Archive for Juni 2016

Johannes Chrisostomus Oevaang Oeray atau yang lebih dikenal dengan J.C. Oevaang Oeray ialah salah seorang tokoh pejuang di Kalimantan Barat sekaligus menjabat sebagai gubernur Kalimantan Barat pada periode 1960-1966. J.C Oevaang Oeray lahir pada tanggal 18 Agustus tahun 1922 di Tanjung Kuda, desa Melapi I, Kabupaten Kapuas Hulu. Dan meninggal di Pontianak, 17 Juli1986 pada umur 63 tahun).

J.C Oevaang Oeray menempuh pendidikan dasar selama enam tahun di Sekolah Rakyat (SR) didesanya. Ia kemudian melanjutkan ke Sekolah Guru dan Sekolah Seminari Nyarumkop selama 6 tahun. Setelah tamat dari Sekolah Seminari, ia sempat melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Pastor. Namun karena adanya perbedaan pendapat antara dirinya dengan salah seorang Pastor Belanda, sehingga ia mendapatkan sanksi dan tidak diperbolehkan meneruskan sekolah seminari tingginya.

Awal Karir J.C Oevaang Oeray

Kepedulian dan keprihatinan J.C Oevaang Oeray terhadap kondisi sosial masyarakat Dayak telah tampak sejak dibangku Seminari Nyarumkop. Pemikirannya semakin berkembang sejak ingin menjadi seorang guru, tepatnya pada tahun 1941 ia menulis surat kepada para guru sekolah Katholik se-Kalimantan Barat yang sedang mengadakan retret (rekoleksi) tahunan di Sanggau untuk turut peduli kepada kondisi sosial masyarakat Dayak pada saat itu yang masih terbelakang. Gagasan J.C Oevaang Oeray tersebut mendapat sambutan baik oleh peserta retret yang pada waktu itu dipimpin oleh tokoh-tokoh guru Khatolik seperti A.F. Korak, J. R. Gilling dan M. Th. Djaman. Berangkat dari kesamaan pemikiran maka mereka sepakat untuk memperjuangkan perubahan kondisi sosial masyarakat dayak melalui sebuah perjuangan politik. Pada tanggal 30 Oktober 1945 lahirnya Dayak In Action (DIA) atau Gerakan Kebangkitan Dayak di Putussibau dibawah kepemimpinan F.C Palaunsuka, salah seorang guru sekolah rakyat. Selanjutnya Dayak In Action (DIA) merupakan cikal bakal Partai Persatuan Dayak (PD).

Seiring berjalannya waktu, Partai Persatuan Dayak (PD) mengalami perkembangan yang pesat dimana mulai dibentuk Dewan Pimpinan Cabang (DPC) disetiap desa. Akibat perkembangan politik yang meningkat, maka pada akhir Desember 1946, Partai PD mengadakan rapat paripurna yang menghasilkan keputusan untuk memindahkan kedudukan partai dari Putussibau ke Pontianak yang kemudian melalui keputusan musyawarah bersama pada tanggal 1 Januari 1947, Oevaang Oeray diangkat sebagai Ketua Umum Partai PD.

Sewaktu Sultan Hamid II membuat DIKB (Daerah Istimewa Kalimantan Barat), pejuang Kalbar yang sifatnya unitarianisme menganggap bahwasanya PPD dibuat untuk keuntungan NICA agar dapat menguasai Kalbar lagi. Kebetulan Oevaang Oeray dalam DIKB mendapat bagian dalam Dewan Pemerintahan Harian bersama keempat orang lainnya, yakni A.P. Korak (Dayak), Mohammad Saleh (Melayu), Lim Bak Meng (Tionghoa), dan Nieuwhusjsen. Kemudian pada 22 Juni 1959, Oevaang Oeray dilantik menjadi Kepala Daerah Swatantra Tk. 1 oleh Sekretaris Jenderal Dalam Negeri dan Otonomi Daerah R.M. Soeparto menggantikan Mendagri.

Melalui sidang tanggal 14 November 1959 DPRD Tingkat I Kalimantan Barat menetapkan nama calon Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Barat. Pada saat itu terdapat dua kandidat calon Gubernur, yaitu Oevaang Oeray (PD) dan R. P. N. L. Tobing (PNI). Dari dua calon tersebut ternyata sesuai dengan Surat Keputusan Presiden RI No. 464/M tanggal 24 Desember 1959, ditetapkan. Oevaang Oeray sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Barat terhitung sejak tanggal 1 Januari 1960 s/d 1966.

J.C Oevaang Oeray pernah mengalami gejolak politik pada masa pemerintahannya. Sebagai contoh saat kesuksesan Partai Persatuan Dayak dalam mengikuti pemilu 1955 dengan suara sebanyak 146.054 sehingga mengundang banyak reaksi. Orang-orang Melayu menuduh Oevaang Oeray melakukan nepotisme dalam pengangkatan pegawai. Ini dikarenakan pada zaman penjajahan, Suku Dayak dianggap rendah dan dikucilkan oleh Kesultanan-Kesultanan Melayu. Sehingga, tindakannya ini dilatarbelakangi dengan niatannya untuk mengangkat derajat Suku Dayak.

Selain itu, Partai Persatuan Dayak mengalami kemunduran yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah pusat untuk mengurangi partai politik daerah dan akibat adanya konflik ditubuh internal partai. Pada tahun 1960-an, PD mengalami perpecahan dan menjadi dua fraksi. Fraksi pertama dikomandoi oleh Gubernur Oevaang Oeray yang didukung oleh Partindo (partai nasionalis sayap kiri). Fraksi kedua dipimpin oleh Palaoensoeka dan didukung mayoritas guru Katolik dan bergabung dengan Partai Katolik. Ditambah lagi dengan konstelasi politik pada tahun 1965 J.C Oevaang Oeray dikarenakan ia adalah orang yang dekat dengan Soekarno/Soekarnois. Setelah insiden pembunuhan 6 jenderal di Jakarta, ia dituding sebagai tokoh politik yang terlibat PKI. Padahal menurut evaluasi Kementerian Luar Negeri, Oevaang Oeray bukanlah simpatisan PKI, melainkan anggota Partindo yang sering diidentikkan sebagai kelompok sayap kiri.

Hal ini membuatnya dituntut mundur pada awal 1965, Ia dituntut turun dari jabatan gubernurnya karena dituduh telah menciptakan perpecahan etnis dan sebagai simpatisan PKI. Dasar hukum pemberhentian Oevaang Oeray ini ialah keputusan No.UP.12/2/43-912 tanggal 12 Juli 1966 memberhentikan dengan hormat J.C Oevang Oeray selaku Gubernur Kepala Daerah Kalbar dan menunjuk Letkol Soemadi BcHK sebagai gubernur baru. Guna mencari gubernur baru secara definitif, maka DPRD GR Kalbar dalam sidangnya pada tanggal 18 Juli 1966 menetapkan dua orang calon gubernur, masing- masing Kol.CHK Soemadi BCHK serta F.C Palaunsoeka. Akhirnya Presiden RI mengangkat Kol CHK Soemadi BCHK sebagai Gubernur Kalbar Tingkat I melalui SK Presiden No 88 tanggal 1 Juli 1967. Pemberhentian Gubernur Oevang Oeray berdasarkan SK Presiden RI No 207 tanggal 22 September.

Untuk mengenang jasa dan sumbangsih J.C Oevaang Oeray dalam pembangunan khususnya di Kalimantan Barat, ia telah diusulkan untuk menjadi salah satu pahlawan nasional namun belum mendapat persetujuan dari pemerintah sampai saat ini.

J.C Oevaang Oeray

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 1 Comment
Tag : , ,
Dalam proses perjalanannya, masyarakat adat Dayak menghadapi tantangan yang berat untuk tetap bertahan dalam tradisinya. Kini mereka dipaksa untuk ”modern” dari kacamata masyarakat umum dengan keharusan meninggalkan tradisi leluhur yang memiliki nilai-nilai budaya luhur. Demi kepentingan pembangunan yang hanya dimaknai mengejar pertumbuhan ekonomi, keberadaan komunitas adat atau suku terasing dimana pun berada sering kali diabaikan seperti halnya yang dialami oleh orang Dayak. Padahal, cara dan nilai hidup komunitas adat itu penting untuk menjaga bertahannya keanekaragaman budaya. Komunitas adat semestinya harus didorong untuk menjadi bagian komunitas internasional dengan pendekatan pembangunan yang berperspektif budaya dan identitas. Pembangunan mesti didasarkan pada keragaman budaya. Pembangunan, jangan hanya dipahami secara sempit, yakni soal pertumbuhan ekonomi saja. Pembangunan juga berarti untuk mencapai kepuasan intelektual, emosi, moral, dan eksistensi spiritual.

Menurut J.U. Lontaan, kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Pada masa lalu, orang Dayak hidup mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka. Namun, kuatnya arus urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar, seperti kedatangan Melayu menyebabkan mereka harus menyingkir ke daerah-daerah pedalaman di seluruh daerah Kalimantan.

Orang Dayak mengidentifikasikan kelompok-kelompoknya berdasarkan asal usul daerahnya, seperti nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Dayak Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa kayaan berarti pengembara), demikian juga menurut sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Dayak Jalai, karena berasal dari sungai Jalai, suku Dayak Mualang, diambil dari nama seorang tokoh lokal yang disegani (Manok Sabung) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang. Dayak Bukit (Kanayatn) berasal dari Bukit atau gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak Simpakng, Kendawangan, Krio, Kayaan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju dan lain sebagainya, semua mempunyai latar belakang sejarahnya sendiri-sendiri.

Bicara tentang suku bangsa Dayak memang tidak pernah habisnya. Dayak merupakan sumber ilmu yang ibarat air selalu memberikan dahaga bagi setiap insan, menjadi sumber inspirasi yang begitu melimpah, yang tidak hanya bisa ditakar dalam sebuah buku, penelitian, studi-studi ilmiah, artikel-artikel, atau pun diskusi-debat dari forum ke forum saja.

Setiap kajian dan bahasan tentang Dayak, tidak akan berarti apa-apa jika tidak mengacu pada identitas Dayak yang sesungguhnya. Hanya dengan identitas-lah, maka pembahasan tentang Dayak akan lebih terasa bermakna dan konstruktif. Jika tidak, maka setiap bahasan itu akan terasa sangat dangkal dan tidak ada artinya. Menyelam Dayak tidak bisa hanya terpaku pada satu perspektif saja atau hanya mengacu pada teori ilmu pengetahuan modern. Dayak tidak bisa dikaji dalam perspektif ilmu pengetahuan modern, seperti melalui bidang ekonomi, sosial-politik, kesehatan saja, melainkan harus mengedepankan cara berpikir yang benar, argumentative dan saling berkaitan dengan meletakkan dasar pikiran pada eksistensi Dayak itu sendiri.

Bahasan kali ini bukan berarti penulis ingin mengajak sidang pembaca untuk kembali bernostalgia pada situasi masa lalu, melainkan untuk melihat kembali realitas yang menimpa kehidupan orang Dayak pada masa lalu, dan saat ini. Pada prinsipnya, perkembangan zaman tidak bisa kita tolak, dan tidak bisa terbantahkan, namun bagaimana ditengah arus deras pembangunan dan globalisasi yang begitu masif itu, orang Dayak tetap bisa mempertahankan identitas, terus mewarisi pengetahuan dan kearifan yang mereka miliki dari generasi ke generasi, tanpa putus dan melepas baju identitasnya. Masifnya perkembangan dunia dengan konsep menguasai panggung kehidupan manusia telah menciptakan pelbagai produk-produk yang menindas, tak luput aspek kebudayaan lokal turut terjerembab oleh hegemoni budaya-budaya luar yang sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai asli kebudayaan Dayak. Pelan tapi pasti, kebudayaan luar yang lebih menyuguhkan gemerlap kemewahan, penyamaan selera, instan, dan sebagainya menjadi ancaman serius yang akan menerpa eksistensi Dayak, baik hari ini maupun yang akan datang.

Karena jika tidak, suatu saat nanti maka identitas orang Dayak hanya akan menjadi sebuah balada yang memilukan, yang tergerus oleh arus budaya yang menindas. Tentu saja kita tidak menghendaki kondisi ini terjadi dan membiarkan Dayak kehilangan identitasnya.

Kita bisa melihat generasi muda Dayak saat ini yang sebagian besar sudah tercerabut dari akar budayanya, cenderung lebih membanggakan nilai-nilai budaya luar ketimbang budayanya sendiri, mengagungkan gemerlap modernisasi yang tidak mereka ketahui bahwa itu akan melindas identitas mereka sendiri. Umar Kayam dalam bukunya, Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya, pernah menyaksikan dan juga sekaligus meramal berbagai persoalan dan perubahan sosial yang sudah dan akan terjadi di seluruh wilayah Nusantara yang tempoe doeloe bernama Hindia Belanda ini. Berbagai persoalan dan perubahan sosial yang ia maksud ialah “mencairnya kebudayaan-kebudayaan setempat dari sifatnya yang homogen menjadi lebih heterogen, kemudian yang lebih penting lagi bahwa penerus-penerus nilai-nilai budaya setempat tidak lagi dapat diharapkan perannya, karena orang-orang muda sebagai penerus nilai budaya itu pergi meninggalkan tempat asal atau kampung halamannya untuk memburu ilmu di kota”.

Apa yang disaksikan Umar Kayam adalah sebuah fakta yang terjadi di kampung halaman penulis, sub-suku Dayak Simpakng, di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Karena banyak generasi Simpakng yang pergi ke kota untuk menimba ilmu sehingga nilai-nilai budaya lokal semakin terkikis akibat tidak adanya penerusnya. Banyak tradisi yang musnah, ditinggalkan dan tidak dilestarikan lagi. Memang disatu sisi, jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Kabupaten Ketapang, orang Dayak Simpakng-lah yang paling banyak melahirkan generasi-generasi yang berpendidikan. Namun jika dilihat kehidupan budayanya justru banyak mengalami kemunduran.

Sebagai generasi yang sudah banyak ditinggal tradisi leluhur, penulis merasa berada dalam situasi kebimbangan. Sehingga pertanyaan refleksi yang selalu penulis ajukan untuk diri penulis sendiri adalah, akankah kondisi itu kita biarkan terus berlanjut? Tentu saja tidak. Karena penulis yakin kita bangga sebagai orang Dayak. Sebagai generasi yang ‘gamang’, tentu saja kita harus selalu mencari dan terus mencari identitas kita yang sebagian sudah hilang. Jangan biarkan diri kita hanyut dalam buaian kemajuan yang justru akan menghilangkan jati diri kita sebagai anak bangsa Dayak. Karena bicara tentang identitas diri, kita tidak hanya bicara sebatas menyebut kata Dayak saja, melainkan harus memahami dan melestarikan nilai-nilai terkandung dalam identitasnya itu sendiri.

(*Frans Lakon Dalam Buku: DAYAK MENGGUGAT)

Manusia Dayak Dipaksa Modern

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 1 Comment
Bukit Kelam adalah sebuah bukit batu (monolit) dengan ketinggian 600 meter dan luasnya kira-kira 4000 meter persegi serta memiliki warna hitam kelam dengan ditumbuhi pohon besar di sekitarnya. Bukit kelam juga diklaim sebagai batu terbesar didunia. Bukit Kelam merupakan salah satu dari sejuta keindahan alam yang terdapat diKalimantan sehingga tak ayal Bukit kelam juga merupakan tujuan wisata yang terdapat di Kabupaten Sintang

Bukit kelam terletak di Kecamatan Kelam Permai Kabupaten Sintang dan berjarak sekitar 395 km disebelah timur ibukota Kalimantan Barat Pontianak serta berada diantara dua buah sungai besar, yaitu sungai kapuas dan melawi. Kawasan seluas 520 hektar itu oleh pemerintah pusat melalui surat keputusan menteri kehutanan RI nomor 594/Kpts-II/92 tanggal 06 Juni 1992 ditetapkan sebagai taman Wisata Alam Bukit Kelam.

Bukit Kelam menyimpan sejuta keindahan dan keanekaragaman didalamnya. Di kawasan ini terdapat berbagai flora dan fauna langka antara lain, seperti meranti (shorea sp), bangeris (koompassia sp), tengkawang (dipterocarpus sp), kebas-kebas (podocarpusceae), anggrek (archidaceae), dan kantong semar raksasa. Berbagai fauna langkanya, seperti beruang madu (heralctus mayalanus), trenggiling (manis javanica), kelelawar (hiropteraphilie), dan alap-alap (acciptiter badios) yang menambah daya tarik kawasan ini.

Ketinggian Bukit Kelam berkisar antara 50 meter – 900 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan antara 15°- 40°, sehingga sangat tepat dijadikan tempat untuk melakukan olahraga terbang layang dan panjat tebing bagi penyuka olahraga lintas alam, di kawasan ini pula terdapat jalan setapak yang berliku-liku sampai ke dalam hutan dengan medan yang cukup terjal. Bagi yang ingin ke puncak bukitnya, dapat melewati sebuah tangga batu yang memiliki ketinggian sekitar 90 meter yang terletak di sebelah barat Bukit Kelam. Dipuncak bukit terdapat pula gua-gua alam yang eksotik dan bernuansa magis yang didalamnya banyak terdapat burung walet. Dari puncak Bukit kelam kita juga disajikan dengan keindahan pemandangan dua buah sungai yang mengapit bukit ini.

Bukit Kelam ini berkaitan erat dengan legenda Bujang Beji dan Tumenggung Marubai. Diceritakan bahwa kedua sosok tersebut adalah ketua dari masing-masing kelompok nelayan mereka di Sintang. Bujang Beji menguasai daerah Sungai Kapuas, dan Tumenggung Marubai di Sungai Melawi. Bujang beji iri melihat Tumenggung Marubai yang selalu mendapat ikan lebih banyak sehingga ia berencana hendak menutup aliran sungai Melawi. Lalu, Bujang beji pergi ke Kapuas hulu untuk mengangkat sebuah Batu besar yang ada di puncak bukit Nanga Silat, namun saat dia sampai di persimpangan antara sungai Kapuas dan sungai Melawi, ia mendengar suara cekikikan para dewi-dewi khayangan yang tengah melihatnya mengangkat batu besar tersebut, tanpa sadar langkahnya salah dan dia menginjak sebuah duri dari tanaman beracun dan kemudian batu tersebut terlepas dan terbenam di suatu tempat yang bernama jetak. Batu itulah yang lama kelamaan tumbuh menjadi Taman wisata Bukit Kelam ini.


Taman Wisata Bukit Kelam

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 0 Comments
Dari kebanyakan sejarahnya, Kalimantan jarang ditinggali oleh manusia. Iklim yang tak bersahabat dan lebatnya hutan hujan membuat populasinya kecil dan menyebar. Namun setengah abad ini semua telah berubah. Pengaruh dari masuknya setengah juta transmigran ke Borneo selama 30 tahun ini telah melipatgandakan populasi pulau tersebut dan memunculkan besarnya kebutuhan kerja. Awalnya industri karet dan penebangan kayu menyediakan lapangan pekerjaan, tapi ketika runtuh di pertengahan (Malaysia) hingga akhir (Indonesia) 1990an, kesempatan kerja ikut menghilang bagi kebanyakan penduduk lokal. Walau bagitu, ratusan pendatang baru terus muncul di Kalimantan setiap minggunya.

Meningkatnya pengangguran adalah masalah yang serius di Borneo pada akhir 1990an dan awal 2000an dan konflik etnis mengamuk di bagian-bagian Kalimantan pada saat itu. Munculnya kelapa sawit di akhir 1990an dan awal 2000an dilihat sebagai kesempatan baru bagi penduduk dan pemerintah lokal.

Namun kehadiran kelapa sawit tidak bisa disebut sebagai salah satu jalan mengatasi pengangguran saja, diluar itu kehadiran kelapa sawit membawa beberapa dampak bagi masyarakat Indonesia khususnya masyarakat di Kalimantan, antara lain :

Dampak Lingkungan

Setidaknya, ada beberapa dampak negatif dari perkebunan sawit bagi lingkungan hidup di Indonesia. Dengan luas lahan perkebunan sawit yang sudah mencapai 7,4 juta hektar, dampak negatif perkebunan sawit akan terus meluas seiring bertambahnya areal perkebunan. Kabut asap merupakan masalah pertama. Saat perkebunan sawit akan dibuka, pembakaran lahan dengan api telah menjadi salah satu metode untuk membersihkan lahan sebelum ditanami sawit. Semakin tinggi tingkat ekspansi lahan, makin tebal kabut yang dihasilkan. Alih fungsi kawasan merupakan faktor terbesar yang menyebabkan rusaknya kemampuan hutan sebagai kawasan penyerap air, penyimpan air, dan mendistribusikannya secara alamiah. Ada hubungan erat antara intensitas banjir yang meningkat dengan meningkatnya luas wilayah perkebunan sawit.

Akibat lain adalah semakin sulitnya akses terhadap air bersih karena perusahaan sawit menguasai lahan tempat sumber air. Selain itu, perusahaan sawit sangat intensif menggunakan bahan kimia untuk mendukung sistem perkebunan intensifikasi. Penggunaan pestisida dan herbisida dalam jumlah besar di perkebunan kelapa sawit mengakibatkan kualitas air di sekitar wilayah perkebunan menurun.

Pembukaan perkebunan kelapa sawit juga berkontribusi pada pemanasan global dan perubahan iklim. Pembukaan lahan melalui pembakaran lahan dan konversi kawasan hutan dan rawa gambut telah menjadikan Indonesia sebagai negara penyumbang emisi CO2 terbesar ketiga di dunia. Hingga saat ini, pemerintah masih belum konsisten dalam mengeluarkan kebijakan. Di satu sisi pemerintah mengajukan untuk mendapat kompensasi berupa kredit dari negara maju untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan penghancuran hutan melalui penerapan Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD), tetapi di sisi lain memberikan banyak kawasan yang luas untuk dikonversi.

Dampak terakhir adalah penurunan drastis keanekaragaman hayati. Penurunan ini dikarenakan dikembangkannya model penanaman monukultur dalam skala besar. Jumlah spesies endemik kini semakin menurun, hal ini diperkuat dengan hasil riset terbaru yang menunjukkan tinggal 12 spesies makhluk hidup yang bertahan di sekitar perkebunan sawit. Mengatasi masalah ini, Salah satu solusi melalui restorasi di kawasan perkebunan. “Ini terkait dengan banyaknya perkebunan sawit yang mengkonversi dan beroperasi di sekitar aliran sungai. Berdasarkan undang-undang lingkungan hidup, aliran sungai harus bersih dari perkebunan dengan jarak 60-100 meter dari tepi sungai. Hal ini belum dilakukan pemerintah dan mutlak dilaksanakan.

Dampak Sosial

Dampak sosial dari perkebunan kelapa sawit sudah bisa mulai dipahami. Walau tak diragukan lagi bahwa perkebunan kelapa sawit menyediakan kesempatan kerja yang besar di Kalimantan, ada keraguan mengenai keadilan dari sistem yang ada, yang sepertinya kadang kala menjadikan para pemilik perkebunan kecil dalam kondisi yang mirip dengan perbudakan.

Kelangkaan dari kayu di beberapa bagian Kalimantan, membuat para penduduknya saat ini hanya memiliki beberapa pilihan untuk mengatasi perekonomian. Kelapa sawit sepertinya menjadi alternatif terbaik bagi masyarakat yang mengandalkan hidupnya dari menanam karet, menanam padi, dan menanam buah-buahan. Saat sebuah perusahaan pertanian besar masuk ke suatu daerah, beberapa anggota masyarakat kebanyakan sangat tertarik untuk menjadi bagian dari perkebunan kelapa sawit. Ketertarikan itu sendiri sebenarnya tidak lebih dari keadaan perekonomian mereka yang sedang tidak baik. Meskipun begitu, tidak sedikit masyarakat yang masih tetap bertahan menanam karet, menanam padi, dan menanam buah-buahan sebagai tumpuan perekonomian mereka. Dengan adanya yang beralih ke perkebunan kelapa sawit dan tetap dengan karet, padi, dan buah-buahan, dengan sendirinya akan menimbulkan kesenjangan sosial antar masyarakat. Akan muncul kecemburuan sosial antar masyarakat tersebut.

Bagi sebagaian masyarakat yang “menolak sawit” akan sangat sulit bagi mereka untuk benar-benar menolak pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di daerah mereka. Hal ini karena tidak banyak masyarakat Kalimantan (di pedalaman khususnya) yang mengerti tentang hal-hal seperti aturan pembukaan lahan, pembagian hasil, dll. Yang pada akhirnya akan muncul konflik antar pihak perusahaan sawit dengan masyarakat yang menolak tadi. Konflik ini sendiri sebenarnya adalah dampak psikologis masyarakat yang tidak mampu melawan tindakan perusahaan, terutama bila sebagian besar masyarakat melawan perusahaan tersebut (Dayak sering melawan rencana perusahaan kelapa sawit).

Dampak Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 3 Comments
Rumah betang adalah rumah adat khas kalimantan yang merupakan rumah suku Dayak. Ciri-ciri rumah betang yaitu bentuk panggung memanjang. Panjang rumah betang bisa mencapai 30-150 meter dan lebar 10-30 meter,tinggi tiang nya 3-5 meter. Bahan bangunan yang digunakan berkaulitas tinggi yaitu kayu ulin, selain memiliki kekuatan yang bisa berdiri sampai dengan ratusan tahun, kayu ini juga anti rayap.Dalam bagian rumah betang ini terbagi menjadi beberapa ruangan yang dihuni oleh setiap keluarga. Pada suku dayak tertentu, pembuatan rumah betang bagian hulunya harus searah dengan matahari terbit dan sebelah hilirnya ke matahari terbenam, sebagai simbol kerja keras untuk bertahan hidup mulai dari Matahari tumbuh dan pulang ke rumah di Matahari padam.

Rumah betang bentuknya memanjang serta terdapat sebuah tangga dan pintu masuk ke dalam betang. Tangga sebagai alat penghubung pada betang dinamakan hejot. Rumah betang di bangun tinggi dari permukaan tanah untuk menghindari musuh yang datang dengan tiba-tiba,binatang buas,banjir yang terkadang melanda. Rumah betang dapat di temui di pinggiran sungai besar yang ada di kalimantan.

Pada halaman depan rumah betang biasanya terdapat balai sebagai penerima tamu atau sebagai tempat pertemuan adat. Halaman depan juga terdapat sapundu. Sapundu merupakan sebuah patung atau totem yang pada umumnya berbentuk manusia yang memiliki ukiran-ukiran yang khas. Sapundu memiliki fungsi sebagai tempat untuk mengikatkan binatang-binatang yang akan dikurbankan untuk prosesi upacara adat. Terkadang terdapat juga patahu di halaman betang yang berfungsi sebagai rumah pemujaan.

Pada bagian belakang dari betang dapat ditemukan sebuah balai yang berukuran kecil yang dinamakan tukau yang digunakan sebagai gudang untuk menyimpan alat-alat pertanian, seperti lisung atau halu.Pada betang juga terdapat sebuah tempat yang dijadikan sebagai tempat penyimpanan senjata, tempat itu biasa disebut bawong. Pada bagian depan atau bagian belakang betang biasanya terdapat pula sandung. Sandung adalah sebuah tempat penyimpanan tulang-tulang keluarga yang sudah meninggal setelah melewati upacara tiwah.

Berdasarkan kepercayaan suku Dayak ada ketentuan khusus dalam peletakan ruang pada Rumah Betang yaitu:

Pusat atau poros bangunan dimana tempat orang berkumpul melakukan berbagaimacam kegiatan baik itu kegiatan keagaman,sosial masyarakat dan lain-lain maka ruang los, harus berada ditengah bangunan.
Ruang tidur, harus disusun berjajar sepanjangbangunan Betang. Peletakan ruang tidur anak danorang tua ada ketentuan tertentu dimana ruangtidur orang tua harus berada paling ujung darialiran sungai dan ruang tidur anak bungsu harusberada pada paling ujung hilir aliran sungai, jadiruang tidur orang tua dan anak bungsu tidak bolehdiapit dan apabila itu dilanggar akan mendapatpetaka bagi seisi rumah.
Bagian dapur harus menghadap aliran sungai, menurut mitos supaya mendapat rezeki.
Tangga. Tangga dalam ruangan rumah adat Betang harus begrjumlah ganjil, tetapi umumnya berjumlah 3 yaitu berada di ujung kiri dan kanan, satu lagi di depan sebagai penanda atau ungakapan rasa solidariras menurut mitostergantung ukuran rumah, semakin besar ukuran rumah maka semakin banyak tangga.
Pante adalah lantai tempat menjemur padi, pakaian, untuk mengadakan upacara adat lainya. Posisinya berada didepan bagian luar atap yeng menjorok ke luar. Lantai pante terbuatdari bahan bambu, belahan batang pinang, kayu bulatan sebesar pergelangan tangan atau dari batang papan.
Serambi adalah pintu masuk rumah setelah melewati pante yang jumlahnya sesuai dengan jumlah kepala keluarga. Di depan serambi ini apabila ada upacara adat kampung dipasang tanda khusus seperti sebatang bambu yang kulitnya diarut halus menyerupai jumbai-jumbai ruas  demi ruas.
Sami berfungsi ruang tamu sebagai tempat menyelenggarakan kegiatan warga yang memerlukan.
Jungkar. Tidak seperti raungan yang pada umumnya harus ada. Sementara Jungkar sebagai ruang tambahan dibagian belakang bilik keluarga masing-masing yang atapnya menyambung atap rumah panjang atau ada kalanya bumbung atap berdiri sendiri tapi masih merupakan bagian dari rumah panjang. Jungkar  ditempatkan di tangga masuk atau keluar bagi satu keluarga, agar tidak mengganggu tamu yang sedang bertandang. Jungkar yang atapnya menyambung pada atap rumah panjang dibuatkan tingaatn (ventilasi pada atap yang terbuka dengan ditopang/disanggah kayu) yang sewaktu hujan atau malam hari dapat ditutup kembali.
Rumah betang yang tersisa pada masyarakat Dayak merupakan contoh kehidupan budaya tradisional yang mampu bertahan dan beradaptasi dengan lingkungan. Masyarakat Dayak memiliki naluri untuk selalu hidup bersama secara berdampingan dengan alam dan warga masyarakat lainnya. Mereka gemar hidup damai dalam komunitas yang harmonis sehingga berusaha terus bertahan dengan pola kehidupan rumah betang. Harapan ini didukung oleh kesadaran setiap individu untuk menyelaraskan kepentingannya dengan kepentingan bersama. Kesadaran tersebut dilandasi oleh alam pikiran religio-magis, yang menganggap bahwa setiap warga mempunyai nilai dan kedudukan serta hak hidup yang sama dalam lingkungan masyarakatnya. Pola pemukiman rumah betang erat hubungannya dengan sumber-sumber makanan yang disediakan oleh alam sekitarnya, seperti lahan untuk berladang, sungai yang banyak ikan, dan hutan-hutan yang dihuni binatang buruan. Namun dewasa ini, ketergantungan pada alam secara bertahap sudah mulai berkurang. Masyarakat Dayak telah mulai mengenal perkebunan dan peternakan.Rumah betang menggambarkan keakraban hubungan dalam keluarga dan pada masyarakat.

Rumah betang selain tempat kediaman juga merupakan pusat segala kegiatan tradisional warga masyarakat. Apabila diamati secara lebih seksama, kegiatan di rumah betang menyerupai proses pendidikan tradisional yang bersifat non formal. Dalam masyarakat Dayak terdapat pembagian tugas atau perbedaan dalam mengerjakan seni tradisional. Kaum pria terampil dalam ngamboh (pandai besi ), menganyam, dan mengukir, sedangkan wanita lebih terampil dalam menenun dan menganyam yang halus.

Sejarah Rumah Betang di Kalimantan

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 1 Comment
 Gawai Dayak adalah sebuah perayaan yang di adakan di Kalimantan dan dilaksanakan oleh suku asli Kalimantan yaitu suku Dayak. Perayaan gawai Dayak tidak hanya di rayakan oleh suku dayak di Indonesia tetapi juga di rayakan oleh suku dayak di Malaysia. Gawai Dayak merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak yang dilaksanakan secara rutin setiap tahun oleh suku Dayak,maksud dan tujuan dari perayaan gawai dayak adalah sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta (Tuhan) atas panen yang melimpah ruah, sekaligus memohon agar panen berikutnya diberi kelimpahan. Ada sejumlah upacara yang harus dilakukan dalam Gawai Dayak. Upacara adat tersebut menjadi semacam rangkaian prosesi baku yang harus dilewati. Beragam makanan tradisional dan sejumlah sesaji pun tak lupa disiapkan sebagai salah satu unsur penting upacara,minuman tradisional yang terbuat dari bahan alami antara lain yaitu tuak dan arak yang terbuat dari ketan hasil panen selain mengucap syukur kepada tuhan atas hasil perladangan Gawai Dayak bertujuan untuk mengumpulkan saudara saudara mereka yang sibuk dengan perkerjaan sendiri selama satu siklus perladangan untuk saling meneguhkan,memaafkan dan saling membagi pengalaman hidup.

Pada awalnya Gawai Dayak dilaksanakan di rumah betang (rumah panjang) rumah adat suku asli Kalimantan yaitu suku Dayak. Persembahan berbagai makanan dan hasil alam dipersembahkan kepada leluhur untuk hasil panen yang baik,dan diantara salah seorang tetua suku akan membacakan mantra khusus untuk upacara ini dan berlumur darah ayam jantan pada bahan persembahan, setelah upacara ini selesai maka perayaan Gawai Dayak pun secara resmi dibuka.

Gawai dayak kini menjadi hari raya resmi bagi suku dayak, Gawai Dayak mulai diadakan secara besar besaran sejak 25 september 1964 baik di Kalimantan bagian Indonesia maupun Kalimantan di bagian Malaysia,saat ini gawai dayak diselaraskan menjadi perayaan tahun baru dayak tahun baru disini bukan diartikan secara bebas seperti pergantian tahun baru atas penanggalan tapi pergantian tahun atas selesai nya panen padi oleh suku dayak yang jatuh pada tanggal 31 mei meskipun ada juga yang merayakannya lebih awal yaitu pada tanggal 25 april dan adapun yang merayakannya lebih akhir yaitu bulan juni. Gawai Dayak tradisional pada umumnya pelaksanaannya dapat memakan waktu hingga tiga bulan, yaitu biasanya pada Bulan April sampai Juni. Pelaku upacara adat akan mengenakan pakaian tradisional berikut perhiasan tradisional seperti manik orang ulu,bulu burung enggang dan kerajinan perak tradisional. Pesta Gawai Dayak ditutup dan berakhir dengan penurunan pokok ranyai yang digantung.

PERKEMBANGAN GAWAI DAYAK di ZAMAN MODERN

Hingga kini Gawai Dayak bukanlah peristiwa budaya yang murni tradisional, baik dilihat dari tempat pelaksanaan maupun isinya. Seiring perkembangan zaman dan isu kepentingan, kini upacara Gawai Dayak tradisional mengalami beberapa penyesuaian namun tetap mempertahankan unsur-unsur budaya yang penting terutama urutan dan prosesi upacaranya itu sendiri. Bekerja sama dengan pemerintah daerah Gawai Dayak kini hanya digelar selama sepekan dan rutin dilaksanakan pada 20 Mei setiap tahunnya. Nama kegiatan bermuatan kepentingan budaya ini pun sekarang dikenal dengan Pekan Gawai Dayak.

Saat ini di beberapa daerah Kabupaten di Kalimantan bagian Indonesia maupun Kalimantan bagian Malaysia acara syukuran ini telah dimodifikasi dengan tidak menghilangkan nilai-nilai luhur budaya dan diangkat menjadi acara tingkat kabupaten. Selain liputan wilayahnya diperluas, acaranya pun ditambah dengan penampilan berbagai tradisi Dayak yang ada di daerah yang bersangkutan, dan daerah lainnya yang bersedia mengikuti acara tersebut.

Dalam kemasan modern, upacara adat ini dimeriahi oleh berbagai bentuk acara adat,upacara ritual,kesenian tradisional, permainan tradisional,dan pemeran berbagai bentuk kerajinan tradisional. Hingga kini Gawai Dayak masih tetap dilaksanakan dan dipegang teguh oleh generasi suku Dayak di Kalimantan.

Sejarah Gawai Dayak dan Perkembangannya

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 1 Comment

- Copyright © DAYAK TALINO - MENEMBUS PERADABAN - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -