Archive for 2016

Johannes Chrisostomus Oevaang Oeray atau yang lebih dikenal dengan J.C. Oevaang Oeray ialah salah seorang tokoh pejuang di Kalimantan Barat sekaligus menjabat sebagai gubernur Kalimantan Barat pada periode 1960-1966. J.C Oevaang Oeray lahir pada tanggal 18 Agustus tahun 1922 di Tanjung Kuda, desa Melapi I, Kabupaten Kapuas Hulu. Dan meninggal di Pontianak, 17 Juli1986 pada umur 63 tahun).

J.C Oevaang Oeray menempuh pendidikan dasar selama enam tahun di Sekolah Rakyat (SR) didesanya. Ia kemudian melanjutkan ke Sekolah Guru dan Sekolah Seminari Nyarumkop selama 6 tahun. Setelah tamat dari Sekolah Seminari, ia sempat melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Pastor. Namun karena adanya perbedaan pendapat antara dirinya dengan salah seorang Pastor Belanda, sehingga ia mendapatkan sanksi dan tidak diperbolehkan meneruskan sekolah seminari tingginya.

Awal Karir J.C Oevaang Oeray

Kepedulian dan keprihatinan J.C Oevaang Oeray terhadap kondisi sosial masyarakat Dayak telah tampak sejak dibangku Seminari Nyarumkop. Pemikirannya semakin berkembang sejak ingin menjadi seorang guru, tepatnya pada tahun 1941 ia menulis surat kepada para guru sekolah Katholik se-Kalimantan Barat yang sedang mengadakan retret (rekoleksi) tahunan di Sanggau untuk turut peduli kepada kondisi sosial masyarakat Dayak pada saat itu yang masih terbelakang. Gagasan J.C Oevaang Oeray tersebut mendapat sambutan baik oleh peserta retret yang pada waktu itu dipimpin oleh tokoh-tokoh guru Khatolik seperti A.F. Korak, J. R. Gilling dan M. Th. Djaman. Berangkat dari kesamaan pemikiran maka mereka sepakat untuk memperjuangkan perubahan kondisi sosial masyarakat dayak melalui sebuah perjuangan politik. Pada tanggal 30 Oktober 1945 lahirnya Dayak In Action (DIA) atau Gerakan Kebangkitan Dayak di Putussibau dibawah kepemimpinan F.C Palaunsuka, salah seorang guru sekolah rakyat. Selanjutnya Dayak In Action (DIA) merupakan cikal bakal Partai Persatuan Dayak (PD).

Seiring berjalannya waktu, Partai Persatuan Dayak (PD) mengalami perkembangan yang pesat dimana mulai dibentuk Dewan Pimpinan Cabang (DPC) disetiap desa. Akibat perkembangan politik yang meningkat, maka pada akhir Desember 1946, Partai PD mengadakan rapat paripurna yang menghasilkan keputusan untuk memindahkan kedudukan partai dari Putussibau ke Pontianak yang kemudian melalui keputusan musyawarah bersama pada tanggal 1 Januari 1947, Oevaang Oeray diangkat sebagai Ketua Umum Partai PD.

Sewaktu Sultan Hamid II membuat DIKB (Daerah Istimewa Kalimantan Barat), pejuang Kalbar yang sifatnya unitarianisme menganggap bahwasanya PPD dibuat untuk keuntungan NICA agar dapat menguasai Kalbar lagi. Kebetulan Oevaang Oeray dalam DIKB mendapat bagian dalam Dewan Pemerintahan Harian bersama keempat orang lainnya, yakni A.P. Korak (Dayak), Mohammad Saleh (Melayu), Lim Bak Meng (Tionghoa), dan Nieuwhusjsen. Kemudian pada 22 Juni 1959, Oevaang Oeray dilantik menjadi Kepala Daerah Swatantra Tk. 1 oleh Sekretaris Jenderal Dalam Negeri dan Otonomi Daerah R.M. Soeparto menggantikan Mendagri.

Melalui sidang tanggal 14 November 1959 DPRD Tingkat I Kalimantan Barat menetapkan nama calon Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Barat. Pada saat itu terdapat dua kandidat calon Gubernur, yaitu Oevaang Oeray (PD) dan R. P. N. L. Tobing (PNI). Dari dua calon tersebut ternyata sesuai dengan Surat Keputusan Presiden RI No. 464/M tanggal 24 Desember 1959, ditetapkan. Oevaang Oeray sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Barat terhitung sejak tanggal 1 Januari 1960 s/d 1966.

J.C Oevaang Oeray pernah mengalami gejolak politik pada masa pemerintahannya. Sebagai contoh saat kesuksesan Partai Persatuan Dayak dalam mengikuti pemilu 1955 dengan suara sebanyak 146.054 sehingga mengundang banyak reaksi. Orang-orang Melayu menuduh Oevaang Oeray melakukan nepotisme dalam pengangkatan pegawai. Ini dikarenakan pada zaman penjajahan, Suku Dayak dianggap rendah dan dikucilkan oleh Kesultanan-Kesultanan Melayu. Sehingga, tindakannya ini dilatarbelakangi dengan niatannya untuk mengangkat derajat Suku Dayak.

Selain itu, Partai Persatuan Dayak mengalami kemunduran yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah pusat untuk mengurangi partai politik daerah dan akibat adanya konflik ditubuh internal partai. Pada tahun 1960-an, PD mengalami perpecahan dan menjadi dua fraksi. Fraksi pertama dikomandoi oleh Gubernur Oevaang Oeray yang didukung oleh Partindo (partai nasionalis sayap kiri). Fraksi kedua dipimpin oleh Palaoensoeka dan didukung mayoritas guru Katolik dan bergabung dengan Partai Katolik. Ditambah lagi dengan konstelasi politik pada tahun 1965 J.C Oevaang Oeray dikarenakan ia adalah orang yang dekat dengan Soekarno/Soekarnois. Setelah insiden pembunuhan 6 jenderal di Jakarta, ia dituding sebagai tokoh politik yang terlibat PKI. Padahal menurut evaluasi Kementerian Luar Negeri, Oevaang Oeray bukanlah simpatisan PKI, melainkan anggota Partindo yang sering diidentikkan sebagai kelompok sayap kiri.

Hal ini membuatnya dituntut mundur pada awal 1965, Ia dituntut turun dari jabatan gubernurnya karena dituduh telah menciptakan perpecahan etnis dan sebagai simpatisan PKI. Dasar hukum pemberhentian Oevaang Oeray ini ialah keputusan No.UP.12/2/43-912 tanggal 12 Juli 1966 memberhentikan dengan hormat J.C Oevang Oeray selaku Gubernur Kepala Daerah Kalbar dan menunjuk Letkol Soemadi BcHK sebagai gubernur baru. Guna mencari gubernur baru secara definitif, maka DPRD GR Kalbar dalam sidangnya pada tanggal 18 Juli 1966 menetapkan dua orang calon gubernur, masing- masing Kol.CHK Soemadi BCHK serta F.C Palaunsoeka. Akhirnya Presiden RI mengangkat Kol CHK Soemadi BCHK sebagai Gubernur Kalbar Tingkat I melalui SK Presiden No 88 tanggal 1 Juli 1967. Pemberhentian Gubernur Oevang Oeray berdasarkan SK Presiden RI No 207 tanggal 22 September.

Untuk mengenang jasa dan sumbangsih J.C Oevaang Oeray dalam pembangunan khususnya di Kalimantan Barat, ia telah diusulkan untuk menjadi salah satu pahlawan nasional namun belum mendapat persetujuan dari pemerintah sampai saat ini.

J.C Oevaang Oeray

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 1 Comment
Tag : , ,
Dalam proses perjalanannya, masyarakat adat Dayak menghadapi tantangan yang berat untuk tetap bertahan dalam tradisinya. Kini mereka dipaksa untuk ”modern” dari kacamata masyarakat umum dengan keharusan meninggalkan tradisi leluhur yang memiliki nilai-nilai budaya luhur. Demi kepentingan pembangunan yang hanya dimaknai mengejar pertumbuhan ekonomi, keberadaan komunitas adat atau suku terasing dimana pun berada sering kali diabaikan seperti halnya yang dialami oleh orang Dayak. Padahal, cara dan nilai hidup komunitas adat itu penting untuk menjaga bertahannya keanekaragaman budaya. Komunitas adat semestinya harus didorong untuk menjadi bagian komunitas internasional dengan pendekatan pembangunan yang berperspektif budaya dan identitas. Pembangunan mesti didasarkan pada keragaman budaya. Pembangunan, jangan hanya dipahami secara sempit, yakni soal pertumbuhan ekonomi saja. Pembangunan juga berarti untuk mencapai kepuasan intelektual, emosi, moral, dan eksistensi spiritual.

Menurut J.U. Lontaan, kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Pada masa lalu, orang Dayak hidup mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka. Namun, kuatnya arus urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar, seperti kedatangan Melayu menyebabkan mereka harus menyingkir ke daerah-daerah pedalaman di seluruh daerah Kalimantan.

Orang Dayak mengidentifikasikan kelompok-kelompoknya berdasarkan asal usul daerahnya, seperti nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Dayak Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa kayaan berarti pengembara), demikian juga menurut sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Dayak Jalai, karena berasal dari sungai Jalai, suku Dayak Mualang, diambil dari nama seorang tokoh lokal yang disegani (Manok Sabung) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang. Dayak Bukit (Kanayatn) berasal dari Bukit atau gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak Simpakng, Kendawangan, Krio, Kayaan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju dan lain sebagainya, semua mempunyai latar belakang sejarahnya sendiri-sendiri.

Bicara tentang suku bangsa Dayak memang tidak pernah habisnya. Dayak merupakan sumber ilmu yang ibarat air selalu memberikan dahaga bagi setiap insan, menjadi sumber inspirasi yang begitu melimpah, yang tidak hanya bisa ditakar dalam sebuah buku, penelitian, studi-studi ilmiah, artikel-artikel, atau pun diskusi-debat dari forum ke forum saja.

Setiap kajian dan bahasan tentang Dayak, tidak akan berarti apa-apa jika tidak mengacu pada identitas Dayak yang sesungguhnya. Hanya dengan identitas-lah, maka pembahasan tentang Dayak akan lebih terasa bermakna dan konstruktif. Jika tidak, maka setiap bahasan itu akan terasa sangat dangkal dan tidak ada artinya. Menyelam Dayak tidak bisa hanya terpaku pada satu perspektif saja atau hanya mengacu pada teori ilmu pengetahuan modern. Dayak tidak bisa dikaji dalam perspektif ilmu pengetahuan modern, seperti melalui bidang ekonomi, sosial-politik, kesehatan saja, melainkan harus mengedepankan cara berpikir yang benar, argumentative dan saling berkaitan dengan meletakkan dasar pikiran pada eksistensi Dayak itu sendiri.

Bahasan kali ini bukan berarti penulis ingin mengajak sidang pembaca untuk kembali bernostalgia pada situasi masa lalu, melainkan untuk melihat kembali realitas yang menimpa kehidupan orang Dayak pada masa lalu, dan saat ini. Pada prinsipnya, perkembangan zaman tidak bisa kita tolak, dan tidak bisa terbantahkan, namun bagaimana ditengah arus deras pembangunan dan globalisasi yang begitu masif itu, orang Dayak tetap bisa mempertahankan identitas, terus mewarisi pengetahuan dan kearifan yang mereka miliki dari generasi ke generasi, tanpa putus dan melepas baju identitasnya. Masifnya perkembangan dunia dengan konsep menguasai panggung kehidupan manusia telah menciptakan pelbagai produk-produk yang menindas, tak luput aspek kebudayaan lokal turut terjerembab oleh hegemoni budaya-budaya luar yang sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai asli kebudayaan Dayak. Pelan tapi pasti, kebudayaan luar yang lebih menyuguhkan gemerlap kemewahan, penyamaan selera, instan, dan sebagainya menjadi ancaman serius yang akan menerpa eksistensi Dayak, baik hari ini maupun yang akan datang.

Karena jika tidak, suatu saat nanti maka identitas orang Dayak hanya akan menjadi sebuah balada yang memilukan, yang tergerus oleh arus budaya yang menindas. Tentu saja kita tidak menghendaki kondisi ini terjadi dan membiarkan Dayak kehilangan identitasnya.

Kita bisa melihat generasi muda Dayak saat ini yang sebagian besar sudah tercerabut dari akar budayanya, cenderung lebih membanggakan nilai-nilai budaya luar ketimbang budayanya sendiri, mengagungkan gemerlap modernisasi yang tidak mereka ketahui bahwa itu akan melindas identitas mereka sendiri. Umar Kayam dalam bukunya, Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya, pernah menyaksikan dan juga sekaligus meramal berbagai persoalan dan perubahan sosial yang sudah dan akan terjadi di seluruh wilayah Nusantara yang tempoe doeloe bernama Hindia Belanda ini. Berbagai persoalan dan perubahan sosial yang ia maksud ialah “mencairnya kebudayaan-kebudayaan setempat dari sifatnya yang homogen menjadi lebih heterogen, kemudian yang lebih penting lagi bahwa penerus-penerus nilai-nilai budaya setempat tidak lagi dapat diharapkan perannya, karena orang-orang muda sebagai penerus nilai budaya itu pergi meninggalkan tempat asal atau kampung halamannya untuk memburu ilmu di kota”.

Apa yang disaksikan Umar Kayam adalah sebuah fakta yang terjadi di kampung halaman penulis, sub-suku Dayak Simpakng, di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Karena banyak generasi Simpakng yang pergi ke kota untuk menimba ilmu sehingga nilai-nilai budaya lokal semakin terkikis akibat tidak adanya penerusnya. Banyak tradisi yang musnah, ditinggalkan dan tidak dilestarikan lagi. Memang disatu sisi, jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Kabupaten Ketapang, orang Dayak Simpakng-lah yang paling banyak melahirkan generasi-generasi yang berpendidikan. Namun jika dilihat kehidupan budayanya justru banyak mengalami kemunduran.

Sebagai generasi yang sudah banyak ditinggal tradisi leluhur, penulis merasa berada dalam situasi kebimbangan. Sehingga pertanyaan refleksi yang selalu penulis ajukan untuk diri penulis sendiri adalah, akankah kondisi itu kita biarkan terus berlanjut? Tentu saja tidak. Karena penulis yakin kita bangga sebagai orang Dayak. Sebagai generasi yang ‘gamang’, tentu saja kita harus selalu mencari dan terus mencari identitas kita yang sebagian sudah hilang. Jangan biarkan diri kita hanyut dalam buaian kemajuan yang justru akan menghilangkan jati diri kita sebagai anak bangsa Dayak. Karena bicara tentang identitas diri, kita tidak hanya bicara sebatas menyebut kata Dayak saja, melainkan harus memahami dan melestarikan nilai-nilai terkandung dalam identitasnya itu sendiri.

(*Frans Lakon Dalam Buku: DAYAK MENGGUGAT)

Manusia Dayak Dipaksa Modern

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 1 Comment
Bukit Kelam adalah sebuah bukit batu (monolit) dengan ketinggian 600 meter dan luasnya kira-kira 4000 meter persegi serta memiliki warna hitam kelam dengan ditumbuhi pohon besar di sekitarnya. Bukit kelam juga diklaim sebagai batu terbesar didunia. Bukit Kelam merupakan salah satu dari sejuta keindahan alam yang terdapat diKalimantan sehingga tak ayal Bukit kelam juga merupakan tujuan wisata yang terdapat di Kabupaten Sintang

Bukit kelam terletak di Kecamatan Kelam Permai Kabupaten Sintang dan berjarak sekitar 395 km disebelah timur ibukota Kalimantan Barat Pontianak serta berada diantara dua buah sungai besar, yaitu sungai kapuas dan melawi. Kawasan seluas 520 hektar itu oleh pemerintah pusat melalui surat keputusan menteri kehutanan RI nomor 594/Kpts-II/92 tanggal 06 Juni 1992 ditetapkan sebagai taman Wisata Alam Bukit Kelam.

Bukit Kelam menyimpan sejuta keindahan dan keanekaragaman didalamnya. Di kawasan ini terdapat berbagai flora dan fauna langka antara lain, seperti meranti (shorea sp), bangeris (koompassia sp), tengkawang (dipterocarpus sp), kebas-kebas (podocarpusceae), anggrek (archidaceae), dan kantong semar raksasa. Berbagai fauna langkanya, seperti beruang madu (heralctus mayalanus), trenggiling (manis javanica), kelelawar (hiropteraphilie), dan alap-alap (acciptiter badios) yang menambah daya tarik kawasan ini.

Ketinggian Bukit Kelam berkisar antara 50 meter – 900 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan antara 15°- 40°, sehingga sangat tepat dijadikan tempat untuk melakukan olahraga terbang layang dan panjat tebing bagi penyuka olahraga lintas alam, di kawasan ini pula terdapat jalan setapak yang berliku-liku sampai ke dalam hutan dengan medan yang cukup terjal. Bagi yang ingin ke puncak bukitnya, dapat melewati sebuah tangga batu yang memiliki ketinggian sekitar 90 meter yang terletak di sebelah barat Bukit Kelam. Dipuncak bukit terdapat pula gua-gua alam yang eksotik dan bernuansa magis yang didalamnya banyak terdapat burung walet. Dari puncak Bukit kelam kita juga disajikan dengan keindahan pemandangan dua buah sungai yang mengapit bukit ini.

Bukit Kelam ini berkaitan erat dengan legenda Bujang Beji dan Tumenggung Marubai. Diceritakan bahwa kedua sosok tersebut adalah ketua dari masing-masing kelompok nelayan mereka di Sintang. Bujang Beji menguasai daerah Sungai Kapuas, dan Tumenggung Marubai di Sungai Melawi. Bujang beji iri melihat Tumenggung Marubai yang selalu mendapat ikan lebih banyak sehingga ia berencana hendak menutup aliran sungai Melawi. Lalu, Bujang beji pergi ke Kapuas hulu untuk mengangkat sebuah Batu besar yang ada di puncak bukit Nanga Silat, namun saat dia sampai di persimpangan antara sungai Kapuas dan sungai Melawi, ia mendengar suara cekikikan para dewi-dewi khayangan yang tengah melihatnya mengangkat batu besar tersebut, tanpa sadar langkahnya salah dan dia menginjak sebuah duri dari tanaman beracun dan kemudian batu tersebut terlepas dan terbenam di suatu tempat yang bernama jetak. Batu itulah yang lama kelamaan tumbuh menjadi Taman wisata Bukit Kelam ini.


Taman Wisata Bukit Kelam

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 0 Comments
Dari kebanyakan sejarahnya, Kalimantan jarang ditinggali oleh manusia. Iklim yang tak bersahabat dan lebatnya hutan hujan membuat populasinya kecil dan menyebar. Namun setengah abad ini semua telah berubah. Pengaruh dari masuknya setengah juta transmigran ke Borneo selama 30 tahun ini telah melipatgandakan populasi pulau tersebut dan memunculkan besarnya kebutuhan kerja. Awalnya industri karet dan penebangan kayu menyediakan lapangan pekerjaan, tapi ketika runtuh di pertengahan (Malaysia) hingga akhir (Indonesia) 1990an, kesempatan kerja ikut menghilang bagi kebanyakan penduduk lokal. Walau bagitu, ratusan pendatang baru terus muncul di Kalimantan setiap minggunya.

Meningkatnya pengangguran adalah masalah yang serius di Borneo pada akhir 1990an dan awal 2000an dan konflik etnis mengamuk di bagian-bagian Kalimantan pada saat itu. Munculnya kelapa sawit di akhir 1990an dan awal 2000an dilihat sebagai kesempatan baru bagi penduduk dan pemerintah lokal.

Namun kehadiran kelapa sawit tidak bisa disebut sebagai salah satu jalan mengatasi pengangguran saja, diluar itu kehadiran kelapa sawit membawa beberapa dampak bagi masyarakat Indonesia khususnya masyarakat di Kalimantan, antara lain :

Dampak Lingkungan

Setidaknya, ada beberapa dampak negatif dari perkebunan sawit bagi lingkungan hidup di Indonesia. Dengan luas lahan perkebunan sawit yang sudah mencapai 7,4 juta hektar, dampak negatif perkebunan sawit akan terus meluas seiring bertambahnya areal perkebunan. Kabut asap merupakan masalah pertama. Saat perkebunan sawit akan dibuka, pembakaran lahan dengan api telah menjadi salah satu metode untuk membersihkan lahan sebelum ditanami sawit. Semakin tinggi tingkat ekspansi lahan, makin tebal kabut yang dihasilkan. Alih fungsi kawasan merupakan faktor terbesar yang menyebabkan rusaknya kemampuan hutan sebagai kawasan penyerap air, penyimpan air, dan mendistribusikannya secara alamiah. Ada hubungan erat antara intensitas banjir yang meningkat dengan meningkatnya luas wilayah perkebunan sawit.

Akibat lain adalah semakin sulitnya akses terhadap air bersih karena perusahaan sawit menguasai lahan tempat sumber air. Selain itu, perusahaan sawit sangat intensif menggunakan bahan kimia untuk mendukung sistem perkebunan intensifikasi. Penggunaan pestisida dan herbisida dalam jumlah besar di perkebunan kelapa sawit mengakibatkan kualitas air di sekitar wilayah perkebunan menurun.

Pembukaan perkebunan kelapa sawit juga berkontribusi pada pemanasan global dan perubahan iklim. Pembukaan lahan melalui pembakaran lahan dan konversi kawasan hutan dan rawa gambut telah menjadikan Indonesia sebagai negara penyumbang emisi CO2 terbesar ketiga di dunia. Hingga saat ini, pemerintah masih belum konsisten dalam mengeluarkan kebijakan. Di satu sisi pemerintah mengajukan untuk mendapat kompensasi berupa kredit dari negara maju untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan penghancuran hutan melalui penerapan Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD), tetapi di sisi lain memberikan banyak kawasan yang luas untuk dikonversi.

Dampak terakhir adalah penurunan drastis keanekaragaman hayati. Penurunan ini dikarenakan dikembangkannya model penanaman monukultur dalam skala besar. Jumlah spesies endemik kini semakin menurun, hal ini diperkuat dengan hasil riset terbaru yang menunjukkan tinggal 12 spesies makhluk hidup yang bertahan di sekitar perkebunan sawit. Mengatasi masalah ini, Salah satu solusi melalui restorasi di kawasan perkebunan. “Ini terkait dengan banyaknya perkebunan sawit yang mengkonversi dan beroperasi di sekitar aliran sungai. Berdasarkan undang-undang lingkungan hidup, aliran sungai harus bersih dari perkebunan dengan jarak 60-100 meter dari tepi sungai. Hal ini belum dilakukan pemerintah dan mutlak dilaksanakan.

Dampak Sosial

Dampak sosial dari perkebunan kelapa sawit sudah bisa mulai dipahami. Walau tak diragukan lagi bahwa perkebunan kelapa sawit menyediakan kesempatan kerja yang besar di Kalimantan, ada keraguan mengenai keadilan dari sistem yang ada, yang sepertinya kadang kala menjadikan para pemilik perkebunan kecil dalam kondisi yang mirip dengan perbudakan.

Kelangkaan dari kayu di beberapa bagian Kalimantan, membuat para penduduknya saat ini hanya memiliki beberapa pilihan untuk mengatasi perekonomian. Kelapa sawit sepertinya menjadi alternatif terbaik bagi masyarakat yang mengandalkan hidupnya dari menanam karet, menanam padi, dan menanam buah-buahan. Saat sebuah perusahaan pertanian besar masuk ke suatu daerah, beberapa anggota masyarakat kebanyakan sangat tertarik untuk menjadi bagian dari perkebunan kelapa sawit. Ketertarikan itu sendiri sebenarnya tidak lebih dari keadaan perekonomian mereka yang sedang tidak baik. Meskipun begitu, tidak sedikit masyarakat yang masih tetap bertahan menanam karet, menanam padi, dan menanam buah-buahan sebagai tumpuan perekonomian mereka. Dengan adanya yang beralih ke perkebunan kelapa sawit dan tetap dengan karet, padi, dan buah-buahan, dengan sendirinya akan menimbulkan kesenjangan sosial antar masyarakat. Akan muncul kecemburuan sosial antar masyarakat tersebut.

Bagi sebagaian masyarakat yang “menolak sawit” akan sangat sulit bagi mereka untuk benar-benar menolak pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di daerah mereka. Hal ini karena tidak banyak masyarakat Kalimantan (di pedalaman khususnya) yang mengerti tentang hal-hal seperti aturan pembukaan lahan, pembagian hasil, dll. Yang pada akhirnya akan muncul konflik antar pihak perusahaan sawit dengan masyarakat yang menolak tadi. Konflik ini sendiri sebenarnya adalah dampak psikologis masyarakat yang tidak mampu melawan tindakan perusahaan, terutama bila sebagian besar masyarakat melawan perusahaan tersebut (Dayak sering melawan rencana perusahaan kelapa sawit).

Dampak Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 3 Comments
Rumah betang adalah rumah adat khas kalimantan yang merupakan rumah suku Dayak. Ciri-ciri rumah betang yaitu bentuk panggung memanjang. Panjang rumah betang bisa mencapai 30-150 meter dan lebar 10-30 meter,tinggi tiang nya 3-5 meter. Bahan bangunan yang digunakan berkaulitas tinggi yaitu kayu ulin, selain memiliki kekuatan yang bisa berdiri sampai dengan ratusan tahun, kayu ini juga anti rayap.Dalam bagian rumah betang ini terbagi menjadi beberapa ruangan yang dihuni oleh setiap keluarga. Pada suku dayak tertentu, pembuatan rumah betang bagian hulunya harus searah dengan matahari terbit dan sebelah hilirnya ke matahari terbenam, sebagai simbol kerja keras untuk bertahan hidup mulai dari Matahari tumbuh dan pulang ke rumah di Matahari padam.

Rumah betang bentuknya memanjang serta terdapat sebuah tangga dan pintu masuk ke dalam betang. Tangga sebagai alat penghubung pada betang dinamakan hejot. Rumah betang di bangun tinggi dari permukaan tanah untuk menghindari musuh yang datang dengan tiba-tiba,binatang buas,banjir yang terkadang melanda. Rumah betang dapat di temui di pinggiran sungai besar yang ada di kalimantan.

Pada halaman depan rumah betang biasanya terdapat balai sebagai penerima tamu atau sebagai tempat pertemuan adat. Halaman depan juga terdapat sapundu. Sapundu merupakan sebuah patung atau totem yang pada umumnya berbentuk manusia yang memiliki ukiran-ukiran yang khas. Sapundu memiliki fungsi sebagai tempat untuk mengikatkan binatang-binatang yang akan dikurbankan untuk prosesi upacara adat. Terkadang terdapat juga patahu di halaman betang yang berfungsi sebagai rumah pemujaan.

Pada bagian belakang dari betang dapat ditemukan sebuah balai yang berukuran kecil yang dinamakan tukau yang digunakan sebagai gudang untuk menyimpan alat-alat pertanian, seperti lisung atau halu.Pada betang juga terdapat sebuah tempat yang dijadikan sebagai tempat penyimpanan senjata, tempat itu biasa disebut bawong. Pada bagian depan atau bagian belakang betang biasanya terdapat pula sandung. Sandung adalah sebuah tempat penyimpanan tulang-tulang keluarga yang sudah meninggal setelah melewati upacara tiwah.

Berdasarkan kepercayaan suku Dayak ada ketentuan khusus dalam peletakan ruang pada Rumah Betang yaitu:

Pusat atau poros bangunan dimana tempat orang berkumpul melakukan berbagaimacam kegiatan baik itu kegiatan keagaman,sosial masyarakat dan lain-lain maka ruang los, harus berada ditengah bangunan.
Ruang tidur, harus disusun berjajar sepanjangbangunan Betang. Peletakan ruang tidur anak danorang tua ada ketentuan tertentu dimana ruangtidur orang tua harus berada paling ujung darialiran sungai dan ruang tidur anak bungsu harusberada pada paling ujung hilir aliran sungai, jadiruang tidur orang tua dan anak bungsu tidak bolehdiapit dan apabila itu dilanggar akan mendapatpetaka bagi seisi rumah.
Bagian dapur harus menghadap aliran sungai, menurut mitos supaya mendapat rezeki.
Tangga. Tangga dalam ruangan rumah adat Betang harus begrjumlah ganjil, tetapi umumnya berjumlah 3 yaitu berada di ujung kiri dan kanan, satu lagi di depan sebagai penanda atau ungakapan rasa solidariras menurut mitostergantung ukuran rumah, semakin besar ukuran rumah maka semakin banyak tangga.
Pante adalah lantai tempat menjemur padi, pakaian, untuk mengadakan upacara adat lainya. Posisinya berada didepan bagian luar atap yeng menjorok ke luar. Lantai pante terbuatdari bahan bambu, belahan batang pinang, kayu bulatan sebesar pergelangan tangan atau dari batang papan.
Serambi adalah pintu masuk rumah setelah melewati pante yang jumlahnya sesuai dengan jumlah kepala keluarga. Di depan serambi ini apabila ada upacara adat kampung dipasang tanda khusus seperti sebatang bambu yang kulitnya diarut halus menyerupai jumbai-jumbai ruas  demi ruas.
Sami berfungsi ruang tamu sebagai tempat menyelenggarakan kegiatan warga yang memerlukan.
Jungkar. Tidak seperti raungan yang pada umumnya harus ada. Sementara Jungkar sebagai ruang tambahan dibagian belakang bilik keluarga masing-masing yang atapnya menyambung atap rumah panjang atau ada kalanya bumbung atap berdiri sendiri tapi masih merupakan bagian dari rumah panjang. Jungkar  ditempatkan di tangga masuk atau keluar bagi satu keluarga, agar tidak mengganggu tamu yang sedang bertandang. Jungkar yang atapnya menyambung pada atap rumah panjang dibuatkan tingaatn (ventilasi pada atap yang terbuka dengan ditopang/disanggah kayu) yang sewaktu hujan atau malam hari dapat ditutup kembali.
Rumah betang yang tersisa pada masyarakat Dayak merupakan contoh kehidupan budaya tradisional yang mampu bertahan dan beradaptasi dengan lingkungan. Masyarakat Dayak memiliki naluri untuk selalu hidup bersama secara berdampingan dengan alam dan warga masyarakat lainnya. Mereka gemar hidup damai dalam komunitas yang harmonis sehingga berusaha terus bertahan dengan pola kehidupan rumah betang. Harapan ini didukung oleh kesadaran setiap individu untuk menyelaraskan kepentingannya dengan kepentingan bersama. Kesadaran tersebut dilandasi oleh alam pikiran religio-magis, yang menganggap bahwa setiap warga mempunyai nilai dan kedudukan serta hak hidup yang sama dalam lingkungan masyarakatnya. Pola pemukiman rumah betang erat hubungannya dengan sumber-sumber makanan yang disediakan oleh alam sekitarnya, seperti lahan untuk berladang, sungai yang banyak ikan, dan hutan-hutan yang dihuni binatang buruan. Namun dewasa ini, ketergantungan pada alam secara bertahap sudah mulai berkurang. Masyarakat Dayak telah mulai mengenal perkebunan dan peternakan.Rumah betang menggambarkan keakraban hubungan dalam keluarga dan pada masyarakat.

Rumah betang selain tempat kediaman juga merupakan pusat segala kegiatan tradisional warga masyarakat. Apabila diamati secara lebih seksama, kegiatan di rumah betang menyerupai proses pendidikan tradisional yang bersifat non formal. Dalam masyarakat Dayak terdapat pembagian tugas atau perbedaan dalam mengerjakan seni tradisional. Kaum pria terampil dalam ngamboh (pandai besi ), menganyam, dan mengukir, sedangkan wanita lebih terampil dalam menenun dan menganyam yang halus.

Sejarah Rumah Betang di Kalimantan

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 1 Comment
 Gawai Dayak adalah sebuah perayaan yang di adakan di Kalimantan dan dilaksanakan oleh suku asli Kalimantan yaitu suku Dayak. Perayaan gawai Dayak tidak hanya di rayakan oleh suku dayak di Indonesia tetapi juga di rayakan oleh suku dayak di Malaysia. Gawai Dayak merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak yang dilaksanakan secara rutin setiap tahun oleh suku Dayak,maksud dan tujuan dari perayaan gawai dayak adalah sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta (Tuhan) atas panen yang melimpah ruah, sekaligus memohon agar panen berikutnya diberi kelimpahan. Ada sejumlah upacara yang harus dilakukan dalam Gawai Dayak. Upacara adat tersebut menjadi semacam rangkaian prosesi baku yang harus dilewati. Beragam makanan tradisional dan sejumlah sesaji pun tak lupa disiapkan sebagai salah satu unsur penting upacara,minuman tradisional yang terbuat dari bahan alami antara lain yaitu tuak dan arak yang terbuat dari ketan hasil panen selain mengucap syukur kepada tuhan atas hasil perladangan Gawai Dayak bertujuan untuk mengumpulkan saudara saudara mereka yang sibuk dengan perkerjaan sendiri selama satu siklus perladangan untuk saling meneguhkan,memaafkan dan saling membagi pengalaman hidup.

Pada awalnya Gawai Dayak dilaksanakan di rumah betang (rumah panjang) rumah adat suku asli Kalimantan yaitu suku Dayak. Persembahan berbagai makanan dan hasil alam dipersembahkan kepada leluhur untuk hasil panen yang baik,dan diantara salah seorang tetua suku akan membacakan mantra khusus untuk upacara ini dan berlumur darah ayam jantan pada bahan persembahan, setelah upacara ini selesai maka perayaan Gawai Dayak pun secara resmi dibuka.

Gawai dayak kini menjadi hari raya resmi bagi suku dayak, Gawai Dayak mulai diadakan secara besar besaran sejak 25 september 1964 baik di Kalimantan bagian Indonesia maupun Kalimantan di bagian Malaysia,saat ini gawai dayak diselaraskan menjadi perayaan tahun baru dayak tahun baru disini bukan diartikan secara bebas seperti pergantian tahun baru atas penanggalan tapi pergantian tahun atas selesai nya panen padi oleh suku dayak yang jatuh pada tanggal 31 mei meskipun ada juga yang merayakannya lebih awal yaitu pada tanggal 25 april dan adapun yang merayakannya lebih akhir yaitu bulan juni. Gawai Dayak tradisional pada umumnya pelaksanaannya dapat memakan waktu hingga tiga bulan, yaitu biasanya pada Bulan April sampai Juni. Pelaku upacara adat akan mengenakan pakaian tradisional berikut perhiasan tradisional seperti manik orang ulu,bulu burung enggang dan kerajinan perak tradisional. Pesta Gawai Dayak ditutup dan berakhir dengan penurunan pokok ranyai yang digantung.

PERKEMBANGAN GAWAI DAYAK di ZAMAN MODERN

Hingga kini Gawai Dayak bukanlah peristiwa budaya yang murni tradisional, baik dilihat dari tempat pelaksanaan maupun isinya. Seiring perkembangan zaman dan isu kepentingan, kini upacara Gawai Dayak tradisional mengalami beberapa penyesuaian namun tetap mempertahankan unsur-unsur budaya yang penting terutama urutan dan prosesi upacaranya itu sendiri. Bekerja sama dengan pemerintah daerah Gawai Dayak kini hanya digelar selama sepekan dan rutin dilaksanakan pada 20 Mei setiap tahunnya. Nama kegiatan bermuatan kepentingan budaya ini pun sekarang dikenal dengan Pekan Gawai Dayak.

Saat ini di beberapa daerah Kabupaten di Kalimantan bagian Indonesia maupun Kalimantan bagian Malaysia acara syukuran ini telah dimodifikasi dengan tidak menghilangkan nilai-nilai luhur budaya dan diangkat menjadi acara tingkat kabupaten. Selain liputan wilayahnya diperluas, acaranya pun ditambah dengan penampilan berbagai tradisi Dayak yang ada di daerah yang bersangkutan, dan daerah lainnya yang bersedia mengikuti acara tersebut.

Dalam kemasan modern, upacara adat ini dimeriahi oleh berbagai bentuk acara adat,upacara ritual,kesenian tradisional, permainan tradisional,dan pemeran berbagai bentuk kerajinan tradisional. Hingga kini Gawai Dayak masih tetap dilaksanakan dan dipegang teguh oleh generasi suku Dayak di Kalimantan.

Sejarah Gawai Dayak dan Perkembangannya

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 1 Comment

Pekan Gawai Dayak ke-XXXI tahun 2016 telah resmi dibuka pada 20 Mei 2016 lalu. Agenda budaya tahunan masyarakat Dayak yang merupakan ritual ungkapan syukur atas hasil panen ini dipusatkan di Rumah Radakng, dikemas dengan menampilkan berbagai acara kesenian, adat budaya maupun pameran produk kerajinan khas Dayak. Sebagai salah satu wadah pelestarian budaya, Gawai Dayak juga merupakan event pariwisata yang sangat menarik untuk dikunjungi. Hal ini terbukti dengan antusiasme ribuan masyarakat yang tumpah ruah saat rangkaian acara pembukaan dihelat. Beragam atraksi dan pawai budaya Dayak menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal maupun nasional yang hadir.

Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis, yang juga merupakan Presiden Majelis Adat Dayak Nasional (MADN). Hadir dalam pembukaan perwakilan Dewan Adat Dayak (DAD) dari berbagai daerah yang ada di Kalbar, maupun dari luar, termasuk perwakilan dari negara Malaysia. Pembukaan Pekan Gawai Dayak ini semakin meriah dengan parade karnaval keliling kota Pontianak. Puluhan kendaraan hias dan ratusan masyarakat yang mengenakan pakaian tradisional turut memeriahkan rangkaian karnaval.

Pekan Gawai Dayak yang pada tahun 2016 ini memasuki tahun ke-31 penyelenggaraannya, akan digelar hingga tanggal 27 Mei 2016. Sejumlah agenda akan digelar memeriahkan kegiatan seni budaya ini, seperti aneka perlombaan permainan tradisional Dayak. Perlombaan tersebut antara lain: lomba menyumpit, pangkak gasing, seni lukis tato, lomba tangkap babi, pahat patung dari bahan kayu, melukis perisai, lukis kanvas, menganyam manik, dan seni lukis tato.

Selain itu, pameran kerajinan tradisional dan kuliner, serta pementasan dan pertunjukan seni, lomba tari, lomba nyanyi lagu Dayak, lomba sastra lisan, peragaan busana, dan lomba busana kreasi anak-anak hingga tingkat dewasa, dipastikan akan memeriahkan Pekan Gawai Dayak XXXI tahun ini. Let's find out more about Dayak Culture on Gawai Dayak!

Sumber: Pontinesia

Pekan Gawai Dayak XXXI Pontianak

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 1 Comment

Suku Dayak Kayong, merupakan suatu kelompok masyarakat dayak yang terdapat di kabupaten Ketapang provinsi Kalimantan Barat. Pemukiman suku Dayak Kayong berada di beberapa kecamatan seperti di kecamatan Nanga Tayap, Aur Kuning, Sandai dan Tumbang Titi.

Istilah diduga berasal dari sebuah sungai yang bernama Muara Kayong yang berada di kecamatan Nanga Tayap.

Masyarakat suku Dayak Kayong berbicara dalam bahasa Kayong. Bahasa Kayong terdiri dari beberapa dialek tergantung wilayah perkampungan masing-masing, tetapi walaupun begitu di antara penduduk beberapa kampung tersebut dapat berkomunikasi dengan baik. Mereka berbicara satu sama lain dengan logat bahasa mereka masing-masing tetapi tetap bisa dipahami tanpa menimbulkan kebingungan satu sama lain.

Asal usul suku Dayak Kayong tidak diketahui secara pasti, karena suku Dayak Kayong tidak menyimpan catatan tentang perjalanan nenek moyang mereka dari tempat asalnya hingga sampai ke tanah mereka saat ini. Sedangkan legenda-legenda yang ada di antara masyarakat Dayak Kayong berbeda dengan legenda-legenda suku-suku Dayak di sekitar wilayah suku Dayak Kayong, sehingga tidak dapat ditemukan hubungan legenda antara suku Dayak Kayong dengan suku-suku dayak lainnya.

Sumber lain mengatakan bahwa Dayak Kayong berasal dari Kalimantan Tengah yang kemudian menetap di daerah Nanga Tayap tepatnya daerah Bukit Kuyu. Daerah Bukit Kuyu ini merupakan wilayah adat masyarakat Dayak Kayong yang berasal dari Kalimantan Tengah. Mereka menghuni kawasan hulu Kabupaten Ketapang, berbatasan langsung dengan Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Asal muasal mengapa Dayak Kayong berada di Nanga Tayap, karena leluhur mereka kala itu mencari daerah baru untuk dijadikan permukiman dengan menelusuri sungai.

Desa Sebadak Raya sendiri telah ada sejak 1800-an. Keluarga dari seorang narasumber bernama Edi sudah empat generasi tinggal di daerah tersebut saat masih berupa hutan rimba. Beberapa kepala keluarga, mendirikan rumah di daerah tersebut. Mereka membuka lahan di sekitar pemukiman untuk bercocok tanam. Jumlah penduduknya saat ini sekitar 2.000 jiwa, dengan sekitar 600 kepala keluarga. “Sebadak Raya juga dikelilingi tujuh buah sungai yaitu Intip, Sediung, Sekirik, Sendurian, Pampang Duo, Kebuai, dan Macian yang semuanya ini sebagai sumber air bersih warga,” ujar Edi.

Saat penjajahan Belanda, Sebadak Raya pernah mengalami regrouping dengan beberapa warga yang hidup di dekatnya. Tahun 1980-an, diubah menjadi dusun, karena wilayahnya dianggap kecil. Baru lah pada 1990-an, Sebadak Raya kembali ditetapkan menjadi Desa, dengan tiga dusun yaitu Kebuai, Tanjung Beringin, dan Tanjung Bunga.

Pada intinya kehidupan orang dayak sangat identik dengan alam. Maka, perlu disadari bahwa masyarakat adat Dayak secara umum adalah komunitas ekologis dimana keberlangsungan hidupnya sangat tergantung pada eksistensi alam yang ada.

Suku Dayak Kayong memiliki sebuah konsep agama yang bukan datang dari luar komunitas mereka, karena agama asli yang mereka yakini adalah kepercayaan dinamisme yang disebut juga dengan nama Preanimisme. Kepercayaan ini mengajarkan bahwa roh nenek moyang, tiap-tiap benda atau mahluk hidup mempunyai daya dan kekuatan yang diyakini mampu memberikan manfaat atau marabahaya. Menurut keyakinan mereka bahwa arwah nenek moyang selalu memperhatikan dan melindungi mereka, tetapi juga akan menghukum mereka jika melakukan pelanggaran adat. Juga kepercayaan terhadap semua benda yang terdapat dalam alam semesta mempunyai kekuatan, seperti hutan, tanah, air, sungai, danau, gunung, bukit, batu, kayu, dan benda-benda buatan manusia lainnya juga diyakini mempunyai kekuatan gaib seperti ponti’ (patung) dan jimat. Tetapi tradisi agama asli ini telah ditinggalkan oleh sebagian besar masyarakat suku Dayak Kayong, karena saat ini mayoritas masyarakat suku Dayak Kayong telah memeluk agama Kristen Katolik.

Masyarakat Dayak Kayong memiliki kepala adat sendiri sebagai kepala adat tertinggi yang bergelar Domong Adat atau Pateh (Pemimpin adat). Kepala adat ini mengatur dalam menyelesaikan berbagai perkara adat dan juga mengatur upacara-upacara yang menyangkut kepercayaan masyarakat setempat.

Masyarakat Dayak Kayong tidak terlepas dengan kehidupan masa lalunya yang akrab dengan kehidupan hutan. Segala sesuatu yang ada di hutan akan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mereka berburu, membuka ladang di tengah hutan, mencari kayu, menanam pohon karet untuk diambil getahnya, mencari rotan dan tengkawang. Hubungan orang Dayak Kayong dengan hutan merupakan hubungan timbal balik. Alam memberikan kemungkinan bagi perkembangan budaya orang Dayak, di lain pihak orang Dayak senantiasa mengubah wajah hutan sesuai dengan pola budaya yang dianutnya.

sumber:
http://www.mongabay.co.id/2015/05/10/batu-kuyu-dan-kearifan-masyarakat-sebadak-raya-menjaga-hutan/
protomalayans
liquari-kamseupaybekaro
kapuasmelayu
psbdkbedayong
wikipedia
dan sumber lain

Suku Dayak Kayong

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 2 Comments
Tag : ,

Penulis merupakan keturunan dengan garis darah yang masih berhubungan dengan seorang pahlawan Kalbar asal Meliau. Banyak yang tidak mengetahui asal-usul perang Majang Desa yang digemakan oleh Pang Suma dalam melawan penjajahan Jepang di Kalimantan Barat. Sayang sekali, sejarah tidak mencatat dengan baik sehingga anak cucu tidak mengetahui salah satu pahlawan besar Dayak pernah berjuang bersama rakyat untuk mematahkan kekuasaan Jepang di bumi Khatulistiwa.

Pang Suma (Panglima Menera) adalah anak ke 3 dari 6 bersaudara. Terlahir dengan nama Bendera bin Dulung atau ada juga yang memanggilnya Menera, adalah tokoh pejuang dari suku Dayak yang tinggal di Dusun Nek Bindang di tepian Sungai Kapuas Desa Baru Lombak Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau. Nama Pang Suma sendiri memiliki arti Bapak Suma. Panggilan dengan menggunakan Pang merupakan satu kebiasaan penduduk setempat memanggil nama orang tua dengan menyebut nama anaknya yang paling besar. Agar lebih sopan dan hormat dari pada menyebut nama langsung orang tersebut.
Konon Pang Suma berjuang dalam membebaskan negerinya dari penjajah hanya dengan berbekal keberanian dan sebilah Nyabur (sejenis mandau/parang panjang). Sebelum memulai perlawanan Pang Suma sudah menyebar “mangkok merah” sebagai tanda adanya ancaman terhadap orang dayak. Tetapi karena pada masa itu sulit komunikasi dan transportasi sehingga “berita” mangkok merah diterima terlambat oleh beberapa suku Dayak. Pang Suma sendiri berhasil mengumpulkan laskar perlawanan yang dinamakan Angkatan Perang Majang Desa.

Pada pertengahan Februari 1945 di komplek Nitinan, di sebuah kampung yang bernama Sekucing (Sekarang terletak  di lingkungan Benua Labai yang berada di batas antara kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau dengan Kecamatan Balai Bekuak Kabupaten Ketapang) terjadi pembunuhan pimpinan perusahaan perkayuan berkebangsaan Jepang bernama Kusaki yang mati tergeletak tanpa kepala. Pelakunya adalah Pang Suma. Peristiwa berdarah itu adalah merupakan gejolak awal dan rentetan peristiwa yang muncul sebagai bentuk perlawanan para Patriot suku Dayak. Beberapa hari kemudian terjadi lagi di perusahaan perkayuan Niciran di Pulau Jambu Kecamatan Tayan. Soet Soegisang mati dengan leher terpenggal. Berita terbunuhnya pemimpin perusahaan perkayuan milik Jepang itu , seketika menjadi ramai di perbincangkan.

Dari Pontianak kemudian dikirim, kompetai-kompetai yang terlatih dengan pimpinan Kaisu Nagatani. Pada saat itu yang memegang kekuasaan Jepang sebagai bunken di Tayan adalah Miagi dan sebagai Guncho di Meliau adalah Demang Adat Dogom Siregar. Nagatani bertekat untuk menghancurkan laskar Pang Suma dan membunuh semua yang terlibat, termasuk keluarganya. Sesampai di Meliau, mereka menjadikan rumah seorang pedagang China bernama Kiung Tjhiu Siong sebagai markas pertahanan sementara. Dengan  di temani oleh Mantri Mamboe (menantu Demang Adat Dogom) dan seorang polisi Guncho bernama Yeb menjadi penunjuk jalan, pada esok harinya mereka menyeberangi sungai Embuan. Tujuan mereka adalah  pedalaman Desa Kunyil. Tengah malam mereka sampai ke Kampung Balai Putih. Keesokan harinya mereka meneruskan perjalanan ke Desa Kunyil. Desa Kunyil pun berhasil pasukan Nagatani kuasai. Kepala Desa Kunyil bernama Temenggung Mandi (Orang Kaya Mandi) atau dikenal dengan nama panggilan Pang Dandan. Pang Dandan sudah tiga hari tidak berada di rumah.

Sebuah bangunan bekas kantor loging KKK dijadikan markas oleh pasukan Nagatani. Kemudian di suatu malam dikomando oleh Pang Suma dan panglima suku dayak lainnya diikuti oleh berpuluh-puluh anak buahnya, yang tergabung dalam "Angkatan Perang Majang Desa", tiba-tiba menyerbu markas Nagatani di kantor bekas loging KKK. Kaisu Nagatani berhasil dibunuh oleh Pang Suma, lalu orang kedua nya yaitu Nakamura, berhasil di penggal kepalanya oleh Pang Dusi. Dalam pertempuran itu juga hadir Pang Diyo, Pang Linggan, Panglima Burung dan Jampi, mereka turut serta memenggal kepala Kepala pimpinan Heiho yang lain bernama Yamamani. Perwira Kaigun lain , Yamamoto yang mencoba melarikan diri dengan berlindung di rumah seorang China bernama Djap Kio , berhasil dibunuh dengan cara dipenggal kepalanya oleh Pang Suma dengan bantuan Pang Linggan. Mantri Mamboe berhasil melarikan diri bersama dua anak buahnya, sedangkan Yeb dan anak buahnya menggabungkan diri dengan pasukan Pang Suma.

Pembunuhan terhadap pasukan Jepang yang dipimpin oleh Pang Suma mengejutkan pihak Jepang. Mantri Mamboe dan Guncho Amat Dogom Siregar, dituntut oleh pihak Jepang agar bertanggung jawab. Mereka kemudian dikurung di bekas gudang penyimpanan garam di Tayan. Bersama mereka dikurung ; Soelaiman (juru tulis Guncho), Abang Sjahdansjah (sekretaris damang), Huseein , Madrus, Mas Dermawan, Raden Mochtar, Mas Minan, Liem Tjung Hie dan Liem A Thung. Mas Dermawan dihukum pancung karena sikap kerasnya kepada Jepang ,sedangkan Amat Dogom Siregar dan Mantri Mamboe kabar terakhir ikut dibantai Jepang.

Kembali ke Pang Suma. Oleh karena keberhasilannya, Pang Suma merupakan sosok yang dianggap Jepang membahayakan kedudukannya, kemudian Jepang mendekati teman seperguruan Pang Suma untuk mencari kelemahan dan membunuh Pang Suma. Sementara itu Pang Suma dan Raden Iting (pewaris kerajaan Meliau) mendirikan markasnya di Kampung Rambai. Laskar Pang Suma berhasil menduduki Kantor Guncho Meliau , sementara pasukan Raden Iting memperkuat pertahanan mereka di seberang. Sejak ditangkapnya Demang Adat Dogong Siregar , pemerintahan distrik Meliau Vakum.

Pada 24 Juni 1945, Pang Suma atau disebut juga Panglima Menera memasuki Meliau. Meliau sendiri berhasil direbut pada 30 Juni 1945. Pada 14 Juli 1945 bala tentara Jepang menyerbu Meliau dan berhasil menguasai beberapa wilayah Meliau. Tanggal 17 Juli 1945 Pang Suma menyerbu markas Jepang di Kantor Guncho Meliau. Pada hari itu, Pang Suma telah mendapatkan pertanda buruk. Ujung Nyabur (pedang) yang dimilikinya patah, sebelum ia menyerbu markas Jepang di Kantor Gunco Meliau. Pertanda itu pun menjadi kenyataan. Pang Suma tertembak dipaha kaki yang merupakan sumber kelemahannya (kelemahan Pang Suma didapat dari saudara perguruannya), tertembak bersama adiknya. Sang adik dapat menyelamatkan diri, namun perjuangan Pang Suma berakhir dengan meninggalnya beliau di bawah jembatan (saat ini lokasi jembatan di sebelah dermaga Meliau). Turut menjadi korban Apae dan Panglima Beli yang tewas. Di sekitar Kantor Guncho Meliau Panglima Ajun dan Pang Linggan tertembak dengan luka yang parah. Tetapi perlawanan dari suku Dayak tidak berakhir. Karena masih banyak penerus-penerus pejuang Dayak.

Sebuah peluru menembus pahanya yang konon merupakan rahasia kekuatan dari Panglima Perang ini. Namun, disaat menahan kesakitan itu, ia sempat berpesan kepada rekan seperjuangannya yang membopongnya dari lokasi perang. "Tinggal aja aku disito uda nada aku to idop lagi, pogilah kita, maju terus berjuang," pesan Pang Suma dalam bahasa Dayak seperti yang dikutip dari "Pang Suma Riwayat Hidup dan Pengabdiannya" yang artinya tinggalkan saja saya di sini saya tidak bisa hidup lagi pergilah kamu maju terus berjuang. Demikianlah pada hari itu gugur seorang Pahlawan Bangsa , yang berjuang untuk rakyatnya.

Bagi orang Dayak perang menganut doktrin perang semesta (seperti perang puputan di Bali). Semua unsur masyarakat harus terlibat. Penyelesaianya juga harus melalui proses adat yang diadakan melalui ritual tertentu. Tanpa semua proses itu maka perang masih dianggap masih berlangsung. Contohnya sekelompok orang Dayak yang dipimpin Panglima Burung datang menyerang Pontianak untuk mencari serdadu Jepang untuk melakukan pembalasan terhadap Perang Majang Desa yang dipimpin Pang Suma, padahal Jepang sudah menyerah dan keluar dari Indonesia. (baca Panglima Burung - Klik )

*Pada Juni 1980, Laksus Pangkopkamtibda Kalbar, Untung Sridadi bersama gubernur Kalbar Soedjiman melakukan serah terima dari ahli waris APMD seperti YAM Linggi, dan Agustinus Timbang berupa 5 tengkorak pasukan Jepang sewaktu Perang Dayak Desa dan sebilah samurai milik Nagatani. Selanjutnya barang-barang ini diserahkan ke Pemerintah Jepang diwakili K. Tasima dan wakil keluarga Nagatani dan Yoshida dari Kedutaan Besar Jepang di Indonesia di Jakarta untuk dibawa pulang ke Tokyo , Jepang.
* Menurut catatan penulis Belanda. Benteng Belanda di Sintang dan Sanggau selalu mendapat serangan tanpa henti dari Orang Dayak, sehingga terpaksa mereka tinggalkan dan bertahan di Pontianak.

Guna mengenang kepahlawanan Pang Suma namanya diabadikan :

1. Bandara di Putusibau (Kapuas Hulu - Kalbar) dinamakan Bandara Pang Suma
2. GOR Pontianak
3. Nama Asrama Mahasiswa di Pontianak (sempat terkenal sewaktu terjadi aksi Penolakan FPI di Kalbar 2012)
4. Nama Jalan

Sumber :
Sumber lisan
Buku Mandor Berdarah , karangan Syafarudin Usman
http://www.ceritadayak.com/2010/12/pang-suma-panglima-perang-dari-meliau.html
http://equatoronline.blogspot.com/2012/03/nama-pahlawan-asal-kalimantan-barat.html

Kisah Kepahlawanan Pang Suma dan Perang Majang Desa

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 1 Comment

Keto adalah sejenis burung yang dipercaya oleh orang dayak sebagai penanda atau pemberi isyarat sebelum melakukan aktivitas. Dinamai burung KETO karena kicaunya yang berbunyi KETO...........Burung ini masih banyak terdapat di hutan Kalimantan Barat terutama di daerah-daerah yang masih asri dengan hutan-hutan lebat. Burung ini sebenarnya biasa saja, namun dalam memberi isyarat alam sangat berpengaruh bagi kepercayaan orang dayak terutama orang dayak kanayatn.
Pertanda yang sangat berpengaruh jika burung ini berkicau adalah apabila pada saat orang dayak ingin melakukan kegiatan bercocok tanam, melakukan perjalanan atau melihat rejeki pada saat nyangahatn (wujud doa orang dayak kanayatn kepada Jubata atau Tuhan).

1.Pada saat bercocok tanam,
sebelum melakukan aktivitas ini terlebih dahulu melakukan semacam doa yang biasanya di akhiri dengan mendengar kicau burung Keto.

2.Pada saat ingin melakukan perjalanan,
jika burung ini berkicau sangat berpengaruh bagi keselamatan Talino atau manusia, biasanya arah dimana burung ini berkicau mempunyai makna berbeda. Jika burung ini berkicau sebelah kiri maka mempunyai makna bahwa perjalanan hendaknya ditunda sampai burung ini selesai berkicau,jika dilanggar maka akan aa bahaya yang mengintai diperjalanan yang akan kita tempuh, jika sebelah kanan maka mempunyai makna baik.

3.Pada saat nyangahatn atau melakukan doa,
jika burung ini berkicau pada saat sedang berlangsungnya doa atau sudah selesai maka itu merupakan pertanda baik bagi doa yang kita panjatkan paa Jubata atau Tuhan.

Tak hanya hal-hal tersebut diatas yang membuat burung ini menjadi istimewa bagi orang dayak Kanayatn tapi masih banyak hal lain yang berhubungan langsung maupun tak langsung bagi adat-istiadat orang dayak Kanayatn. Burung ini bagi orang dayak kanayatn merupakan simbol pertanda alam yang tidak bisa dibantah oleh kekuasaan manusia karena semua kehidupan orang dayak tidak terlepas dari alam semesta.

Asal Mula Burung Keto

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 0 Comments
Tradisi mengayau (Ngayau) adalah tradisi adat yang identik dengan pembunuhan sadis berupa pemengalan kepala manusia untuk mendapatkan daya hidupnya sehingga bermanfaat bagi desa, pribadi maupun sebagai sebab-akibat hukum. Walaupun tradisi ini berkesan sadis, namun masyarakat Dayak, seperti Dayak Iban, memandang Ngayau adalah hal yang positif karena berhubungan dengan keberanian, simbol laki-laki juga martabat sosial.

Ngayau berasal dari kata kayau yang berarti “musuh”. J.U. Lontaan, op.cit. hal. 532. Selanjutnya, untuk mendukung pendapatnya, Lontaan mengutip Alfred Russel Wallage dalam The Malay Archhipelago, 1896: 68, “… headhunting is a custom originating in the petty wars of village with village and tribe with tribe….”

Terdapat berbagai versi etimologi ngayau. Sebagai contoh, Fridolin Ukur dalam buku Tantang Jawab Suku Daya menyebut bahwa ngayau mencari kepala musuh. Sedangkan bagi Dayak Lamandau dan Delang di Kalimantan Tengah, mengayau berasal dari kata “kayau” atau “kayo’; yang artinya mencari. Mengayau berarti men¬cari kepala musuh. Jadi, mengayau ialah suatu perbuatan dan tindak-budaya mencari kepala musuh.
Dalam versi Dayak Jangkang, ngayau juga disebut ngayo. Berasal dari kata “yao” yang berarti: bayang-bayang, menghantui, meniadakan, atau memburu kepala musuh sebagai prasyarat atau pesta gawai. Ada gawai khusus untuk merayakan kepala musuh dengan tarian perang, yakni gawai naja bak (pesta kepala).
Ngayau tidak terlepas dari keyakinan komunitas Dayak sebagai sebuah entitas. Hal ini dapat ditelusuri dari cerita lisan dan tradisi yang diturunkan dari mulut ke mulut. Menurut keyakinan yang dipegang teguh, orang Dayak yakin mereka adalah keturunan makhluk langit. Ketika turun ke dunia ini, menjadi makhluk yang paling mulia dan, karena itu, menjadi penguasa bumi.
Keyakinan ini, pada gilirannya, membawa konsekuensi orang Dayak lalu memandang rendah entis lain. Jika menganggu dan mengancam keberadaan dan kelangsungan hidup mereka, etnis lain dapat disingkirkan. Namun, harus ada alasan yang kuat untuk itu. Darah hewan, apalagi manusia, tabu untuk ditumpahkan. Jika sampai terjadi, mereka akan menuntut balas.
Keputusan Ngayau haruslah disertai alasan-alasan yang kuat dan masuk akal. Sebelum melancarkan pengayauan, malam harinya diadakan musyawarah bersama yang dalam bahasa Dayak Jangkang disebut boraump. Semua peserta wajib memberikan pendapat dan penilaian. Keputusan diambil dengan berpangkal tolak pada suara dan pendapat mayoritas.
Dalam tata pelaksanaannya Ngayau juga tidaklah sembarangan, bahkan beberapa suku Dayak masih memperlakukan sang kurban dengan “cukup” manusiawi. Menurut adat Dayak Kanayatn misalnya, sebelum mengayau mereka melakukan upacara adat nyaru’ tariu (memanggil tariu) di panyugu atau pandagi (empat keramat untuk memanggil roh, mempersembahkan sesajen dan lain-lain). Tariu sendiri tidak bisa definisikan. Tetapi dengan bertariu seseorang dipercaya menjadi berani, kebal dan sakti. Teriakan tariu dapat menimbulkan efek psikologis menjatuhkan moral musuh.Upacara ini dilakukan untuk memohon kekuatan dan bantuan kepada Kamang (makhluk seperti manusia tetapi tidak kelihatan). Selesai mengayau mereka melakukan adat nyimah tanah (mencuci tanah). Hal ini dilakukan agar rasi (pertanda) yang jahat menghindari mereka.
Selain itu, mereka juga mengadakan upacara notokng (upacara menghormati kepala dan membuang dosa) sebanyak 7 turunan. Upacara ini biasa dilakukan berdasarkan permintaan orang yang dikayau. Dengan upacara notokng ini orang yang telah dikayau dihormati, seperti dimandikan, diberi makan dan ditidurkan dan pada saatnya dimakamkan dengan upacar notokng yang ketujuh (terakhir) yaitu notokng mubut.
Seorang penulis di masa Hindia Belanda, Bakker (1884) mengatakan bahwa salah satu suku Dayak yang paling ditakuti dalam dunia pengayauan adalah Dayak Jangkang.

Menurut sumber dari J.U. Lontaan (1975: 533-537) dalam Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat serta informasi yang penulis dapat dari berbagai sumber, dapat disimpulkan bahawa Ngayau dilakukan dengan tujuan :
1. Untuk kesuburan tanah. Orang Dayak sangat yakin dalam mempersembahkan kepala manusia maka hasil panen akan melimpah. Biasanya mengayau dilakukan ketika masa mendekati panen. Hasil kayauan akan dipestakan dalam gawai, pesta panen padi suku Dayak.
2. Untuk menambah kekuatan supranatural. Orang Dayak sangat mempercayai adanya kekuatan supranatural . Kekuatan tersebut adalah dalam jiwa manusia. Pusat kekuatan tersebut terdapat pada tengkorak manusia. Pemilikan atau penguasaan atas tengkorak manusia berarti penambahan jiwa bagi yang bersangkutan. Ini juga berarti menambah kesaktian. Dengan kekuatan tersebut seseorang dapat melindungi diri, keluarga dan sukunya. Miller, menulis dalam Black Borneo-nya (1946 : 121), menyatakan bahwa praktik memburu kepala bisa dijelaskan dalam kerangka kekuatan supernatural yang oleh orang-orang Dayak diyakini ada di kepala manusia. Bagi orang Dayak, tengkorak kepala manusia yang sudah dikeringkan adalah sihir yang paling kuat di dunia. Sebuah kepala yang baru dipenggal cukup kuat untuk menyelamatkan seantero kampung dari wabah penyakit. Sebuah kepala yang sudah dibubuhi ramu-ramuan bila dimanipulasi dengan tepat cukup kuat untuk menghasilkan hujan, meningkatkan hasil panen padi, dan mengusir roh-roh jahat. Kalau ternyata tak cukup kuat, itu karena kekuatannya sudah mulai pudar dan diperlukan sebuah tengkorak yang baru.
3. Untuk balas dendam. Jika ada orang Dayak dibunuh oleh orang lain, maka semua orang dalam suku pelaku tersebut harus bertanggung jawab. Ini dikenal dengan “hutang darah”
4. Untuk mas kawin seperti dalam cerita legenda Ne’ Dara Itam dan Ria Sinir. Dengan mas kawin kepala musuh dianggap menunjukan sang lelaki bisa bertanggung jawab melindungi istrinya. Banyak pihak berpendapat bahawa, “lelaki Dayak yang berhasil memperoleh kepala dalam ekspedisi ngayau akan menjadi rebutan atau kegilaan para wanita” ini kerana ia melambangkan keberanian dan satu jaminan dan kepercayaan bahawa lelaki tersebut mampu Orang Dayak dengan kepalah hasil kayauan di tangannyamenjaga keselamatan wanita yang dikawininya. Sebenarnya kenyataan itu tidak 100% tepat, malah masih dipersoalkan. Dikatakan demikian kerana menurut cerita lisan masyarakat Dayak (Iban) di Rumah-Rumah panjang, selain orang Bujang ada juga individu yang telah berkeluarga menyertai ekspedisi memburu kepala.
5. Sebagai tumbal berdirinya bangunan. Orang Dayak yakin bahwa rumah yang dibuat akan kokoh dan berarti jika diberi tumbal kepala manusia.
6. Pertahanan dari serangan suku lain. Penyerangan sebenarnya dapat diartikan sebagai bentuk pertahanan diri yang aktif dan agresif, seperti pepatah Latin si vis pacem, para bellum (jika Anda menginginkan damai, siap sedialah untuk berperang) . Dengan melakukan penyerangan terlebih dahulu maka potensi ancaman dari musuh akan berkurang sehingga sebuah suku dapat mempertahankan dan melindungi desanya.
7. Lambang kekuasaan dan status kedududan orang Dayak. Semakin banyak kepala musuh yang diperoleh semakin kuat/perkasa orang yang bersangkutan.
Jadi, dari berbagai alasan tujuan Ngayau di atas, kita bisa melihat beberapa filosofi dari Ngayau yang terkesan sadis.
Ada beberapa hal yang menyebabkan tradisi mengayau perlahan-lahan menghilang :
1. Pertemuan Tumbang Anoi.
Pertemuan ini diadakan pada 22 Mei – 24 Juli 1894 di Desa Huron Anoi Kahayan Ulu, Kalimantan Tengah, atas inisiatif pemerintahan Hindia Belanda. Mereka mengumpulkan semua kepala suku dan pemuka masyarakat dari seluruh Kalimantan, termasuk dari British Borneo (Malaysia). Salah satu butir kesepakatan pada waktu adalah mengakhiri kegiatan “kayau-mengayau” diantara suku Dayak. 
Bagi pemerintahan Hindia-Belanda, hal ini perlu dilakukan karena pegawai mereka sering menjadi sasaran pengayauan saat melaksanakan tugas ke pedalaman Kalimantan. Pertemuan ini sendiri berhasil mengurangi “kayau-mengayau” secara drastis, walaupun tidak bisa menghentikannya sama sekali. Menurut penuturan beberapa orang kegiatan pengayauan masih terjadi hingga tahuan 1960an.

2. Masuknya agama Katolik dan Kristen. Agama dibawa oleh para misionaris ini mempunyai andil yang sangat besar bagi terhentinya adat pengayauan. Ajaran cinta kasih Kristen secara jelas bertentangan dengan pengayauan. Injil melarang membunuh orang dengan alasan apapun.
3. Kesadaran orang Dayak. Masyarakat Dayak akhirnya menyadari bahwa mengayau semakin lama dirasakan merugikan karena mereka merasakan sendiri bagaimana misalnya jika anak tunggalnya dikayau suku lain, seperti yang ia lakukan.
Inilah sedikit banyak tentang Ngayau, tradisi berburu kepala manusia untuk dikurbankan dan tujuan lain, yang nyata terjadi di Kalimantan.
Sumber: Edi Petebang

Tradisi Mengayau (Ngayau) Dayak

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 0 Comments
Tag : ,
Dayak Kanayatn adalah salah satu dari sekian ratus sub suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan, tepatnya di daerah kabupaten Landak, Kabupaten Mempawah, Kabupaten Kubu Raya, Serta Kabupaten Bengkayang.

Dayak Kanayatn dikelompokan ke dalam golongan rumpun Land Dayak-Klemantan oleh H.J. Mallinckrodt (1928). Namun Menurut C.H. Duman (1929), Dayak Kanayatn adalah bagian dari Rumpun Ot Danum-Maanyan-Ngaju. Akan tetapi penelitian oleh W.Stohr (1959) menyatakan bahwa pendapat C.H. Duman adalah salah karena jika dilihat dari wilayah, bahasa, serta hukum adat, suku Dayak Kanayatn tidak menunjukan adanya hubungan dengan kelompok Rumpun Ot Danum-Maanyan-Ngaju, akan tetapi lebih mengarah pada kelompok Land Dayak- Klemantan. Bahkan pemberian nama nama Kabupaten Landak didasarkan pada masyarakat mayoritasnya yaitu Dayak Kanayatn yang merupakan bagian dari rumpun Dayak Darat (Land Dayak atau Land Djak dalam ejaan Belanda).

Pakaian Tradisional suku Dayak Kanayatn terbuat dari kulit Tarab atau Kapuak/Kapoa’. Bajunya berbentuk Rompi yang disebut Baju Marote atau baju uncit. Cawatnya terbuat dari Kain tenun atau kulit Kayu yang disebut Kapoa’. Serta mahkota atau ikat kepala yang dalam bahasa ahe disebut Tangkulas. Tangkulas ini biasanya dihiasi dengan bulu Ruai/Kuau Raja, serta bulu Enggang. Terkadang, jika bulu burung Ruai tidak ada, bisa diganti dengan Anjuang Merah (Hanjuang). Selain itu senjata tradisional Tangkitn/Parang Pandat serta Perisai (Jabakng/Gunapm) merupakan kelengkapan pakaian adat pria.

Upacara adat yang biasa diadakan oleh suku ini antara lain Naik Dango, Muakng Rate, Notokng, Gawai Dayak, dan lain-lain.

Kebudayaan Dan Pakaian Tradisional Dayak Kanayatn

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 0 Comments
Tag : ,
Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata” Lantang suara dari seseorang yang berpidato itu dibalas dengan gemuruh, ”Arus… Arus… Arus" Salam itu selalu mengawali sambutan tokoh masyarakat atau tokoh pemerintah maupun masyarakat dalam acara adat Dayak maupun acara-acara lainnya. Salam itu sekaligus menjadi filosofi masyarakat adat Dayak untuk mewujudkan hidup yang tenteram bersama masyarakat lainnya. "TALINO" dalam bahasa Dayak Kanayatn atau biasa disebut dengan bahasa "AHE" atau "ORANG AHE/URAKNG AHE" artinya "MANUSIA". "BACURAMIN" memiliki arti "BERCERMIN", "SARUGA" adalah "SURGA", "BASENGAT" artinya "BERNAFAS" dan "JUBATA" artinya "TUHAN YANG MAHA KUASA". Secara harfiah "Adil Ka' Talino, Bacuramin Ka' Saruga, Basengat Ka' Jubata" dalam bahasa indonesia berarti "sebagai manusia kita wajib bersikap adil dan toleran terhadap sesama, dalam menjalani kehidupan kita harus bercermin dari surga dan setiap nafas kehidupan yang kita miliki berasal dari TUHAN YANG MAHA KUASA". Jawaban dari salam tersebut adalah Arus...Arus...Arus yang berarti mengiyakan ucapan tersebut (AMIN ). 

Sejarah Munculnya Kata Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata Sebelum Tahun 1985. Sejak tahun 1975, kata, “ Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata”, sudah menjadi salam atau falsafah bagi lembaga adat Dayak Kanayatn, khususnya Dewan Adat Dayak Kanayatn di Tingkat Kecamatan, seperti Dewan Adat Dayak Kanayatn Kecamatan Sengah Temila, Dewan Adat Dayak Kanayatn Kecamatan Mempawah Hilir dan lainnya di Kabupaten Pontianak (sebelum pemekaran). Sesudah Tahun 1985. Namun secara Formal semboyan atau falsafah Kata Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata ditetapkan pada tanggal 26 Mei 1985, pada saat Upacara Adat Naik Dango yang pertama di Anjungan, Kabupaten Pontianak. Dimana pada saat itu dirumuskan oleh beberapa orang tokoh adat dayak seperti, Bapak F. Bahudin Kay, Bapak Drs. M. Ikot Rinding, Bapak Salimun, BA, Bapak R.A. Rachmad Syahuddin, B.Sc , dan lain-lain. Kata Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata, sejak saat itu resmi digunakan secara formal dalam berbagai kegiatan upacara adat dan kegiatan Masyarakat Adat Dayak di Kabupaten Pontianak. Dimana setiap kata Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata yang di ucapkan dibalas dengan kata Auk (diucapkan Auuuuuk) yang artinya ya atau amin. Perkembangan 

Penggunaan Semboyan atau Falsafah Adil Ka’ Talino Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Majelis Adat Dayak (MAD) Provinsi Kalimantan Barat yang dideklarasikan oleh sembilan orang penandatangan sebagai deklarator berdirinya Majelis Adat Dayak Provinsi Kalimantan Barat, yaitu: Bapak Yakobus Frans Layang, SH., Bapak Drs. M. Ikot Rinding, Bapak Drs. Paulus Djudah, Bapak Drs. F. M. Adjun Lock, Bapak Drs. V. E. Ritih Kenyeh, Piet Andjioe Nyangun, SE., Bapak Pius Alfret Simin., Bapak Drs. Yakobus Kumis dan Bapak Drs. J. Numsuan Madsun,. pada tanggal 21 Agustus 1994 , maka semboyan atau falsafah Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata di masukan di dalam Anggaran Dasar Majelis Adat Dayak Provinsi Kalimantan Barat sebagai semboyan atau salam masyarakat Dayak Kalimantan Barat. Ke Sembilan orang deklarator berdirinya MAD Kalimantan Barat juga merangkap sebagai formatur pembentukan pengurus pertama dengan Ketua Umum; S. Jacobus E. Frans L., BA., SH, Sekretaris Umum; Thadeus Yus, SH., MPA dan Bendahara Umum; Alex Akoran, B.Sc. Kemudian salam atau falsafah tersebut di Kukuhkan dalam Musyawarah Dewan Adat Dayak (Musdad) yang pertama pada tahun 1996 yang menetapkan Kepengurus MAD Hasil Musdad Pertama, Ketua Umum; S. Jacobus E. Frans L., BA., SH, Sekretaris Umum; DR. Piet Herman Abik, dan Bendahara Umum; Bapak BL. Atan Palil. Kemudian terjadi perubahan jawaban setiap mengakhiri kata Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata, yang dulunya di jawab Auk, kemudian disepakati dalam Musyawarah Dewan Adat Dayak II tanggal 18 – 21 September 2001 Dimana pada saat itu terpilih Ketua Umumnya Bp. RA. Rachmad Syahudin, B.SC, Sekretaris Umumnya, Drs. Agustinus Clarus, M.Si dan Bendahara Umumnya, Yohanes Nenens, SH. Dalam salah satu keputusannya, setiap setelah diucapkannya kata, Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata, semua yang hadir membalas dengan kata, Arus….arus….arus (harus, harus, harus,/ terus, terus terus mengalir seperti air/permisi/meng-amini) Pada Tanggal 12 Nopember 2001, sebanyak 29 orang atas nama masyarakat Dayak se-Kalimantan (sesuai dokumen asli daftar hadir yang saya miliki) Kaltim, Kalteng, Kalbar dan Kalsel, di Balik Papan, Kalimantan Timur, mendeklarasikan berdirinya Dewan Adat Dayak Nasional. Kepengurusan pertamanya adalah; Ketua Umum Pdt. Barnabas Sebilang, Sekretaris Jendral, DR. Eliyanto S. Lasam, SE., M.Si, dan Bendahara Umum, Pangeran Agustinus Acang. Pada saat kepengurusan ini belum di rumuskan salam atau semboyan organisasi. Kemudian pada tahun 2003 dilaksanakan Musyawarah Nasional Pertama Dewan Adat Dayak se-Kalimantan, yang memilih pengurus, Ketua Umum, Michael Andjioe, S.Ip., MBA, Sekretaris Jendral, Drs. Yakobus Kumis, dan Bendahara Umum, Ir. Albertus Euseg. Pada Tahun 2006, Setelah melalui musyawarah yang cukup melelahkan, Dewan Adat Dayak se-Kalimantan, dalam Musyawarah Nasionalnya yang kedua pada tanggal 2-4 September 2006 telah menetapkan kata Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata sebagai semboyan atau falsafah masyarakat Dayak secara Nasional (se-Indonesia). 

Tidak hanya itu dalam Munas DAD se-Kalimantan ke II, yang dimotori Atan Palil sebagai Ketua Umum Panitia dan Makarius Sentong, SH., MH, sebagai Sekretaris Umum Panitia, telah berhasil menetapkan hal-hal sebagai berikut: Menetapkan perubahan nama Dewan Adat Dayak se-Kalimantan, menjadi Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) sebagai lembaga adat dayak tertinggi tingkat Nasional. Menetapkan Dewan Adat Dayak (DAD) sebagai nama lembaga adat dayak ditingkat Provinsi hingga Kecamatan seluruh Indonesia. Menetapkan Lagu Mars Dayak, sebagai lagu mars MADN, Ciptaan DR. Aloysius Mering, M.Pd Menetapkan Hymne Dayak, sebagai lagu Hymne MADN, Ciptaan DR. Aloysius Mering, M.Pd Menetapkan Bapak Agustin Teras Narang, SH sebagai Ketua Umum MADN (sekarang ini berubah menjadi Presiden MADN) Penggunaan Semboyan Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata dalam Pembentukan Borneo Dayak Forum . Dalam Soft Lounching, Borneo Dayak Forum tanggal 9 Agustus 2010 di Kuching, Sarawak, maka semboyan Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata ditetapkan sebagai Salam atau Falsafah masyarakat Dayak seluruh Dunia. Maka wajib di sampaikan “Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata” dalam setiap pertemuan masyarakat Dayak di Seluruh Dunia. Pengertian Kata Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata Adil Ka’ Talino : Adil artinya Bersikap Adil, Ka’ Talino artinya kepada sesama manusia. Jadi Adil Ka’ Talino berarti kita harus bersikap Adil terhadap sesama manusia. Bacuramin Ka’ Saruga : Bacuramin artinya bercermin Ka’ Saruga artinya ke Surga. Jadi, Bacuramin Ka’ Saruga berarti kita harus bersikap dan berbuat seperti kehidupan di Surga (perbuatan-perbuatan yang baik) Basengat Ka’ Jubata : Basengat artinya bernapas atau hidup Ka’ Jubatan artinya kepada Tuhan. Jadi Basengat Ka’ Jubatan berarti bernapas/ hidup kita tergantung dari Tuhan, atau Tuhan sebagai kehidupan atau yang memberi hidup. Pengertian Keseluruhan Pengertian Secara Keseluruhan dari “ Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata adalah bahwa dalam hidup ini kita harus bersikap adil, jujur tidak diskriminatif, terhadap sesama manusia, dengan mengedepankan perbuatan-perbuatan baik seperti di surga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Penjabaran makna dari kata, “ Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata” Adil Ka’ Talino, memiliki makna: Bersikap Adil terhadap sesama manusia Tidak semena-mena terhadap orang lain Menghormati dan menghargai hak-hak orang lain Bersikap jujur Berani membela kebenaran dan keadilan Mampu menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban Memiliki sikap tenggang rasa terhadap sesama Bacuramin Ka’ Saruga, memiliki makna: Berperilaku dan berbuat sesuai dengan keadaan di surga Melakukan kehendak Jubata (Tuhan) dan Menjauhi larangannya Cintai terhadap sesama manusia Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan Suka membantu dan menolong orang lain Suka melakukan kegiatan kemanusiaan Selalu mengembangkan dan melakukan perbuatan yang luhur dan mulia Mampu menjaga kelestarian alam Basengat Ka’ Jubata, memiliki makna: Percaya bahwa hidup dan mati kita ada di tangan Jubata (Tuhan) Pasrah kepada kehendak Tuhan Mengakui bahwa Tuhanlah yang memberi napas dan kehidupan kepada kita Tuhan sebagai tempat memohon dan meminta Tuhan sebagai tempat sandaran hidup Percaya bahwa rezeki yang kita terima berasal dari Tuhan Yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah kehendak Tuhan. Penutup Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata, sungguh suatu salam atau falsafah yang mengandung arti dan makna yang sungguh agung dan mulia, yang dapat menggambarkan sikap dan kepribadian masyarakat Dayak yang sesungguhnya yang telah hidup ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu di tanah leluhurnya yaitu Borneo tercinta. Salam atau falsafah atau semboyan Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata, kita yakini akan mampu memberikan semangat, dorongan dan motivasi kepada masyarakat Dayak se Borneo untuk hidup lebih maju dan sejahtera sehingga mampu mewujudkan cita-cita satu Borneo, satu suku, satu suara. 

Semboyan Dan Falsafah Dayak

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 0 Comments
Tag : ,
Untuk mengungkapkan apa yang disebut “JUBATA” oleh Masyarakat adat Dayak Kanayatn, agar dapat dimengerti dan dipahami secara jelas bukanlah merpakan yang sederhana dan perlu waktu yang cukup banyak, karena tidak dapat dipisahkan dan sangat erat sekali kaitannya dengan adat, mithe-mithe tentang kejadian alam semesta dan manusia dan mithe-mithe lainya yang memperlihatkan keterkaitan-keterkaitan antara manusia dengan makhluk-makhluk lain serta alam lingkungan sekitarnya. Masyarakat adat Dayak Kanayat yakin bahwa ada dua ruang lingkup alam kehidupan, yaitu kehidupan alam nyata dan kehidupan alam maya. Yang berada di alam kehidupan nyata ialah makhluk tak hidup, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Sedangkan yang berada di alam kehidupan maya antara lain: balis, bunyi-bunyi’an, antu, sumangat urakng mati,
dan JUBATA. Kedua alam khidupan ini dapat saling pengaruh-mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Kekuatan supranatural yang dimiliki oleh seseorang adalah salah satu contoh dari akibat tersebut di atas. Untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan alam nyatan dan kehidupan alam maya, serta untuk menata seluruh aspek kehidupan warganya, hubungan timbal-balik sesama warganya, hubungan warganya dengan alam lingkungannya, serta penciptanya/Jubata agar tetap serasi dan harmonis, nenek moyang para leluhur mereka (Dayak Kanayatn) telah menyusun secara arif dan bijaksana ketentuan-ketentuan, aturan-aturan yang harus ditaati dan dijadikan pengangan hidup bagi seluruh warganya dan warga keturunannya dari generasi ke generasi sampai kini, yang terangkum dalam apa yang disebut ADAT.
Sekedar untuk diketahui seperlunya bahwa yang tergolong ADAT di kalangan Masyarakat Adat Dayak Kanayatn antara lain:
- Peraga-peraga adat, lambang, dan simbol-simbol
- Bahasa, seni, dan budaya adat
- Hak-hak kepemilikan adat
- Kearifan-kearifan dan keyakinan adat
- Adat-istiadat dan hukum adat
- Upacara-upacara adat.: Upacara-upacara adat adalah kegiatan ritual bagi masyarakat adat dayak Kanayatn untuk berhubungan dengan Jubata.
Masyarakat Adat Dayak Kanayatn sangat yakin bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini berasal dari Jubata. Jubata sebagai Pencipta, dan Pemelihara segala sesuatu yang ada di alam nyata maupun di alam maya dan karena itu dikalangan masyarakat adat Dayak Kanayatn Jubata sangat dihormatai, dimuliakan dan diagungkan. Jubata diyakini pulas sebgai yang sangat baik, sangat murah hati, sangat adil, tetapi tidak segan untuk menghukum perbuatan-perbuatan yyang jahat. Mari kita simak beberapa kalimat dan penggalan kalimat yang mengungkapkan hal-hal di atas:
- Jubata nang baramu’ ai’ tanah, Adil ka Talino, Bacaramin ka Saruga, Basengat ka Jubata, Samuanya baranse’ ka Jubata.
- Jubata ina’ munuh, Jubata ina tidur, Jubata ina Bengkok.
- Labih adat Jubata bera, kurang adat antu nuntut. Adat manusia sakanyang parut, adat Jubata sapatok insaut, dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan yang menyatakan hal tersebut. Jubata sebagai pencipta dan pemelihara segala sesuatu itu oleh Masyarakat Adat Dayak Kanayatn disebut pula Jubata Tuha, yang dijabarkan dengan bahasa sederhana sebagai berikut: Ne’ Panitah, Ne’ Pangira, Ne’ Patampa, Ne’ Pangadu’, Ne’ Pangedokng, Ne’ Pajaji, Ne’ Pangingu. Hitungannya ada 7 (Tujuh), dan senantiasa diperingati pada setiap upacara ritual adat oleh Panyangahatn (Imam Adat) dalam Bamangnya sebagai berikut: Asa...dua...talu...ampat...lima...anam...tujuh, agi’nya koa....dst. Untuk menghadirkan atau (lebih tepat mengundang) Jubata untuk hadir pada setiap upacara ritual adat yang dilaksanakan, panyangahatn melakukan beberapa hal misalnya:
- MemanggilNya dengan suara jelas dan lantang Ooooooooooo Kita’ JUBATA.....dst..dst.
- MemanggilNya dengan perantaraan Bujakng Pabaras, yang dilambangkan dengan menghamburkan biji beras yang utuh sebanyak tujuh biji dengan bamang sbb: Aaaa....ian Kita’ Bujakng Pabaras, Kita’ nang ba tongkakng lanso, nang ba seap libar, ampa jolo basamptn, linsode batinyo saluakng jannyikng......dst.
- MemanggilNya dengan bunyian Potekng Baliukng sebanyak 7 kali

Konsep "Jubata" Menurut Adat Suku Dayak Kanayatn

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 0 Comments
Tag : ,
NAIK DANGO:
Upacara Naik Dango Suku Dayak Kalbar merupakan kegiatan ritual Suku Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat, upacara ritual Naik Danggo ini merupakan kegiatan panen padi atau pesta padi sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat Dayak Kanayatn kepada Nek Jubata (Sang Pencipta) terhadap segala hasil yang telah diperoleh. Melalui upacara Naik Danggo suku Dayak Kalbar (Dayak Kanayatn) ini mereka merefleksikan kegiatan yang sudah lalu dihubungkan dengan kebesaran Nek Jubata, serta untuk memohon kepada Sang Pencipta (JUBATA) agar hasil panen tahun depan bisa lebih baik, serta masyarakat dihindarkan dari bencana dan malapetaka.
Upacara ritual pesta padi ini kerap dilaksanakan rutin setiap tahun dan dilaksanakan secara bergiliran di Kabupaten dan Kota di Kalbar, sebagai contoh Upacara Naik Danggo ke VII pernah dilaksanakan di Kabupaten Pontianak Kalimantan Barat tepatnya di Desa Lingga, Kecamatan Sei. Ambawang pada tanggal 27 April 1992 dan 1993 upacara Naik Dango suku Dayak Kalbar diadakan di Kecamatan Menjalin, sedangkan pada tahun 2009 Naik Danggo diadakan di Singkawang.
Melalui kegiatan ini pula diharapkan dapat melestarikan berbagai seni kebudayaan Dayak yang memang memiliki beranekaragam pesona dalam bingkai kekayaan budaya Nusantara.
MAKNA NAIK DANGO:
Tahap pelaksanaan upacara Naik Dango yaitu sebagai berikut :
1. Sebelum hari pelaksanaan
Sebelum hari pelaksanaan, terlebih dahulu dilakukan pelantunan mantra (nyangahathn) yang disebut Matik. Hal ini bertujuan untuk memberitahukan dan memohon restu pada Jubata.
2. Saat hari pelaksanaan
Pada hari pelaksanaan dilakukan 3 kali nyangahathn :
• pertama di Sami, bertujuan untuk memanggil jiwa atau semangat padi yang belum datang agar datang kembali ke rumah adat.
• kedua di Baluh/Langko, bertujuan untuk mengumpulkan semangat padi di tempatnya yaitu di lumbung padi.
• ketiga di Pandarengan, tujuannya yaitu berdoa untuk memberkati beras agar dapat bertahan dan tidak cepat habis.
Naik Dango merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak Kendayan yang dilaksanakan secara rutin setiap tahun. Dalam Upacara Adat Naik Dango, selain acara inti yakni “nyangahathn”.
Upacara Adat Naik Dango intinya hanya berlangsung satu hari saja tetapi karena juga menampilkan berbagai bentuk budaya tradisional di antaranya berbagai upacara adat, permainan tradisional dan berbagai bentuk kerajinan tangan yang juga bernuansa tradisional, sehingga acara ini berlangsung selama tujuh hari. Penyajian berbagai unsur tradisional, selama Upacara Adat Naik Dango ini, menjadikannya sebagai even yang eksotis ditengah-tengah kesibukan masyarakat Dayak.
Upacara Adat Naik Dango merupakan perkembangan lebih lanjut dari acara pergelaran kesenian Dayak yang diselenggarakan oleh Sekretariat Bersama Kesenian Dayak (SEKBERKESDA) pada tahun 1986.3 perkembangan tersebut kuat dipengaruhi oleh semangat ucapan syukur kepada Jubata yang dilaksanakan Masyarakat Dayak Kendayan di Menyuke setiap tahun setelah masa panen padi usai.
Dalam bentuknya yang tradisional, pelaksanaan Upacara Adat pasca panen ini dibatasi di wilayah kampung atau ketemanggungan. Inti dari upacara ini adalah nyangahathn yaitu pelantunan doa atau mantra kepada Jubata, lalu mereka saling mengunjungi rumah tetangga dan kerabatnya dengan suguhan utamanya seperti: poe atau salikat (lemang atau pulut dari beras ketan yang dimasak di dalam bambu), tumpi cucur), bontonkng (nasi yang dibungkus dengan daun hutan seukuran kue), jenis makanan tradisional yang terbuat dari bahan hasil panen tahunan dan bahan makanan tambahan lainnya.
ASAL MULA NAIK DANGO
Naik Dango didasari mitos asal mula padi menjadi popular di kalangan orang Dayak Kalimantan Barat, yakni cerita “Ne Baruankng Kulup” yaitu Kakek Baruangkng Yang Kulup karena tidak sunat. Cerita itu dimulai dari cerita asal mula padi berasal dari setangkai padi milik Jubata di Gunung Bawang yang dicuri seekor burung pipit dan padi itu jatuh ke tangan Ne Jaek (Nenek Jaek) yang sedang mengayau. Kepulangannya yang hanya membawa setangkai buah rumput (padi) milik Jubata, dan bukan kepala yang dia bawa menyebabkan ia diejek. Dan keinginannya untuk membudidayakan padi yang setangkai itu menyebabkan pertentangan di antara mereka sehingga ia diusir. Dalam pengembaraannya ia bertemu dengan Jubata. Hasil perkawinannya dengan Jubata adalah Ne Baruankng Kulup. Ne Baruankng Kulup inilah yang akhirnya membawa padi kepada “talino” (manusia), lantaran dia senang turun ke dunia manusia untuk bermain “Gasing”. Perbuatannya ini juga menyebabkan ia diusir dari Gunung Bawang dan akhirnya kawin dengan manusia. Ne Baruankng Kulup lah yang memperkenalkan padi atau beras untuk menjadi makanan sumber kehidupan manusia, sebagai penganti “kulat” (jamur, makanan manusia sebelum mengenal padi), bagi manusia. Namun untuk memperoleh padi terjadi tragedi pengusiran di lingkungan
manusia dan jubata yang menunjukan kebaikan hati Jubata bagimanusia.
Makna Upacara Adat Naik Dango bagi masyarakat Suku Dayak Kendayan antara lain , yaitu pertama: sebagai rasa ungkapan syukur atas karunia Jubata kepada manusia karena telah memberikan padi sebagai makanan manusia, kedua: sebagai permohonan doa restu kepada Jubata untuk menggunakan padi yang telah disimpan di dango padi, agar padi yang digunakan benar-benar menjadi berkat bagi manusia dan tidak cepat habis, ketiga: sebagai pertanda penutupan tahun berladang, dan keempat: sebagai sarana untuk bersilahturahmi untuk mempererat hubungan persaudaraan atau solidaritas.
Dalam kemasan modern, upacara Adat naik Dango ini dimeriahi oleh berbagai bentuk acara adat, kesenian tradisional, dan pameran berbagai bentuk kerajinan tradisional. Hal ini menyebabkan Naik Dango lebih menonjol sebagai pesta dari pada upacara ritual. Namun dilihat dari tradisi akarnya, ia tetap sebuah upacara adat.

Budaya Naik Dango Suku Dayak Kanayatn

Posted by : Frater Fransesco Agnes Ranubaya 0 Comments
Tag : ,

- Copyright © DAYAK TALINO - MENEMBUS PERADABAN - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -