpaksa suaminya memilih jadi pasukan Dayak. Saat itu ia disuruh minum cairan yang membuatnya ia menjadi berani, kemudian alisnya diolesi dengan minyak yang membuat ia melihat bahwa orang Madura itu berwujud anjing dan akhirnya harus diburu dan dibunuh. Makanya orang Dayak tidak punya takut, tidak punya rasa kasihan, ini menurut Titin karena sudah diberi minuman dan olesan minyak tertentu. Sehingga mereka mirip dengan jaran kepang yang sedang kesurupan, mungkin mereka kerasukan roh nenek moyangnya dan membunuh sesuai dengan perintah panglima perang suku Dayak. (R Dewanto Nusantoro)

E. Akhir Konflik

Kerusuhan sampit yang menjalar hingga kesegala penjuru kalimantan tengah benar-benar berakhir sekitar bulan Maret pertengahan. Untuk memperingati akhir konflik ini dibuatlah perjanjian damai antar suku dayak dan madura. Perjanjian itu tertulis dalam sebuah buku yang berisi beberapa persyaratan dan hal-hal lainnya. Selain itu untuk memperingati perjanjian damai itu, dibangun sebuah tugu perdamaian di Sampit.

Tambahan:

Hingga saat ini di kota Sampit masih terlihat bekas-bekas kerusuhan 13 Tahun silam, bekas pembakaran rumah, gedung, dan rumah2 kosong yang tak jelas penghuninya

Terdapat kuburan masal bagi korban kerusuhan sampit.

Ketika terjadi kerusuhan para pasukan dayak mengidentikan dirinya dengan kain berwarna merah yang diikat di kepala/senjata yg digunakan.

Tidak sampai 1 tahun dari akhir kerusuhan, orang-orang madura mulai berdatangan ke sampit lagi.

Setelah akhir kerusuhan presiden Abdurrahman Wahid melakukan kunjungan ke Sampit.

Sejak akhir kerusuhan hingga sekarang Sampit mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat baik dibidang ekonomi maupun industri.

Sampit kini menjadi kota yang damai, sejahtera, penduduknya rukun, dan jangan takut ketika mendengar kata ''Sampit''. Jangan takut juga untuk berkunjung atau berwisata ke kota Sampit.

Dokumentasi:


Sejarah Tragedi Sampit: Dayak Vs Madura

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 6 Comments

- Copyright © DAYAK TALINO - MENEMBUS PERADABAN - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -